"Bagaimana kau melakukannya?" tanyaku pada Key yang berkonsentrasi mengemudi. Walau pun jam sudah lewat tengah malam tapi masih terlihat ramai dengan lalu lalang macam kendaraan. Dari mobil pribadi, angkot maupun bus-bus kota.
Key mengalihkan wajahnya kepadaku, "melakukan apa?" tanyanya singkat, tidak mengerti.
"Jangan melakukan itu lagi tersenyum padaku seperti itu, jantungku rasanya mau copot." Aku mengakui dengan malu-malu sambil menundukkan kepala. "Apakah kau juga melakukan hal yang sama terhadap wanita lain?" Nada suaraku terdengar cemburu, aku mengalihkan wajah ke arah jalan.
Key tersenyum sedikit, "kadang-kadang, tapi senyuman yang tadi khusus untukmu."
"Kadang-kadang?" balasku tidak percaya.
Key mendengus sebentar dan mulai berucap. "Kadang-kadang kulakukan padamu," ucapnya santai dengan wajah tanpa dosa.
"Kadang-kadang juga pada wanita lain?" imbuhku cepat setengah melotot.
Key melihatku sekilas wajahnya yang mempesona diterangi lampu jalanan. "Kalau aku jawab iya gimana?" godanya mengulum senyum. "Apakah kamu cemburu Wine?"
Aku mengalihkan wajah yang sedari tadi menghadap ke arah dan menatap Key lekat-lekat, "ya tidak apa-apa itu kan hakmu, tapi kenapa kamu mengatakan hal yang mengada-ada Key, mengatakan aku adalah istrimu?" Aku berusaha memprotes kelakuannya yang berlebihan saat di studio tadi. Kali ini dia sudah benar-benar keterlaluan.
Key memalingkan wajahnya agak lama tanpa menatap ke arah jalan. "Apa kamu tidak mau aku panggil istri? Menjadi ibu dari anak-anakku, pelengkap tulang rusukku, menemani hari-hariku." Cecarnya serius.
Aku tergagu tidak bisa berkata apa-apa perkataan Key langsung menusuk ke pusat saraf sadarku, aku mengakui sangat ingin mendapatkan gelar sebagai istrinya. Aku ingin menjadi ibu dari anak-anaknya. Tapi kenyataanya sekarang hanya sebatas pacar. Dan buat apa Key mengakui secara terang-terangan kalau aku istrinya, padahal kenyataanya aku dan dia tidak ada apa-apa. Bertunangan pun belum apalagi menikah.
Key menunggu jawabanku tatapannya serius, "apakah kamu tidak ingin menjadi ibu dari anak-anakku?" tanya Key lagi dengan suara bergetar. Tangannya kuat mencengkram kemudi, seolah menahan amarah.
Aku kembali tergagu tidak bisa menjawab, aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat sementara Key masih menatapku serius seperti itu. "Key hati-hati lihat jalan," kataku akhirnya mengalihkan pembicaraan. Hanya itu yang bisa aku katakan.
Key kembali berkonsentrasi mengemudi menatap jalanan, dari cahaya matanya terlihat marah dan kecewa, nafasnya naik turun.
Aku memegang lembut tangan pria yang sangat aku cintai itu, "Key!" Gumamku. Tapi dia tidak bereaksi masih tetap berkonsentrasi pada jalanan.
"Maafkan aku key," desahku dalam hati. "Bukan aku tidak mau menjadi pendamping hidupmu dan menghabiskan sisa hidupku bersamamu tapi aku merasa bingung untuk saat ini, aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam diriku. Tapi aku tidak tahu apa yang kurang itu." Aku kembali menatap Key diantara cahaya lampu jalanan yang menerangi wajahnya.
Setelah percakapan itu keadaan terasa canggung, tidak ada yang bersuara baik Key maupun aku. Hanya saja aku selalu melihat matanya memancarkan kekecewaan sementara ia tidak pernah lagi menatap maupun melirikku. Aku bisa gila jika dia terus saja begitu.
Hingga sampai di rumah pun Key tidak mengatakan apa-apa, setelah keluar dari mobil dia langsung pergi begitu saja, biasanya dia menungguku. Tapi tidak apa-apalah mungkin Key merasa kecewa.
Sesampainya aku di dalam setelah mengunci pintu aku juga tidak melihat Key sepertinya dia langsung ke kamar dan tidak pernah muncul lagi malam itu. Aku hampir dua jam menunggu di ruangan bawah siapa tahu saja Key muncul. Tapi sosok yang kutunggu tidak muncul juga, aku tidak mau mengetuk pintu kamarnya takut kalau menganggu dan siapa tahu saja dia kelelahan habis konser dan ketiduran.
Akhirnya aku pun kembali ke kamar dengan perasaan bersalah, berharap Key akan datang dan memelukku dari belakang. Hampir setengah jam aku menunggu di kamar berharap dia akan datang menghampiriku. Ternyata sia-sia Key tidak pernah muncul.
***
"Gawat! Aku ketiduran lagi," jeritku sambil melompat dari tempat tidur, aku berencana membuat sarapan untuk Key. Kulirik jam menunjukkan setengah delapan, aku segera berlari turun melintasi ruangan keluarga dengan cepat dan menghambur ke dapur yang bercat hijau muda itu.
"Key!"
Lelaki itu tampak sibuk memasak di dapur. Ia memakai baju biru tanpa kerah dan celana short pant berwarna biru juga. Aku berjalan mendekat sambil menundukkan kepala lagi.
Melihat kedatanganku Key segera menyapa dengan senyum hangatnya. "Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak?" tanyanya agak sedikit nada tidak enak.
Aku mengangguk dan berjalan mendekat, padahal tidurku gelisah memikirkannya takut membuatnya kecewa atas sikapku tadi malam. "Apakah kamu tahu Key aku menunggumu sampai jam tiga pagi," jeritku dalam hati.
Aku melihat Key sedang menggoreng telur, "apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil menjulurkan kepala. "Harusnya aku yang memasak untukmu!" protesku sambil berdiri di sebelahnya.
Key tertawa sambil merapikan rambutku yang agak berantakan, "apa kamu tahu bahwa masakanku lebih enak dari masakanmu?" katanya dengan perasaan sayang.
"Ya aku tahu!" sahutku pelan. "Tapi aku juga ingin memasak sesuatu untukmu."
"Tidak usah, semalam pasti kamu capek jadi kalian kali saja masak-masaknya untukku," katanya sambil meletakkan telur yang sudah digoreng di meja. "Sekarang kamu mandi dulu kita akan sarapan." Tambahnya.
"Tapi kamu lebih capek lagi Key sehabis konser semalam," protesku tidak terima sambil mengikutinya ke meja.
"Tidak, aku tidak capek," balasnya. "Kamu tidak usah bawel, sekarang mandi dulu beberapa menit lagi kita akan sarapan."
Aku pun melangkah pergi dari dapur dengan wajah kecewa rencana mau membikin sarapan malah aku yang dibikinin. Sesampainya di kamar aku mandi dengan cepat, berpakaian, dan dandan seadanya. Seperempat menit kemudian aku telah berada di bawah.
Ketika aku datang makanan telah terhidang rapi di meja. "Maaf agak lama sedikit," ucapku sambil mengambil tempat duduk di sebelah Key, seperti biasa.
"Tidak, kamu tidak terlambat. Aku barusan selesai, ayo makan nanti keburu dingin." Ajak Key sembari mengambilkan piring untukku.
"Kamu tidak show hari ini Key?" tanyaku sambil mengigit sepotong besar burger.
Key berhenti menguyah kemudian mengambil air putih, "sebenarnya ada show, tapi kayaknya aku batalin saja," gumamnya.
"Apa karena aku lagi?" potongku cepat. "Aku tidak apa-apa, aku bukan anak kecil yang selalu berada di dekatmu. Ingat Key aku sudah besar."
"Kalau saja kamu tidak pergi kemana-mana, baik itu ke pelabuhan atau kemana pun dan tetap tinggal di rumah sampai aku pulang, aku akan tenang bekerja." Ucapnya seraya menatap tajam ke arahku.
"Maaf Key, aku akhir-akhir ini banyak merepotkanmu." Kataku tidak enak.
Key mendekatkan wajahnya ke arahku, "tidak ada yang perlu dimaafkan, berjanjilah kalau kamu tetap tinggal di rumah dan baik-baik saja sampai aku pulang. Apa kamu mengerti?"
Aku mengiyakan ucapannya dan kembali melanjutkan sarapan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Instrumental dari Surga
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA Judul: Instrumental dari Surga Penulis: Gusti Riant Penerbit: Pustaka Novel Indonesia Jumlah Halaman: 160 Halaman Editor: Eko Cahyo Cover: Kimberly Veruzka Layout: Maureen Jurcha "Alunannya sungguh mendamaikam sendi-sendi...