"Tsunami dahsyat melanda..."
"Usaha penyelamatan terhalang..."
Berbagai platform saluran berita menayangkan soal Tsunami yang melanda sebagian besar pesisir pasifik di California dan sekitarnya.
"Sementara tidak terhitung yang terdampar dan cedera..."
"Petugas darurat terus mencari yang hilang dan mungkin tewas."
Air mulai surut, dan Buck masih mencari Gavin, setengah mati. Meneriakkan nama putra rekannya itu. "Adakah yang melihat anak laki-laki terbawa air?" Ia berteriak seperti orang gila dan bisa dimaklumi. "Umurnya 8 tahun. Rambutnya cokelat. Memakai kaca mata, kaus kuning." Ia menanyai siapa pun orang yang ditemui. "Adakah kau melihat anak laki-laki?"
Mereka semua menjawab, "Tidak, maaf." Sembari menggelengkan kepala. Turut prihatin.
Ketika hampir putus asa, Buck melihat sesuatu yang familiar di ingatannya. Tersangkut pada ranting pohon yang juga tidak hanyut karena terhalang beragam benda. Ia berlari mengambil benda itu. Kaca mata milik Gavin. Tetapi di sekitar situ tidak ada si anak tersebut. Kaca mata Gavin memang dibuat khusus dengan tali sehingga tidak akan lepas atau hilang saat bermain di sekolah. Buck mengalungkan kaca mata itu di lehernya. Ia bertekad, harus menemukan anak itu. Walau nyawa yang jadi taruhannya.
🎡🎡🎡
20 Menit Sebelum Gelombang Pertama
Pacific Park Santa Monica Pier, California, adalah taman hiburan dan bermain yang sangat terkenal di Amerika. Berbagai macam orang bisa datang ke sini. Sendiri, berdua, atau sekeluarga.
"Sungguh? Kau mau melakukannya di sini?" tanya Molly pada suaminya, Max.
"Sekalian kita akhiri di tempat berawal, kan?" Max bersikeras. Mereka mau cerai hari itu. Dan ia ingin melakukannya dengan benar. Benar versi dirinya. "Ini TKP-nya. Tempat kau mengatakan "Ya."
"Entah nostalgia romantismu itu menggemaskan atau menyedihkan," sindir Molly, sekaligus menertawakannya.
"Lima tahun, Stace," kata Max. "Kita sudah jalani satu lingkaran penuh. "Secara harfiah. Metaforanya pun benar."
Mereka sudah berdiri di depan biang lala.
"Max, kita di sini untuk tanda tangan surat cerai." Molly berharap Max bisa bersikap lebih dewasa.
"Pasti," kata Max, tidak main-main. "Tidak perlu ada perasaan sakit hati. Tidak ada drama, tapi kenapa tidak mengenang tempat semuanya berawal?" Ia menunjuk bianglala itu. "Benar?"
"Akhiri dengan positif?" Molly tersenyum.
Mereka pun masuk ke salah satu keranjang, setelah dibukakan oleh petugasnya. Bianglala mulai berputar. Menyajikan pemandangan pantai Santa Monica dari ketinggian.
"Pemandangannya tetap menakjubkan," kata Molly, kagum.
"Benar sekali." Max setuju.
"Dan kau tetap payah dalam menggoda seperti itu," ujar Molly.
"Di langit, seolah tidak ada yang berubah." Max menatap wanita berambut keriting dan kulit gelap itu dengan perasaan yang berkecamuk. "Kota yang sama. Perairan yang sama."
"Orang yang berbeda," tambah Molly. Kemudian ia membuka amplop coklat yang diambil dari dalam tasnya. Itulah surat cerainya. "Sudah saatnya."
"Aku lupa bawa pulpen," kata Max, seolah ingin mengacaukan rencana.
"Tenang saja, aku punya dua." Molly tidak kehabisan akal. Ia sudah persiapkan semua.
Kemudian, bianglala terhenti. Mungkin ada yang naik di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
118: The Help Is Coming
AcakKetika seseorang menghubungi 911, biasanya ada hal darurat yang terjadi. Segenap upaya, operator akan menghubungkan dengan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian, petugas pemadam kebakaran, juga petugas medis. Bahkan bisa saja sang operator harus m...