***
"Ayi, aku minta tolong..."
Samar-samar Shani mendengar seseorang berbicara, dia tak bisa mendengar lebih lanjut apa yang dibicarakan oleh orang itu karena tiba-tiba saja telinganya berdenging. Dia meringis sambil memegangi telinga, berkali-kali dia mengerjapkan matanya mencoba melihat dengan jelas.
Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit berwarna putih, entah ada dimana dia saat ini.
"Shani sayang"
Suara lembut terdengar membuat Shani menolehkan pandangannya sedikit ke kanan. Dia melihat seorang perempuan yang sangat dia kenal, siapa lagi kalau bukan Shiren—mamihnya sendiri.
"Mamih" Panggil Shani.
Shiren tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap wajah putrinya. "Pusing ya? Jangan banyak gerak dulu ya, om Harry lagi panggil dokter buat kamu" Kata Shiren, tangannya tak pernah absen untuk mengusap atau sekedar menyentuh wajah Shani. Mulai dari mengusap pipi dan kening Shani.
Dari tindakannya itu, semua orang tahu jika Shiren adalah seseorang yang lembut dan penuh kasih sayang. Apalagi saat dia dengan penuh kasih sayang mengecup kening Shani sebelum akhirnya dokter datang untuk memeriksa keadaan Shani.
Saat ini mereka berada di rumah sakit, Shani pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit sekitar. Saat itu juga Harry memberi tahu Papahnya dan tanpa terduga papahnya itu—Tuan Natio hadir bersama sang mantan kakak Ipar yaitu Shiren.
"Selamat siang Tante, maaf bisa saya periksa Shani dulu sebentar?"
Shiren yang sedang asik mengusap kening Shani harus teralihkan pandangannya, dia menatap seorang pria dengan jas dokter. Dia kenal siapa pria itu dan pria itu juga kenal dengannya. Buktinya saja, alih-alih memanggil dengan sebutan 'bu' 'nyonya' atau yang lainnya, pria itu memanggilnya dengan embel-embel 'tante'.
"Silahkan" Ujar Shiren menyingkir dari tempatnya saat ini dan membiarkan sang pria berjas dokter itu mendekati Shani untuk memeriksanya.
Sang dokter yang memiliki nama pengenal bertulisan kan 'Dr. Alaric Mahawan'—bisa dipastikan jika namanya sang pria adalah Alaric. Dia dengan telaten melakukan pemeriksaan pada Shani.
Selama pemeriksaan juga beberapa kali Alaric bertatapan dengan Shani, mereka hanya saling melempar senyum saat tatapan mereka bertemu.
"Cepet sembuh ya, kalau ada keluhan lain kasih tahu aku" Ujar Alaric mengakhiri pemeriksaan, tapi tanpa terduga tangannya terangkat mengusap puncak kepala Shani.
"Bagaimana Dok?" Tanya Shiren membuat tangan Alaric berpindah dari kepala Shani dan sekarang berhadapan dengan Shiren dan Harry.
"Mari kita bicarakan di ruangan saya" Ajak Alaric.
Shiren langsung menatap Harry, "Ayi—"
"Aman, Shani sama aku dulu" Ujar Harry sebelum Shiren melanjutkan ucapannya itu, Shiren tersenyum sebagai tanda berterimakasih lalu pergi meninggalkan ruangan mengikuti Alaric.
Sementara itu kini tersisa Shani dan Harry di dalam ruangan, Harry berbalik menuju bangsal Shani. Dia menarik kursi dan duduk disana, lebih tepatnya di sebelah bangsal Shani.
Bersamaan dengan Harry yang terduduk di sana, Shani mengalihkan pandangannya dari langit-langit ruangan ke arah Harry. Dia mengingat bagaimana dia bisa pingsan dan apa kejadian sebelum dia pingsan.
"Om, apa benar yang tembak Kak Vienny itu Papah?" Tanya Shani, dia masih ingin memastikan semuanya. Ada rasa tak percaya dan tak terima, dia tak terima jika Bram lah yang seharusnya dia benci dan salahkan—bukan kakeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different World
FanfictionGita Sekar, mahasiswa sastra Inggris semester akhir yang sedang disibukkan dan dipusingkan dengan skripnya, tetap mencoba waras dengan melampiaskan rasa lelah dan stressnya pada mainan. Gita yang memang sedari dulu suka sekali mainan dan punya kein...