Bab 1

696 21 0
                                    

Aku berdiri di haluan bulan februari yang berkabut, mataku menerawang jauh menatap lautan yang membiru.

Cahaya matahari terasa pedih menyengat kulit, membiaskan cahaya laut yang panas beraroma garam dan karat. Hiruk pikuk penumpang yang mengusung bawaan mereka menambah gerahnya siang itu. Aku duduk di bangku panjang ruang tunggu pelabuhan sebelah arat, ruangan itu besar dan tinggi bercat abu-abu dan biru muda. Meskipun angin laut bertiup dari ventilasinya yang tinggi tetap saja pelabuhan itu terasa panas.

Di beberapa tempat terdapat ruangan penjual tiket yang berwarna-warni sesuai warna kapalnya dan ada juga beberapa petak kios kecil menjual barang-barang beraneka ragam dimulai dari jepit rambut, gunting kuku, makanan, kue kering, baju dan berbagai benda lainnya.

Aku menghela nafas perlahan mengernyitkan dahi saking panasnya, sudah hampir dua jam aku menunggu mama dan Zea, kaki terasa pegal dan tenggorokanku masih terasa terbakar walau pun sudah dua kali membeli es kelapa yang di jual di kios kecil itu. Berbagai macam kapal telah merapat dimulai dari yang kecil sampai yang besar.

Kulihat jam untuk kesekian kalinya, masih menunjukkan pukul dua lewat empat puluh delapan menit. Pelabuhan sedang ramai-ramainya hiruk pikuk penumpang yang pulang dan pergi dengan meneteng tas dan koper besar mereka. Aku memasukkan kaki ke bawah kursi agar tidak terinjak saking ramainya gelombang penumpang hari ini.

Aku terus memperhatikan ruangan kedatangan di tengah orang-orang berlalulalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku yang dari awal duduk manis sekarang terlihat gelisah dan beberapa tempat pindah duduk karena panas.

"Mama mana ya? Belum datang juga," gumamku pada diri sendiri sambil memperhatikan lautan jauh disana yang bertemu dengan garis langit. Aku menyipitkan mata memandang laut yang memantulkan bayangan silau itu.

Kulihat satu kapal lagi mulai merapat, kapal itu berwarna putih dan bergaris merah di pinggir geladaknya, kapal itu seperti angsa besar yang terapung di laut berlatar biru.

Suaranya seperti monster raksasa yang sedang mengamuk ketika merapat, aku buru-buru melongokkan kepala melihat penumpang yang mulai keluar satu persatu siapa tahu saja mama berada diantara rombongan itu. Aku menunggu dengan harap cemas sambil mengelap keringat dengan punggung tangan, tapi setelah menunggu hampir semua penumpangnya keluar masih belum menemukan sosok mama atau pun Zia. Sepertinya mereka bukan menaiki kapal ini, aku menghela nafas lagi.

Aku kembali menunggu sambil melihat ponsel untuk menghilangkan kejenuhan mengecek beberapa pesan yang masuk dari Key. Seperti biasa semua kotak masukku semua berisi pesannya. Baru saja aku membaca pesan ketiga darinya di pintu masuk kulihat dia datang menghampiriku.

"Wine ayolah kita pulang," ajaknya sembari duduk di bangku sebelah.

Aku menggeleng, "tidak Key aku menunggu mama dulu."

"Tidak, mamamu tidak akan datang hari ini, ayo kita pulang," katanya lagi sambil menarik tanganku setengah memaksa.

"Tidak Key!," kataku cepat sambil menarik tangan. "Aku ingin menunggu mungkin saja mama di kapal selanjutnya."

"Wine," dengus Key kesal. "Bukankah kemaren kamu sudah menunggu juga tapi mamamu tidak datangkan? Ayo kita pulang jangan sia-siakan waktumu di sini." Tandasnya.

"Key...." Dengusku, dia menatapku lekat-lekat menusuk ke dalam hatiku, keningnya berkerut seolah mencoba mengerti yang aku pikirkan lalu ia mengalihkan tatapannya yang gusar pada lautan lepas. Aku menatapnya memperhatikan garis-garis wajah dan susunan tulang wajahnya yang sempurna, dia balas menatapku dengan lembut.

Key menghela nafas lalu bergumam putus asa, "baiklah kita menunggu tapi cuma satu jam saja ya, datang tidak datang kamu harus pergi dari sini," katanya akhirnya sambil menarik tanganku lalu meletakkan di lututnya.

Aku memandangi Key sekali lagi, hari ini dia memakai baju putih dan blezer hitam, celananya berwarna gelap dan sepatu biru keungu-unguan.

"Terimakasih Key..." Gumamku, dia meremas tanganku lebih erat yang masih diletakkan di atas lututnya, aku tidak tahu maksudnya. Tapi aku tahu Key menyembunyikan sesuatu.

Hampir satu jam kami duduk menunggu masih memperhatikan lalu lalang orang yang keluar masuk, sudah dua kapal yang merapat tapi sosok mama yang ditunggu tidak kunjung datang. Kepalaku rasanya sudah mau patah melihat terus ke arah pintu kedatangan, mencari sosok yang kukenal.

Aku terkantuk-kantuk menatap jam Pelabuhan yang berderik satu-satu, semalam aku tidur jam tiga, tidak bisa tidur karena segalanya berkecamuk dalam otak, aku lelah rasanya ingin pergi saja dari dunia ini.

Memang benar, seharusnya aku pergi saja selamanya , jika tidak ada Key dalam hidupku yang menemani saat-saat terburuk dan terpuruk mungkin aku telah melakukannya. Sekali lagi kutatap lelaki itu, semakin kumenatapnya semakin sayangku bertambah.

Key yang daritadi memandang lurus ke depan mengalihkan wajahnya padaku tatapannya lembut menenangkan seperti embun pagi, aku selalu suka melihat tatapannya padaku. Ada satu hal yang spesial dari matanya yang membuatku untuk beberapa detik berhenti bernafas.

"Kalau kamu capek istirahat saja," ucapnya sambil menarikku lebih dekat, bahu kami beradu, aku menyandarkan kepala pada pundaknya. Aroma parfumnya menguap dari pakaiannya, aku memejamkan mata beberapa saat.

"Key, jika tidak ada kamu saat ini mungkin aku tidak mau hidup lagi," desahku di antara kebisingan itu.

"Tidak Wine," balasnya cepat. "Tangannya semakin erat memegangi bahuku seakan aku takut terlepas darinya atau aku akan menghilang seperi asap. "Jangan katakan itu lagi, itu hal menyakitkan yang pernah kamu katakan padaku."

Aku mengangkat kepala, "benar Key, jika tanpamu mungkin aku,"

Tubuh Key menegang. "Hentikan Wine," potongnya cepat, amarahnya meledak dia mengangkat tubuh dari sandaran kursi, kepalaku hampir membentur bagian sandarannya. "Jangan katakan itu lagi aku sudah bilang berhenti!" Geramnya.

Aku menggenggam tangannya selama beberapa menit sampai amarahnya mereda sementara ia menatap lurus ke depan, tatapannya kecewa, putus asa dan marah.

"Key!" desahku lembut sambil menatapi cahaya matahari yang merangkak turun cahaya yang melembut menyapu wajahku dan Key.

Pria itu mengalihkan wajahnya tatapannya selembut tadi amarahnya telah hilang. "Wine ayo kita pulang ini sudah lewat satu jam sesuai perjanjian." Katanya memberitahu.

"Tidak Key, sebentar lagi. Sepuluh menit lagi." Bantahku.

"Sudahlah Wine," katanya putus asa, "lupakan aku mohon."

Aku menggeleng, "tidak, mama pasti akan datang. Tolong beberapa menit lagi." Aku memohon sambil memegangi lengannya.

"Mamamu tidak akan datang," tandasnya sambil menarik tanganku dan menyeret ke keluar. Aku tidak melawan cuma membiarkan menyeretku ke gerbang lalu berjalan melintasi koridor bercat kuning mentega. Beberapa pedagang kaki lima berjejeran di tepi koridor menjajakan segala macam kue dan makanan.

Key terus menarik tanganku melintasi beberapa koridor lagi hingga sampai di parkiran.

"Kamu tunggu disini aku mau mengambil mobil dulu," kata Key sambil meninggalkanku di bawah pohon teduh sementara ia berlari menuju mobil yang tidak jauh letaknya, matahari sudah mulai merendah cuaca pun tidak segerah tadi. Aku kembali memperhatikan pintu gerbang masih berharap mama akan datang. Menghampiri dengan senyuman khasnya.

Kurang dari satu menit kemudian Key telah sampai di tempatku berdiri. Dia membuka kaca jendela mobil, "ayo masuk," katanya.

Aku masih berdiri tidak mau melangkah. "Aku tidak mau pulang ke rumah itu lagi,". Gumamku lirih sambil menunjukkan wajah tidak suka.

"Ayo Wine kita pulang," kata Key lagi mengulang perkataannya.

Aku menggeleng, dia menghela nafas berusaha sabar menghadapi sikapku. "Oke aku tidak akan membawamu ke rumah itu, sekarang ayo kita pulang," ajaknya lagi.

Aku melangkah ke jalan membuka pintu dan masuk. "Aku tidak mau pulang ke rumah papa." Ulangku ketika memasang sabuk pengaman, Key cuma memperhatikanku tidak berkomentar

Instrumental dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang