Aku merasa lega ketika Key mengatakan akan pulang ke rumahnya, aku tidak mau pulang ke rumah papa dan bertemu dengan istri mudanya yang selisih dua tahun umurnya dariku itu. Kalau tidak karena istri mudanya itu mama pasti tidak akan pergi dari sini, mungkin semua anggota keluargaku masih lengkap. Mungkin juga aku tidak akan membenci papa seperti sekarang. Semuanya berawal dari wanita itu datang ke rumah dan mengaku sebagai istri istri papa, wanita itu menggendong balita yang berumur 2 tahun yang ia akui sebagai anak dia dan papa hasil perkawinan mereka. Membuat mama shock hebat dan harus dilarikan ke rumah sakit karena jantungnya kumat.
"Sekarang kita mau kemana?" tanya Key membuka suara ketika telah sampai di jalan raya, gerbang pelabuhan yang bercat hijau muda telah jauh di belakang.
"Langsung pulang aja," balasku pendek aku tidak mau kemana-mana rasanya tubuhku letih, aku hanya ingin tidur dan tidak bangun dalam waktu
Key memandangku sekilas dengan heran lalu matanya kembali tertuju pada jalan raya yang ramai yang sebentar lagi pasti akan macet di lihat dari pergerakan kendaraan yang semakin banyak dan lambat.
"Langsung pulang?" dia balik bertanya. "Ini masih sore jam 5, gimana kalau kita jalan-jalan dulu," tawarnya.
"Jalan kemana?" balasku sambil menatapi lampu-lampu jalan yang mulai dinyalakan. "Aku capek tidak mau kemana-mana. Aku mau langsung pulang saja Key."
Key menghela nafas dua kali sambil terus berkonsentrasi pada jalanan. "Aku tidak meminta persetujuanmu, mau tidak mau kamu harus ikut Wine karna aku yang mengemudi. Jika kamu memberontak aku terpaksa mengikat dan menyumpal mulutmu untuk ikut," balas Key sambil mengulum senyum, dari katanya terbesit nada humor.
Aku tersenyum memperlihatkan sederetan gigi putihku, "oke oke aku pasrah saja aku tidak akan melawan perintah si pengemudi."
Key terpaku seperti kena sihir selama beberapa detik lalu senyum tipis terbesit di bibirnya, "kamu terlihat begitu mempesona kalau tersenyum, teruslah tersenyum untukku." Desahnya sambil mengusap kepalaku dengan sebelah tangannya.
Aku termangu, aku sadar akhir-akhir ini selalu murung tidak pernah tersenyum sejak perginya mama dan menikahnya papa, hari-hariku putus asa. Aku merasa bersalah pada Key, pria yang kukenal sejak sekolah menengah itu ikut merasakannya juga.
Aku kembali mengingat awal pertemuanku dengan Kelvin Giovano atau biasa dipanggil Key itu. Waktu itu hujan menguyuri bumi sejak malam tidak ada tanda-tanda akan teduh, menjelang sore esoknya pun hujan masih berjatuhan. Aku masih ingat harinya, hari senen. Sekolah sudah sepi , hanya beberapa murid saja yang tersisa sambil bercengkrama berkelompok, kelompok pebasket, pramuka, sastra dan kelompok musik.
Aku menunggu di teras kelas yang paling jauh dan paling sepi sambil sesekali melihat ke belakang takut ketahuan sama guru atau penjaga sekolah kalau menunggu seseorang. Kalau ketahuan berpacaran muka orang tua akan dipertaruhkan di hadapan para guru.
Aku berdiri sudah hampir dua jam, bajuku lembab kena tempias hujan, kakiku pegal dan perut keroncongan. Sementara tas aku letakkan di atas kepala agar tidak terkena hujan. Penampilanku waktu itu benar-benar sudah kayak pengemis, aku memperhatikan wajahku yang pucat dan basah pada kaca jendela. Rambutku yang terurai lengket karena air dan membasahi bagian punggung seragamku.
Jam di tanganku sudah menunjukan pukul 4, mama pasti mengomel-ngomel kalau aku pulang terlambat lagi seperti kemaren malam. Aku akan menunggu 10 menit lagi kalau tidak datang juga maka aku akan pergi. Mungkin lelaki itu mempermainkanku saja, dan sekarang mungkin saja dia lagi ketawa sama teman-temanku mengintipku dari kejauhan. Kalau itu terjadi awas saja, dia tidak akan selamat dari cengkramanku. Aku saja kalau dia berani mempermainkanku, besok aku akan memberikan pelajaran.
Sepuluh menit berlalu, aku mendengus kesal sambil menghentak-hentakkan kaki hendak meninggalkan sekolah ketika Key keluar di balik ruangan laboratorium, aku curiga dia pasti sudah datang dari tadi cuma takut menemuiku.
Key berjalan malu-malu ke arahku dan tidak berani menatap wajahku secara langsung. Aku memperhatikannya ternyata dia lebih pendek dariku. Setelah beberapa langkah Key berhenti, dengan terburu-buru dia mengucapkan kata yang membuatku tidak tidur semalaman dan esok paginya aku bangun terlambat. Lalu setelah mengucapkan kata itu ia berlari dan menghilang di belokan kelas. Aku memandangi kepergiannya dengan bingung dan rona merah yang muncul tiba-tiba di pipiku. Aku segera menutup kedua pipiku dengan tangan dan berlari menerobos hujan yang sudah mulai jadi gerimis.
Sejak pengakuan itu hubungan aku dan Key berlanjut hingga sekarang ini. Aku selalu menggoda Key memperagakan bagaimana dia mengucapkan kata itu dengan raut wajah campur aduk antara malu, gelisah dan hendak mau menangis juga. Jika aku menggodanya seperti itu dia pasti akan berusaha menutup mulutku.
"Kau adalah segala keindahan dari surga yang dituangkan dalam alunan nada." katanya cepat yang terus terngiang sampe sekarang di telingaku.
Aku merasa bersalah telah membiarkan Key terluka karena kesedihanku. Pria yang selama ini menemaniku, mewarnai hari-hariku dengan senyumannya dan alunan melodinya yang indah, aku tidak ingin dia sedih. Aku tidak akan pernah menemukan lelaki seperti Key lagi. Dia sempurna untukku.
"Wine..." Key bergumam lembut di telingaku, nafasnya yang hangat menyapu kulit telinga. "Ayo kita turun sudah sampe, jangan melamun saja."
Aku tersadar buru-buru memalingkan wajah ke samping. Aku tidak tahu seberapa lama aku melamun, wajah Key hanya berapa senti saja dari wajahku dapat kurasakan deru nafasnya yang hangat. Jantungku berdegup kencang ketika mataku dan Key beradi hanya jarak beberapa senti saja.
"Ayo," ajaknya. "Kamu suka pasar malamkan? Sudah lama sekali kita tidak melihat pasar malam, dulu kita sering menghabiskan waktu ketika masih sekolah." Tambah Key lagi sambil membukakan sabuk pengamanku.
Aku cuma mematung tidak bisa berkata apa-apa memperhatikan Key membukakan sabung pengaman. Ada sesuatu yang aku lupakan sesuatu yang sangat penting tapi aku tidak ingat. Aku tidak tahu kenapa bisa melupakannya.
Ketika Key membuka pintu untuk keluar dan berjalan membukakan pintu untukku aku masih mematung. Perasaanku bingung dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, ada sesuatu yang salah dan tidak seharusnya.
"Ayo keluar ramai sekali lho," katanya lagi sambil menarik pergelangan tanganku. Aku cuma menurut saja ketika Key mengiringku keluar.
Kami melewati deretan parkiran motor lalu berbelok ke kiri melewati toko-toko penjual makanan. Setelah melewati beberapa gang kecil kami sampai di tempat tujuan.
Pasar malamnya meriah dan ramai, ratusan lampion tergantung rendah mengisi langit di atas tenda-tenda penjual. Komidi putar terlihat meriah dengan kerlip lampu warna-warni. Tenda-tenda penjual yang menjual berbagai macam benda terlihat berderet dan saling hadap.
Key berdiri di sebelahku tangannya di kaitkan pada tanganku, aku sekarang cuma setinggi telinganya. Aku menatap Key bagaimana dia masih ingat kesukaanku dulu.
"Bagaimana kamu suka," gumam Key. "tapi tidak bertanya pun aku sudah tahu bahwa kamu menyukainya." Tambahnya sementara aku memperhatikan lampion itu menyala redup menghiasi gelapnya malam.
"Ayo kita bersenang-senang," gumamnya lagi sambil tersenyum dan menarik tanganku. "Aku tidak akan muntah lagi kok naik kincir itu." Kata Key sambil menunjuk benda berbentuk kincir besar bercahaya itu.
ht4[
KAMU SEDANG MEMBACA
Instrumental dari Surga
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA Judul: Instrumental dari Surga Penulis: Gusti Riant Penerbit: Pustaka Novel Indonesia Jumlah Halaman: 160 Halaman Editor: Eko Cahyo Cover: Kimberly Veruzka Layout: Maureen Jurcha "Alunannya sungguh mendamaikam sendi-sendi...