SS 2 Ch 4: Langit yang Sama

45 4 2
                                    

Nih update lagi

Enjoy~~

***

"Hai, Kak Langit. Sendirian?" sapa Biru dengan santai.

Kevin, yang berdiri di samping Biru, tampak terkejut. Ia tidak menyangka Biru mengenal pria yang ternyata adalah Langit. Langit hanya berdecak kecil sebelum menjawab.

"Iya, soalnya yang mau kuajak bareng hapenya disilent. Ternyata lagi pergi sama orang lain," ucap Langit dengan nada datar, namun tatapan sinisnya jelas tertuju pada Biru.

Biru langsung paham siapa yang dimaksud. Tentu saja dirinya. Ia memang belum mengecek ponsel sejak bertemu Kevin, apalagi ponselnya selalu dalam mode silent. Tapi meskipun ia mengecek pesan Langit, apa yang akan berubah?

Kevin sudah lebih dulu mengajaknya pergi. Dan apakah Biru merasa bersalah? Tentu tidak. Toh, ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Kalau Langit memang ingin mengajaknya, seharusnya ia menghubungi lebih awal—entah kemarin atau setidaknya sebelum Kevin mengirim pesan.

"Oh gitu. Yaudah, duluan ya, Kak," ucap Biru dengan santai sebelum melangkah pergi bersama Kevin.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Cara Langit memandang Kevin barusan terasa aneh—seolah menunjukkan ketidaksukaan. Biru menduga itu karena Langit tak suka ia pergi dengan orang lain, seperti saat mereka masih kuliah. Tapi, bukankah sekarang situasinya sudah berbeda? Untuk apa Langit marah? Untuk apa Langit cemburu?

Tapi kemudian ia menyadari sesuatu. Kevin juga sempat memandang Langit dengan tatapan serupa.

"Lo kenal dia?" tanya Kevin tiba-tiba, saat mereka sudah berada di dalam mobil.

"Kenal. Kami dari universitas yang sama," jawab Biru singkat. Ia tak mungkin mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya adalah mantan.

Kevin hanya mengangguk kecil. "Oh."

Biru lalu bertanya, "Kak Kevin kenal Kak Langit juga?"

"Nggak terlalu," jawab Kevin singkat.

Biru tahu itu bukan jawaban yang jujur. Kevin dan Langit jelas saling mengenal, meskipun Kevin tampak enggan mengakui. Kini, Biru merasa dirinya mulai memahami situasinya.

Langit, meski tak mudah akrab dengan orang baru, bukan tipe yang mudah bermusuhan. Jika begitu, maka Biru bisa menebak alasan kemarahan Langit.

"Kak Kevin, sepertinya gue pulang sendiri aja. Gueturun sini ya," ucap Biru tiba-tiba.

Sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh pria bernama Langit. Ia tak tahu kenapa, tapi mendadak ia berubah pikiran dan merasa ingin menemui Langit. Padahal Kevin sudah menyetir mobilnya hingga ke depan.

"Loh, kenapa? Kita belum jadi makan loh," Kevin menoleh dengan raut bingung, namun ia tetap menghentikan mobilnya.

"Nggak papa, Kak. Gue turun ya. Makasih banyak udah ngajak jalan-jalan hari ini," jawab Biru sambil tersenyum tipis.

Tanpa memberi Kevin kesempatan bertanya lebih jauh, Biru segera membuka pintu dan keluar dari mobil. Ia menutupnya dengan hati-hati, lalu memberi isyarat agar Kevin segera pergi karena mobil di belakang sudah menunggu.

Setelah mobil Kevin menjauh, Biru mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik pesan singkat.

"Kak Langit, masih di mall? Aku mau nyusul."

Langit membaca pesan yang baru saja masuk. Sesuatu dalam hatinya terasa hangat dan menyenangkan. Namun, gengsi yang tinggi membuatnya enggan memperlihatkan perasaannya.

"Gausah." Sebenarnya dalam hati ia khawatir kalau Biru menuruti perkataannya.

"Hilih. Ada yang mau aku beli. Tadi lupa." 

"Di Jet Chicken lantai dua, cepet."

"Tunggu aku babyyy."

Biru cuma bercanda. Sungguh. 

"Biru bangsat, " umpat pemuda dua puluh lima tahun itu. Kenapa Biru bisa sebercanda itu. Tak tau kah kalau jantungnya kini mau copot gara-gara terlalu bahagia? Langit takut terjatuh karena ekspektasinya sendiri.

Biru celingukan mencari Langit. Ia bilang lagi di Jet Chicken tapi dia tak melihat Langit disana. Hanya ada beberapa ibu-ibu dan dua orang cewek cowok yang sedang suap-suapan. 

"Kak Langit, aku dah nyampe." Kurang dari lima detik, pesan yang baru Biru kirim sudah Langit baca.

"Tunggu bentar." Balasnya.

"Biru!" Biru terlonjak kaget saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

Langit tertawa terbahak melihat reaksi Biru yang kesal. "Bisa nggak sih nggak usah ngagetin? Kebiasaan banget!" omel Biru sambil memegang dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya.

"Cie yang masih ingat kebiasaan mantan," goda Langit semakin usil, membuat Biru—pemuda yang setahun lebih muda—semakin kesal.

"-_- ...."

Langit tak berubah. Masih Langit yang dulu Biru kenal. Kejahilannya tentu saja masih sama. Ia selalu punya ide untuk menjahili Biru. Walaupun pertemuan pertama mereka terasa canggung, tapi pertemuan kedua ini terasa mereka tak pernah berpisah.

"Ku kira Kak Langit lembur," kata Biru. Penasaran kenapa Langit tak menghubunginya.

"Enggak. Males amat, emang gua karyawan apaan. Mending jalan ama mantan." Langit menjawab sekenanya.

Biru tertawa geli medengar jawaban Langit.

"Cepet juga. Dah jalan aja sama orang kantor." Sindir Langit.

Biru berdecak kesal. Langit memang tak berubah. Tetap Langit yang pencemburu buta.

"Apaan sih, Kak. Nggak lucu."  Biru terlihat jengkel.

"Siapa juga yang bercanda?"

Biru tidak mau berdebat. Lagipula ini baru kedua kalinya mereka bertemu. Biru tidak mau merusak suasana. Walaupun Langitlah yang memulai, Biru berusaha mengerti.

***

Nih update lagi

 lagi rajin

[BL] Langit dan Biru || lokal bxbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang