"Tidak, ingatan itu cuma mimpi, Key-ku tidak mungkin melakukan itu. Dia tidak akan pernah melakukan itu. Aku tahu dan mengenalnya sejak dulu, apapun yang terjadi dia tetap akan mencintaiku." Aku berusaha meyakinkan diri bahwa ingatan itu salah, bahwa ingatan itu cuma ilusi. Tapi separuh hatiku menyangkalnya kalau itu nyata dan pernah terjadi. Aku merasa bingung dan frustasi di antara dua pilihan, setiap aku menyangkalnya maka bayangan itu semakin kuat menancap di pikiranku.
Aku kembali menangis sambil mencengkram kepalaku kuat-kuat berusaha melemparkan ingatan menyakitkan itu keluar dari pikiran. Bayangan Key dan wanita itu selalu membayangi setiap tarikan nafasku, bagaimana tatapan Key kepada wanita memakai gaun pengantin itu, tatapan Key buta seperti dia melihat matahari di puncak kepalanya. Tidak ada lagi yang bisa dilihatnya selain matahari itu, Key belum pernah menatapku seperti itu. Siapa wanita yang telah merebut hati Key sebegitu hebatnya.
Aku berlari keluar dari kamar menuruni tangga dan menuju dapur mencari pisau. Aku tidak kuat lagi aku ingin ini segera berakhir. Sambil menyeka air mata aku mencari dimana Key meletakkan pisau tapi setelah kuperiksa semua ternyata lemari di dapur terkunci. Kenapa dia mengunci semua lemari, tidak ada gunting atau benda tajam pun di sini. Peralatan makan pun tidak, baru aku sadari bahwa semua peralatan makan berasal dari plastik semua.
Dengan mengumpat dalam hati aku pun berlari ke ruangan tengah mencari sesuatu yang bisa menghentikan sakit ini, pisau, gunting atau apa. Tapi sekali lagi tidak ada apa-apa, keramik atau benda apapun tidak ada yang bisa melukaiku. Bagaimana lelaki sialan itu menyembunyikan semua benda tajam di rumah ini.
Dengan perasaan kesal dan amarah yang semakin memuncak aku berlari ke ruang belakang setahuku di dekat gudang ada kotak P3K, kalau dia tidak menyembunyikannya juga. Aku melewati jalan kecil berloteng rendah di bawah tangga, kemudian di ujungnya terdapat sebuah pintu bercat coklat terang. Aku berharap pintunya tidak dikunci juga oleh si pengkhianat itu, aku meletakkan tangan di gagangnya yang dingin lalu memutar hendelnya perlahan.
Pintu berderik berat dan terayun ke belakang, aku segera masuk mengedarkan pandangan pada gudang yang kotor itu, mencari-cari di antara benda yang berdebu dan bertumpuk-tumpuk. Melemparkan benda-benda dan tumpukan kardus ke lantai, hingga semua isinya keluar. Aku terus mencari dan mencari hingga menemukan kotak P3K berdebu itu di sudut ruangan yang agak tersembunyi di balik kardus besar yang berdebu.
Aku mengangkat dan meletakkan di ruangan yang agak luas di sudut kiri menghadap jendela dan membuka kotak itu secara paksa. Isinya berjatuhan ada obat merah, betadin, perban, dan obat-obat lain kemudian terakhir jatuhlah pisau yang berkilau itu. Pisau itu berdering di lantai ketika jatuh dan menindih benda lain, dugaanku benar ternyata di dalamnya ada pisau. Aku berjongkok dan menggenggam gagang pisau itu erat-erat.
Aku kembali berlari ke kamar, tangisanku telah reda yang berganti jadi amarah. Ketika melewati kamar Key yang terbuka mataku tertumbuk pada foto besarnya yang tergantung memenuhi dinding menghadap ke arahku, seketika itu aku berhenti.
Seperti biasa wajah Key menenangkan, tidak mungkin ada kebohongan di matanya. Tapi bukti itu, ingatan itu bagaimana ada dalam kepalaku. Aku berjalan mendekat memandangi fotonya yang berada di padang rumput kuning itu.
"Kenapa kau melakukan ini Key, kenapa kau tidak memberitahuku. Aku merasa dikhianati oleh orang yang paling kupercaya. Padahal seluruh hidupku kugantungkan padamu. Kalau begitu buat apa aku hidup lagi, aku lebih baik mati daripada melihat kamu bersama wanita lain." Aku bertanya pada gambar diri Key itu berharap dia akan menjawab semua pertanyaan itu.
Aku terus berjalan mendekat tanpa mengalihkan wajah sedetik pun dari potret itu. "Kenapa hidup begitu kejam padaku, papa menikah lagi, mama dan adikku pergi dan tidak kembali lagi, dan sekarang kamu Key, seseorang yang memberi alasanku untuk bertahan hidup telah mengkhianatiku." Aku terus berbicara pada foto mengeluarkan apa yang aku rasa, menatap wajah Key yang setengah menghadap ke kamera itu. Seperti biasa Key memakai jas hitam sehitam warna pianonya, langit di belakangnya berlatar biru dan rumput-rumput di bawahnya kuning terang terlihat kontras dengan dirinya dan piano yang ada di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Instrumental dari Surga
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA Judul: Instrumental dari Surga Penulis: Gusti Riant Penerbit: Pustaka Novel Indonesia Jumlah Halaman: 160 Halaman Editor: Eko Cahyo Cover: Kimberly Veruzka Layout: Maureen Jurcha "Alunannya sungguh mendamaikam sendi-sendi...