Helloo, akhirnya ada niatan buat bikin ekstra chapternya, hihi...Enjoy!
***
"Nonton yuk," ajak Biru sore itu ketika kelas terakhirnya selesai dan bertemu Langit. Tanpa pikir panjang, Langit langsung mengangguk karena sangat jarang Biru mengajaknya. Biasanya Langit yang akan mengajak Biru.
"Tapi filmya horor, Kak Langit mau kan?" Biru memastikan sekali lagi. Ia belum tau kalau Langit tak menyukai genre horor karena itu akan membuat jantungnya pargoy. Selain takut akan bayang-bayang pasca nonton, juga kaget karena pasti akan banyak jumpscare.
"Nggak apa, terserah kamu aja mau film apa."
Biru terlonjak senang. "GAS!"
Melihat Biru senang, Langit juga senang walaupun taruhannya jantungan.
Sebelumnya mereka ke tempat Langit terlebih dahulu untuk mengganti motor. Karena kata Langit "Pakai satu motor aja. Biar gak ribet." Tentu saja itu logika yang bagus dan Biru setuju. Mereka akhirnya pergi dengan motor Langit.
***
Saat sampai di bioskop yang terletak di lantai 8 mall, orang-orang sudah terlihat menunggu untuk menonton film horor terbaru itu. Langit heran, mengapa orang-orang bisa menyukai film horor. Melihat poster yang terpasar di frame yang bertuliskan now showing aja sudah membuat Langit bergidik. Namun, melihat Biru antusias sedikit menurunkan rasa gugupnya.
Terakhir kali Langit menonton film horor adalah lima tahun lalu saat ia masih SMA. Itupun nonton bareng satu kelas saat jam kosong. Jadi, Langit berpikir, mungkin tak akan semenakutkan itu.
Setelah mencetak tiket dan sekitar sepuluh menit menunggu, mereka masuk ruangan bioskop bersama orang-orang yang mengantri di luar bersama mereka. Langit makin heran dan menggelengkan kepala karena semua bangku penuh. Mungkin filmya viral di sosial media. Begitu pikir Langit.
Film di mulai. Layar lebar memperlihatkan seorang wanita yang duduk di pinggir danau yang sunyi senyap.
Langit menelan ludah. Dilihatnya Biru yang duduk di sebelah kirinya. Mungkin, melihat Biru akan lebih aman untuk jantunya daripada melihat layar. Meskipun keduanya sama-sama membuat jantungnya bekerja dua kali lipat, setidaknya melihat Biru tak akan membuatnya ketakutan.
Begitulah seterusnya. Langit hanya menatap Biru sepanjang film diputar. Walaupun remang-remang, ia bisa dengan jelas melihat ekspresi Biru yang berganti-ganti. Tertawa, memekik, terkesiap, dan terkadang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Langit tertawa melihat ekspresi-ekspresi Biru yang terus berganti.
***
"Ah kurang bagus endingnya."Biru mengeluh saat mereka berjalan keluar dari gedung bioskop. "Masa yang nggak bersalah juga ikut mati. Kan ngeselin."
Langit tertawa melihat wajah Biru yang kesal. Ia tak tahu harus berkomentar apa karena ia juga tak tahu isi filmnya. Ia hanya tau itu film horor thriller. Kan dia sepanjang film hanya ngeliatin Biru doang. Sambil sesekali terkaget-kaget akibat sound jumpscarenya.
"Ya, kan emang ceritanya begitu." Agar tak terlihat bodoh-bodoh amat, Langit menjawab sekenanya.
"Ya kan bisa dibikin lebih bagus lagi biar gak bikin kesel. Padahal opening udah bagus."
Langit kembali tertawa kemudian merangkul pundak Biru - yang seperti biasa ia sesali karena sekarang indra penciumannya penuh dengan wangi parfum yang Biru pakai, namun rasanya sayang kalau mau melepas rangkulannya.
"Udah, mending kita makan biar keselnya hilang."
Biru hanya mendengus dan mengikuti 'seretan' Langit di pundaknya.
Selesai makan, jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
"Mau kemana lagi?" tanya Langit. Biru mengernyit.
"Balik kos. Memangnya mau kemana lagi?" Biru malah balik bertanya dengan sinis. Mungkin karena ia masih kesal dengan filmnya jadi emosinya juga tidak stabil.
Ada raut kecewa di wajah Langit.
"Jadi, cuma gue yang pengin bareng terus. Hahaha. Anjing sakit banget cuma gue yang ngerasain," batin Langit miris. Ia tersenyum kecut.
"Oke." Langit hanya bisa pasrah. Mendengar Langit menjawab dengan nada kecewa, Biru mendadak merasa bersalah. Ia baru sadar kalau ia menjawab dengan ketus. Jadi, dia menawarkan hal lain pada Langit.
"Oh ya. Kak Langit main ke kosku yuk. Kan belum pernah. Gantian dong. Nginep juga boleh."
Seketika wajah Langit kembali cerah. Bunga yang tadi sempat layu kembali mekar memenuhi hatinya.
"Boleh?" tanyanya memastikan. Takut Biru hanya basa-basi.
"Lebih ke maksa sih. Pokoknya Kak Langit harus ke kosku abis ini." Biru dan Langit tertawa.
"Yaudah sih kalau maksa." Padahal Langit memang mau banget.
****
"Kak Langit," panggil Biru saat keduanya berada di atas motor.
"Iya, kenapa Biru?" Biru hanya mendengar samar-samar walaupun Langit sudah menjawab dengan keras.
"Aku pengin beli batagor. Nanti mampir bentar ya."
"Iya boleh. Mau beli yang dimana? Depan Indomaret apa samping toko alat tulis?" Kali ini suara Langit seperti tertelan angin. Alias was wes wos doang.
"Hah? Apa kak?"
"Mau beli yang dimana? Depan Indomaret apa samping toko alat tulis? Kalau yang depan indomaret berarti cuma gue yang suka sama lo, tapi kalau yang di samping toko alat tulis lo juga suka sama gue." Langit berharap Biru tak mendengarnya. Dan ya Biru memang tidak mendengarnya. Jadi, ia memajukan kepalanya sampai dagunya menyender di bahu Langit.
"Apa kak? Nggak denger."
Langit yang pada dasarnya kagetan, terkejut saat tiba-tiba Biru berteriak tepat di telinganya. Namun, lebih terkejut lagi karena wajah Biru kini tepat berada di sampingnya.
Bukannya menjawab, Langit malah hampir oleng.
"Beli yang di depan indomaret aja ya." Langit berteriak dengan pasrah. Kali ini Biru bisa mendengar, ia kembali memundurkan kepalanya.
"Ooke."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Langit dan Biru || lokal bxb
RomanceTentang Langit yang mencintai Biru. Sangat. bxb, homophobic dni. lokal bxb bahasa indonesia