Setelah memasukkan mobil dan memarkirkan di garasi Key membawaku masuk melewati ruang tamu menuju ruangan keluarga. Rumahnya berlantai dua dengan tiga kamar, bercat biru laut dan ungu, jendela dan pintu berbentuk minimalis. Sebuah taman kecil terdapat di halaman depan dengan satu kolam ikan arwana. Key cuma tinggal sendirian semua keluarga ada di Bali.
Hanya saja akhir-akhir ini aku tinggal bersamanya, aku tidak mau melihat dan bertemu papa dan istri barunya lagi makanya aku minggat dari rumah dan menumpang di sana. Bahkan semua bajuku pun sudah mengisi lemari pakaian Key, seingatku tidak ada benda pribadiku yang tersisa di rumah.
Aku menghempaskan tubuh ke kursi yang berbentuk setengah lingkaran itu, kakiku terasa pegal sementara Key melepaskan blezer melemparnya ke meja lalu juga ikut duduk di sebelahku.
"Pegal?" Tanyanya sambil menatapku lekat-lekat, sementara tangannya diletakkan di sandaran kursi.
"Tidak Key," Aku buru-buru menggeleng, padahal sebenarnya kakiku memang pegal tapi aku malu mengatakannya. Kalau aku mengangguk dia pasti akan memijiti, aku tidak mau dia melakukan itu.
Key mengerutkan keningnya lalu melihat wajahku dengan tatapan bingung, aku mengalihkan wajah pura-pura tidak melihat. "Sini aku pijitin," tawar Key sambil mengacungkan kedua tangannya ke depan.
"Tidak usah Key kakiku tidak pegal." tolakku sambil berusaha sesantai mungkin. Dugaanku benar Key ingin memijiti kakiku, aku tahu betul sifatnya.
"Tidak mungkin tidak pegal, kakiku saja pegal apalagi kaki kecilmu. Sini biar aku pijitin sebentar agar lebih enak," katanya sambil menarik kedua kakiku dan meletakkannya di pangkuannya.
"Wine kamu tidak perlu merasa malu atau sungkan," kata Key lagi sambil melepaskan tali sepatu satu persatu yang melingkari kedua kakiku.
Aku buru-buru menarik kaki yang terlanjur terletak di atas pahanya itu, "tidak usah Key, aku tidak sungkan tapi kakiku benar-benar tidak pegal," jawabku dengan menaikan intonasi suara.
Tapi Key ngotot dan setengah memaksa, ia menarik kakiku lagi ke atas pangkuannya dan mulai memijiti. Aku merasa risih, malu dan tidak enak, meskipun menyukai pijitan Key yang lembut. Tapi aku tidak mau Key melakukan hal seperti itu terhadapku.
"Harusnya tangan itu untuk memencet deretan tuts piano, bukan untuk memijiti kaki," desahku sambil menatap Key yang menundukkan kepala berkonsentrasi memijit.
Key diam tidak menjawab ucapanku, aku memperhatikan tangannya yang mengurut kakiku dengan lembut.
"Sudah Key."
"Kamu diam aja jangan bawel," balas Key sementara tangannya terus memijiti kakiku. "Tanganku lebih dikhususkan untukmu dari deretan tuts piano itu." tambahnya.
"Sudahlah Key kakiku tidak pegal lagi, masih kuat berjalan dan berdiri," kataku lagi sambil berusaha menarik kaki.
Tapi Key menahan pergelangan kakiku, "sebentar lagi. Kakimu masih pegal," gumamnya sok tahu.
Akhirnya aku cuma pasrah membiarkan lelaki yang aku cintai itu melakukan apa yang ia mau, memijiti kedua kakiku sampai ia rasa aku tidak pegal lagi. Aku menatapi Key yang terus mengurut dan memijiti dengan lembut, sentuhan tangannya terasa lembut dan bergelora di kulitku.
Lalu setelah cukup lama Key mengangkat wajah sambil tersenyum. "Sudah sekarang kakimu tidak pegal lagi," katanya sambil menurunkan kakiku dan meletakannya di kursi, aku buru-buru menarik kaki dan meletakkannya di bawah.
"Kamu kenapa sih Wine?" tanya Key sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi melihat tingkahku.
"Kamu yang kenapa Key!" balasku sambil membalikkan tubuh lalu menyadarkan tubuh ke sandaran kursi mengarahkan wajah pada pria bermata sipit itu.
Suasana sepi dan agak canggung, kurasa Key ingin mengatakan sesuatu dilihat dari gelagaknya tapi ia bingung harus mengatakan apa, sementara aku menunggu.
Tiba-tiba Key menolehkan wajahnya ke arahku saling bertatapan, menatapku dengan tanda tanya, "apa kamu lapar?" tanyanya pendek.
Belum sempat aku menjawab dan bereaksi apa-apa, dia telah beranjak dari kursi dan pergi menuju dapur, aku cuma memandangi punggungnya sambil menghela nafas panjang.
Aku berusaha berbaring di kursi, badanku semuanya terasa sakit. Aku tidur terlentang sambil menatapi plafon berukir naga dengan corak merah dan abu-abu, warnanya terasa menenangkan dan damai. Sentuhan dan gaya ukirnya alami tapi terkesan mewah. Setelah puas memandangi ukiran itu aku membalikkan tubuh ke samping menatap Grand Piano Key yang terletak di sudut ruangan, piano itu hitam mengkilat terlihat klasik dan elegan dibawah cahaya lampu rumah yang kekuningan. Aku membayangkan Key memainkan piano itu, dia terlihat berbeda jika telah menekan tuts-tuts putih gading itu. Alunan nada-nada indah keluar dan terurai dari jemarinya. Tatapannya penuh cinta dan seperti biasa seperti embun pagi. Aku pun terlelap.
"Wine, bangunlah aku sudah menyiapkan makanan untukmu." Key membangunkanku yang terlelap di kursi sambil menyandarkan tubuhku di dadanya.
Aku mengucek mata dan menyadari bersandar pada tubuhnya aku segera bangkit. "Aku ketiduran ya?" tanyaku masih mengucek mata.
"Makanlah kamu pasti lapar," kata Key menyodorkan sepiring pasta dan segelas jus melon kesukaanku. Seperti biasa ia tidak menjawab pertanyaanku.
"Key, kamu tidak usah repot-repot bikinin aku pasta dan jus," kataku sambil menatap tidak suka piring yang ia sodorkan ke arahku.
"Makanlah kamu pasti sudah lapar," ulangnya tidak menghiraukan komentarku. "Dan berhentilah membantah dan merengek seperti anak kecil." Ucapnya terdengar agak kesal, seharusnya aku yang merasa kesal bukan dia.
Aku mengambil garpu dan hendak memakan pasta hangat yang masih dipegangnya itu, tapi buru-buru dicegahnya "minum dulu baru makan," seperti biasa dia menceramahi seperti anak kecil.
Aku tidak menjawab dan segera mengambil minuman yang ia sodorkan dan meminumnya hingga sisa setengah karena kesal, seperti biasa Key selalu mengatur dan over protektif.
Aku mengambil pasta dan mulai melahapnya, rasanya enak. Dan ternyata benar aku memang lapar, Key tidak salah. Seharusnya aku lebih tahu tentang diriku daripada dia.
"Kamu tidak makan, sejak menjemputku di Pelabuhan kamu belum makan?" tanyaku.
Key menggeleng, "aku masih kenyang, tadi siang sebelum menjemputmu aku sudah makan," balasnya lalu ia mulai berjalan ke arah grand pianonya.
"Kamu tidak show hari ini Key?" tanyaku lagi sambil malahap pasta bikinan Key yang memang enak. Sementara Key mulai duduk di kursi di depan pianonya mulai menekan sederatan tuts yang aku tahu itu adalah lagu Yiruma dengan judul Hope.
"Karena aku harus menjemput seseorang di Pelabuhan hari ini!" katanya tanpa menoleh masih sibuk memainkan alunan lagu yang lembut itu. "Jadi aku membatalkan show."
Seseorang itu pasti aku bathinku. "Maafkan aku Key selalu merepotkanmu, aku belum bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan," gumamku yang kuyakin Key tidak mendengarnya ia telah tenggelam diantara lautan nada yang melebur membentuk sederetan melodi yang membius.
haring-X4Xy
![](https://img.wattpad.com/cover/44006093-288-k150659.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Instrumental dari Surga
RomantikSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA Judul: Instrumental dari Surga Penulis: Gusti Riant Penerbit: Pustaka Novel Indonesia Jumlah Halaman: 160 Halaman Editor: Eko Cahyo Cover: Kimberly Veruzka Layout: Maureen Jurcha "Alunannya sungguh mendamaikam sendi-sendi...