Key memegangi pergelangan tanganku dengan kuat, aku berusaha melawan tapi cengkramannya terlalu kuat. "percayalah Wine, ini aku Key." Gumamnya lemah dan memandangku dengan sungguh-sungguh sementara aku masih memberontak berusaha melepaskan diri darinya tidak ingin menatap mata pria busuk itu.
"Tidak, kau bukan Key-ku lagi. Kau telah berubah." Balasku sambil menggelengkan kepala berusaha menghindari tatapannya yang setajam pisau yang terus menghujamku.
"Tidak Wine," burunya dengan kening berkerut. Suaranya terdengar putus asa dan marah. "Kau yang telah berubah. Aku tetap Key yang dulu, aku adalah lelaki yang menjadi imammu dan kau adalah ibu dari anak-anakku nantinya."
"Tidak Key, hentikan omong kosong itu. Kita belum menikah. Kau tidak mempunyai bukti bahwa kita sudah menikah. Jika kau tetap bersikeras tolong tunjukkan buktinya. Aku ingin kebenaran dari kata-kata yang kau lontarkan itu." Aku memberanikan diri menatap wajah pria yang sebenarnya sangat aku cintai itu. Aku masih berharap dia akan mengakui kesalahannya.
Key tidak langsung menjawab, ia menghela nafas perlahan. Aku menunggu jawabannya, aku curiga ia tidak langsung menjawabnya pasti ia akan mengarang cerita lagi.
"Ada apa Key, ayo jawab." Desakku sambil menaikan intonasi suara.
Key menatapku dengan lembut sambil bergumam, "semua buktinya telah habis terbakar di rumah kita, waktu kamu mau membakar diri empat hari setelah mendengar kecelakaan mama. Untung waktu itu kamu masih sempat selamat meski semuanya hangus termasuk foto pernikahan kita, baju penganten kita, dan semua hal tentang pernikahan itu habis terbakar."
"Hentikan Key," potongku cepat. "Jangan buat kebohongan lagi demi menutupi kebohonganmu yang lain." Aku menatap Key dengan tidak percaya beraninya ia membuat kebohongan lagi. Harusnya dia mengaku kebohongan dan kesalahan yang ia lakukan mungkin aku akan memaafkannya.
"Wine, tatap mataku apakah ada kebohongan di sana. Apakah ada kebohongan yang kau temukan?" Key berusaha mendekat tapi aku segera beringsut ke belakang tersandar pada lemari pakaian.
"Tidak Key, matamu adalah senjatamu. Aku tidak percaya lagi apa yang kau ucapkan. Cukup sudah kau membohongiku." Aku merunduk tidak mau menatap matanya, karena aku tahu jika aku menatap matanya aku akan menemukan ketenangan dan cinta yang dalam di balik mata teduh itu. Tapi semuanya itu adalah sandiwara, aku tahu itu dia ahli menggunakan tatapan cintanya padaku.
"Wine, hentikan..." Key menghardikku dengan kencang lalu mendekat dengan cepat dan mencengkram lenganku dengan kuat. "Hentikan semua yang kau katakan, sadarlah." Key mengguncangkan tubuhku dengan kuat berusaha menyadarkan aku.
Aku terdiam, degup jantungku memburu, apa yang akan dia lakukan aku tidak bisa memastikan karena belum pernah melihatnya semarah ini. Matanya merah, alisnya bertaut, nafasnya naik turun dan giginya dikatupkan rapat. Aku menatap Key ketakutan sementara kedua tangannya mau memegangi lenganku dengan kuat.
"Key...." gumamku lirih, mataku berkaca-kaca. Sementara Key masih menatapku marah, nafasnya naik turun menahan gejolak emosi. Selama beberapa menit Key terus menatapku hingga ia melongkarkan cengkaramannya. "Key..." Ulangku lagi, dia melepaskan cengkramannya, tangannya terkulai lemas, wajahnya menunduk lesu, sementara otot di seluruh tubuhnya menegang.
"Maafkan aku Key, aku benar tidak pernah mengingat apa yang kamu katakan dan aku tidak mempercayai lagi apa yang kamu ucapkan." Aku malangkah dari hadapannya melintasi ruangan dengan cepat dan berlari keluar membuka hendel pintu lalu membantingnya. Pintu berdentang di belakangku. Aku terus berlari tanpa menegok ke belakang lagi, mataku tidak jelas melihat jalan yang agak temaram karena lampu dimatikan terlebih lagi karena dikaburkan oleh air mata.
Ada apa denganku, ada apa dengan Key? Kenapa aku bersikap seperti itu dan kenapa juga Key bersikap seperti itu? Apa yang yang salah, siapa yang salah. Apakah aku yang telah melupakan ingatanku atau Key yang mengarang semuanya.
Siapakah yang telah berubah di sini, aku atau Key. Siapa yang salah? Siapa yang benar? Ada apa dengan hidupku. Aku tidak mengenal Key lagi, dan aku seolah tidak mengenali diriku juga.
Aku terus berlari melewati koridor sambil memikirkan perkataan Key, dia mengejarku sambil memanggil-manggil namaku dengan khawatir memintaku untuk berhenti. Aku tidak mau berhenti, yang kuinginkan berlari sejauh mungkin darinya. Aku ingin kesendirian dulu untuk mendinginkan perasaanku.
Apakah benar yang dikatakan Key kalau aku sudah menikah dengannya enam bulan lalu dan wanita yang ada dalam ingatanku adalah aku sendiri. Dan benarkah soal Mama dan Zea kecelakaan dan jasadnya tidak pernah ditemukan, seberani itukah Key membohongiku sampai bilang mama meninggal dalam kecelakaan.
Key terus mengejarku suara terdengar lebih cemas lagi. Aku berbelok di sudut ruangan baju tidurku berkelebat melintasi koridor lalu sampai di tangga yang menghubungkan dengan lantai bawah. Keadaan di tangga gelap hingga sampai lantai bawah, sementara di luar hujan semakin lebat berjatuhan. Sementara air mataku terus berjatuhan mengaburkan pandangan.
Aku mencengkram pembatas tangga dengan kuat, lalu mulai melangkah turun di tengah gelap itu meraba-raba dengan kaki dimana pembatasnya. Dan baru menuruni anak tangga kedua, tiba-tiba kakiku tersandung oleh benda yang tidak aku tahu dan kehilangan keseimbangan kemudian detik itu juga tubuhku ambruk, dengan kepala duluan terjun. Kurasakan kepalaku membentar sesuatu yang keras, satu kali, dua kali dan terus berulang, mataku rasanya mau melompat dari rongganya, hidungku rasanya patah dan hancur, tulang pipiku remuk tak berbentuk. Sakitnya tiada tara, tubuhku terus berguling ke bawah menghitung anak tangga satu per satu, menghantamkan kesakitan yang bertubi-tubi yang menghujami tubuhku.
Aku masih mendengar Key menjerit di belakangku memanggil-manggilku dengan histeris ketika kepalaku terus terbentur dengan keras sementara tubuhku terus menggelinding terhampas kian kemari.
Lalu beberapa detik kemudian semua diam dan hitam, aku hanya bisa merasakan kesakitan dan kesakitan. Kesakitan yang terus menarikku dalam kegelapan yang pekat. Memintaku untuk berhenti bernafas, memintaku untuk terus merasakan sakit.
Lalu perlahan aku mendengar alunan melodi Key dari jauh, aku tidak sumbernya darimana, terdengarnya jauh dan sayup sampai. Alunan nadanya menenangkan menjuluri saraf tubuhku seperti siraman sebongkah es di dalam gurun. Nada-nada lembut itu terus bermain dalam otakku, aku mencari sumbernya dimanakah nada yang menghilangkan penderitaan itu berada. Tapi semakin jauh aku melangkah dalam gelap itu semakin sakit juga nafas yang aku hembuskan. Aku tersungkur tanpa gravitasi dan suara-suara yang Key lantunkan itu semakin kecil dan kecil. Bagaikan setetes cahaya kecil di dalam gelap yang semakin meredup.
Lalu nada-nada indah itu sirna hanya meninggalkan kekosongan besar yang menganga dalam otakku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Instrumental dari Surga
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA Judul: Instrumental dari Surga Penulis: Gusti Riant Penerbit: Pustaka Novel Indonesia Jumlah Halaman: 160 Halaman Editor: Eko Cahyo Cover: Kimberly Veruzka Layout: Maureen Jurcha "Alunannya sungguh mendamaikam sendi-sendi...