Bab 4

194 10 0
                                        

Matahari merayapi sisi kamar bagian barat, menerangi dinding, lantai dan jendela yang terbuka. Aku terbangun sambil mengucek mata, kulihat jam yang terletak di meja sudah menunjukkan 9 pagi. Aku terlonjak kaget dan langsung berdiri, agak terhuyung sebelum menguasai keseimbangan.

"Ya ampun aku kesiangan," gumamku sambil berlari melintasi kamar menyambar handuk di gantungan kemudian menghambur ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, berpakaian, dandan dan sebagainya. Aku menutup pintu kamar pelan lalu berjalan pelan ke arah pintu di sebelahnya, kamar Key. Aku memutar gagang pintu mendorong pintu itu sedikit agar aku bisa mengintip siapa tahu saja Key masih tertidur. Tapi dugaanku salah kamarnya rapi. "Key sudah bangun, gawat!" desisku.

Aku berjalan cepat melintasi ruangan lalu berjalan menuruni tangga pelan-pelan sambil mengedarkan pandangan ke bawah mencari sosok Key. Tapi aku tidak melihatnya baik di ruangan keluarga maupun di kamarnya tadi.

Sesampainya di bawah aku langsung menuju dapur melewati pintu besar setengah lingkaran yang dicat warna hijau, aku berjalan cepat karena yakin Key pasti ada di sana. Dugaanku ternyata benar Key sudah menyiapkan sarapan, roti panggang dan segelas susu coklat hangat terletak di meja makan.

"Maaf Key aku bangun kesiangan," kataku sambil berjalan mendekat dengan wajah malu dan menunduk.

"Kamu sarapan dulu," katanya tanpa menoleh pada naskah yang ia baca, seperti biasa dia tidak menjawab perkataanku.

Aku menarik kursi dan duduk di sebelahnya sambil mengambil potongan roti bakar.

"Kamu bangun jam berapa?" tanyaku sambil mengigit roti itu kecil-kecil sudah agak dingin berarti Key sudah agak lama membikinnya.

"Aku bangun jam 6, tadi aku ke kamarmu tapi kamu masih tidur jadi aku membiarkan saja." balasnya lagi tanpa menolehkan wajah.

"Kenapa tidak kamu bangunkan saja," kataku sambil meraih gelas susu sementara ia melirikku dengan sudut matanya.

"Kamu tidurnya pulas sekali, jadi aku tidak mau membangunkanmu. Cuma aku kasih ucapan selamat pagi saja." Katanya melirikku lagi dengan sudut matanya sambil mengeluarkan senyum jahil.

Aku berhenti mengunyah, lalu melotot padanya. "Dasar otak mesum, pasti kamu cari kesempatan saat aku tidur tadi kan?" tuduhku.

"Tidak juga, aku cuma menyelimutimu karena pagi tadi dingin lalu pergi dan kayaknya kamu kedinginan. Udah itu saja tidak ada yang lain." Belanya sambil membalikkan naskah yang ia baca.

Aku tidak melanjutkan bicara lagi, aku kembali berkonsentrasi pada makanan, tapi kuyakin pasti ada apa-apanya. sementara Key membiarkanku seperti itu ia masih sibuk dengan bacaanya.

Setelah diam cukup lama aku kembali membuka suara, "kamu tidak show hari ini?" tanyaku lagi dengan suara lembut sambil meletakkan piring di cucian.

Key menggeleng, "aku tidak ada jadwal apapun hari ini." tandasnya.

"Bukankah kamu sudah menangani kontrak dengan televisi swasta itu selama tiga tahun, seharusnya kontraknya belum habis masih tinggal 1 tahun lagi. Apakah terjadi sesuatu Key?" tanyaku ingin tahu.

Key melempar kertas yang dibacanya itu ke meja lalu memandang dengan wajah tidak mengerti padaku, "kenapa kamu bisa mengingat hal seperti itu, sedangkan kamu melupakan hal yang besar. Aku tidak ada masalah dengan kontrak itu cuma aku minta cuti dulu selama beberapa hari, malah masalahnya di sini."

Setelah bicara itu Key pergi dari dapur, sementara aku masih kaget dan bingung dengan kemarahannya yang tiba-tiba dan apa maksud dari kata-katanya.

"Key maafkan aku..." gumamku lirih sambil menundukkan kepala.

Key berhenti dan membalikkan tubuh, "tidak ada yang perlu dimaafkan yang aku inginkan adalah ada hal yang perlu diingat." Katanya lagi sambil berjalan pergi, aku memandangi kepergiannya.

Ada apa dengan Key kenapa dia begitu cepat marah dan begitu cepat reda lagi, apa yang telah salah kuperbuat di matanya. Harusnya dia memberitahu dimana salahku. Aku mengusap air mata yang mulai berjatuhan. Aku juga tidak tahu kenapa akhir-akhir ini air mataku begitu saja meleleh.

Sekali lagi aku muak, aku capek, aku ingin mengakhiri hidup ini secepat mungkin. Key pun sepertinya telah berubah. Jika bukan karena dia sudah sejak dulu aku pergi di dunia ini. Sekarang buat apa lagi aku hidup, satu-satunya orang yang kugantungkan hidup telah berubah. Tidak ada yang akan mencemaskanku lagi. Aku bertahan selama ini semata-mata karena dia, kalau sekarang seperti ini aku ingin menghilang saja dari hidupnya selamanya. Aku tidak ingin kembali dan tak akan kembali.

Aku terus menangis tersedu-sedu, aku tidak tahu kenapa hatiku akhir-akhir ini sangat sensitif mudah saja menangis dan kenapa Key akhir-akhir agak berubah, semua membuatku bingung. Tiba-tiba dari belakang Key telah memelukku menyandarkan dengan lembut kepalaku di tubuhnya, dapat kudengar degup jantungnya.

"Maafkan aku Wine, maaf aku telah membentakmu seperti itu. Aku tidak seharusnya begitu, aku telah jahat padamu. Aku telah melukai hatimu," gumamnya lirih sambil terus melingkari tangannya di dadaku, dapat kurasakan tarikan nafasnya yang panjang.

Aku menghapus air mata dengan punggung tangan lalu menengadahkan kepala buat melihat wajahnya untuk memperlihatkan aku tidak apa-apa. "Tidak apa-apa Key mungkin kamu lagi banyak masalah, atau aku yang kurang baik di matamu," kataku sambil mengusap tangannya yang melingkari dadaku.

"Kamu jangan menangis lagi ya?" pintanya terkesan bersalah dan putus asa.

Aku menggeleng lalu melepaskan diri dari pelukannya, mendorong kursi dan bangkit. "Aku tidak menangis lagi..." Kataku berusaha memasang wajah seceria mungkin.

Tapi wajah Key tidak seperti yang aku harapkan, dia menangis juga, matanya merah, lingkaran sekitar matanya terlihat hitam seperti kurang tidur. Wajahnya terlihat lelah, capek dan putus asa.

"Key!" desisku tertahan melihat wajahnya, baru sekali ini aku melihatnya menangis selama 10 tahun ini mengenalnya. Ada apa dengan Key akhir-akhir ini apa sebenarnya yang ia sembunyikan.

Buru-buru lelaki yang telah kukenal selama 10 tahun membalikkan tubuh dan menguasap air matanya dengan telapak tangan. Aku berjalan ke depannya melihat wajahnya sekali lagi, tapi ia buru-buru membalikkan wajah tidak mau aku lihat kepergok menangis.

"Ada apa Key?" tanyaku hati-hati.

Tapi ia mengalihkan tatapan ke arah lain berusaha tidak menatap mataku, "Key apa yang terjadi, kamu menangis!" tanyaku yang sudah tahu.

Ia masih tidak menjawab pura-pura melihat ke luar ke arah melihat dua burung merpati yang mematuki makanan di dekat jendela. "Key kamu kenapa, ini bukan kamu yang biasanya?" tanyaku sambil melihat wajahnya dari dekat, tapi ia masih menunjukkan ekspresi datar. Aku semakin mendekatkan wajah melihat ke dalam matanya yang sebening embun itu. Sebenarnya apa yang ia cemaskan.

Tiba-tiba ia menurunkan wajah dan secepat kilat mendorongnya ke depan.

"Key!" teriakku menggema. "Dasar pak tua otak mesum." Aku berteriak sambil sambil mencengkram angin.

Key tersenyum jahil sambil mengedipkan sebelah mata lalu berlari menghilang di sudut dapur.

"Hei kemari kau, mencari kesempatan dalam kesempitan." teriakku pura-pura marah, sebenarnya aku senang. Key masih seperti yang dulu cuma amarahnya kadang-kadang cepat meledak aku masih tidak tahu penyebabnya apa.

Instrumental dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang