Aku masih berdiri di depan Key sedang membalut tangannnya dengan perban, aku menundukkan wajah merasa bersalah. Dia tidak mengizinkanku untuk mengobati lukanya malah itu membuat merasa tambah tidak enak lagi.
Aku tmemperhatikan tangan berharganya yang terbalut perban itu, selama beberapa minggu ini Key pasti tidak bisa show dulu. Luka Key cukup dalam meskipun dia mengatakan bahwa itu luka ringan dan cuma goresan kecil untuk menenangkanku. Tapi aku bukan anak kecil yang percaya begitu saja, jelas-jelas aku menghujamkan pisau itu sekuat tenaga.
"Key maaf, aku tidak sengaja," ucapku lagi dengan sangat menyesal, mungkin aku sudah mengulangnya puluhan kali.
"Duduklah," ucap Key lembut. "Aku tidak apa-apa." Dia mencoba tersenyum.
Aku duduk di sebelahnya, bajuku amis dan belepotan terkena darahnya yang lumayan banyak dan sebagian yang menetesi pahaku sudah mulai mengeras. "Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi." Aku tidak berani menatap mata Key secara langsung.
"Sudah aku bilang tidak apa-apa. Cuma luka kecil saja paling besok sudah sembuh." Key berusaha menenangkanku lagi tapi aku tetap tidak percaya bahwa itu hanya luka kecil.
"Tapi key kamu harus ke dokter untuk memeriksanya takutnya nanti lukamu semakin parah dan kemungkinan bisa inspeksi," kataku lagi berusaha membujuknya agar sedikit perasaanku agak lebih enak.
Key tersenyum, "kan sudah aku bilang ini cuma luka kecil, dikasih obat merah sedikit lalu diperban besoknya sudah sembuh!" Katanya ngotot tidak mau kalah.
"Aku bukan anak kecil Key yang mudah kamu bohongi, jelas-jelas lukamu itu serius aku takut terjadi inspeksi dan lukamu akan bertambah parah. Nanti bagaimana dengan show-showmu yang padat?" kataku tidak habis pikir kenapa dia selalu menolak saranku.
Key menggeleng, sekali lagi dia keras kepala malah dia mengganti topik dan tidak menjawab perkataanku. "Tapi kamu kenapa? apa yang ada dalam pikiranmu Wine, kenapa melakukan hal yang menyakiti dirimu lagi?" Tanyanya sambil menatapku tidak mengerti, keningnya berkerut tidak mengerti dengan jalan pikiranku.
"Lagi?" Desahku dalam hati kapan aku melakukannya, setahuku baru kali ini melakukan hal bodoh itu.
Key terus memandangku dengan kening berkerut, sementara aku tetap diam menunduk sambil memperhatikan jepol kaki. Key terus menunggu jawabanku yang aku sendiri merasa bingung dengan jalan pikiranku hari ini, kenapa aku begitu kalut dan tak terkontrol. Aku takut dan ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu dan key melihat keraguan itu di wajahku.
"Coba katakan," kataku Key lagi. "Tidak apa-apa."
Aku meliriknya sekilas, seperti biasa wajah Key menenangkan yang membuatku sedikit lega. "Apakah kamu sudah menikah Key?" tanyaku cepat, suaraku kering dan pecah menghantam dinding, lantai dan ruangan itu, suasana berubah canggung dan entah kenapa jantungku berdegup kencang.
"Menikah?" tanya Key terkesiap kaget dan menatapku dengan ekspresi tidak percaya.
"Aku menemukan Kartu Tanda Pendudukmu dan di sana aku menemukan statusmu sudah menikah." jelasku agar dia mengerti, kenapa aku menanyakan pertanyaan tabu itu. Kenapa aku melakukan hal-hal nekat tadi itu semua penyebabnya kartu itu.
Key tidak langsung menjawab, ekspresi wajahnya sulit dibaca antara bingung, kaget, dan cemas sementara aku menunggu dengan cemas. "Apakah kamu percaya dengan Kartu itu, bisa saja informasinya salah." Akhirnya Key membuka suara, kata-kata terdengar serak dan agak terbata-bata.
"Tidak," potongku cepat. "Aku mengingat sesuatu, kamu memakai tuksedo hitam sambil menggandeng seseorang wanita berpakaian gaun penganten putih. Kalian berciuman, tapi aku tidak bisa melihat wajah gadis itu. Yang aku tahu kalian telah menikah," kataku frustasi berusaha berbicara setenang mungkin, agar aku tidak menangis di depan Key.
Key menatapku dengan ekspresi tidak percaya, lama sekali dia menatapku seperti itu. Aku tidak tahu maksud dari tatapannya. Yang jelas dalam diri Key ada keraguan dan kebenaran yang berusaha dia tutupi.
"Key!" Kataku akhirnya, tapi dia tetap tidak bersuara. Aku menunggu dengan was-was apakah ia akan mengatakan iya? Kalau itu yang ia katakan berarti hidupku benar-benar sudah hancur.
Key bangkit dari kursi lalu berjalan ke jendela yang menghadap ke taman kecil di sudut rumah. Key memunggungiku, ia memperhatikan taman beberapa menit lalu mulai berbicara. "Apa benar kamu tidak mengingat wajah wanita itu? Apakah kamu mengingat hal lain selain itu?" Akhirnya dia membuka suara, pertanyaannya bernada memastikan. Aku tidak jelas ekspresi wajah Key ketika mengatakan itu karena ia memunggungiki, tapi aku tahu ia menyembunyikan raut wajahnya dariku ketika menanyakan itu, agar aku tidak melihatnya.
"Tidak, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Kecuali ingatan kamu bersama gadis itu." balasku apa adanya, jantungku rasanya mau meledak jika mengingat gadis itu lagi. Gadis yang telah merebut Key dariku.
Key membalikkan tubuh lalu berjalan cepat ke arahku. Aku memperhatikan pria berambut hitam pekat itu mendekat lalu berjongkok di depanku sembari meraih tanganku lalu meletakkan di dadanya, dapat kurasakan degup jantungnya yang tenang dan konstan. "Wine," desah Key selembut dandelion. "Apa pun yang terjadi kamu harus percaya padaku. Aku mencintaimu selamanya dan tidak akan pernah ada yang lain, kamu harus ingat itu. Kamu hanya perlu ingat itu 'bahwa aku mencintaimu' selamanya." Key mengeja katanya perlahan agar meresap ke dalam hatiku agar membuatku mengerti apa yang ia rasakan. Katanya terdengar meyakinkan, tidak ada keraguan yang keluar dari alunan kata-kata itu.
"Tapi Key siapa wanita itu?" bantahku sambil merunduk menatap mata beningnya. Aku ingin mendapatkan kejelasan dan kebenaran, apa yang ia sembunyikan itu.
Key tidak langsung menjawab ia kembali berpikir. Aku menunggu dengan gelisah.
"Sekarang kamu pilih saja, mempercayaiku atau kartu dan ingatan itu?" Key bicara sungguh-sungguh, memberikan pilihan yang membuatku bimbang. Selama beberapa saat aku tidak bisa menjawab, bagaimana mungkin dia memberikan pilihan antara dirinya dan ingatan itu. Apakah Key berusaha mengelak? Apakah ini yang ia lakukan jika ketahuan berbohong dan memberikan pilihan yang sulit dan kejam.
Aku bimbang tidak tahu harus memilih yang mana. Jika aku memilih Key berarti aku harus melupakan kartu dan ingatan itu. Jika aku memilih ingatan itu maka aku akan kehilangan Key. Selamanya.
Selama beberapa menit aku tetap diam sementara mata Key terus memperhatikanku dengan sungguh-sungguh, tangannya masih menggengam kedua tanganku.
Key bersuara lagi melihatku masih bimbang. "Jika kamu mempercayaiku maka lupakan tentang ingatan itu." Imbuhnya. "Jika kamu tidak mempercayaiku maka..." Key tidak melanjutkan ucapannya.
Sekali lagi aku menatap wajah sempurna Key, tatapannya sebening embun, tidak mungkin ada dusta. Dan selama ini Key tidak pernah juga membohongiku. Tapi ingatan dan bukti itu tidak bisa terbantahkan. Sekarang apa yang harus aku lakukan. Mempercayai perasaanku atau mempercayai buktinya.
Aku memejamkan mata, menghembuskan nafas perlahan. Bagaimana bisa dia memberikan pilihan yang kejam itu. "Kau benar-benar kejam Key" kataku dalam hati.
Aku membuka mata dan sekali lagi aku tatap wajah Key, aku melihat ke dalam mata beningnya. Perlahan perasaanku mulai tenang, aku tidak tahu sihir apa yang ada di matanya sehingga membuatku seperti ini seperti orang idiot, seolah aku jatuh ke dalam matanya yang tanpa dasar dan tahu-tahu aku sudah bergumam. "Aku percaya padamu..."
ok 4O

KAMU SEDANG MEMBACA
Instrumental dari Surga
RomanceSUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA Judul: Instrumental dari Surga Penulis: Gusti Riant Penerbit: Pustaka Novel Indonesia Jumlah Halaman: 160 Halaman Editor: Eko Cahyo Cover: Kimberly Veruzka Layout: Maureen Jurcha "Alunannya sungguh mendamaikam sendi-sendi...