- Selamat Membaca -
| Menyembunyikan untuk kebaikan bersama, tidak masalah, kan?
Inaya Azmi Athifa
———
Aretha sudah bersama Bunda Inaya dan Abi Fathir di rumah tempat tinggal Aretha sendiri bersama putra sulung kesayangannya. Tentu dengan ditemani si bungsu Khanza Nimah Zayna. Mereka bertiga dimintai tugas menjaga gadis kesayangan seorang Emran, selama pemuda tampan pemilik mata sipit ini menyelesaikan urusannya di kantor polisi.
“Kakak cantik. Udah dong, jangan nangis terus! Khanza doain semoga cepet sembuh, ya,” kata si gadis SMP ini.
Gadis kecil itu benar-benar merasa iba tatkala melihat bagaimana wajah cantik yang selalu ditutupi oleh iparnya sekarang banyak sekali luka. Bunda Inaya saja yang mencoba membantu mengobati menantunya tak tahan. Air mata milik wanita yang sama-sama mengenakan cadar tumpah dengan sendirinya.
“Ya Allah, kenapa Engkau memberikan kehidupan yang pedih buat Kakak cantiknya Khanza ini?” ucap Khanza sembari mengangkat kedua tangannya, duduk di samping iparnya yang tengah diobati oleh bundanya, “semoga mereka yang jahat mendapatkan balasan yang setimpal. Aamin, ya Rabb.”
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Sayang? Apa punggungnya mau Ibun obati juga?”
Hanya sebuah pertanyaan, tapi pertanyaan ibun tersebut dijawab anggukan saja oleh Aretha. Sebab, selain karena tak kuat menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya dia juga merasa kesal, sedih, kecewa bahkan sempat berpikir untuk menyerah. Tidak sanggup lagi bertahan hidup di tengah orang-orang yang membenci dirinya.
Bunda Inaya dibantu Khanza membukakan resleting bagian belakang yang memudahkan untuk Bunda Inaya khususnya mengobati luka mantunya.
“Allohu akbar, Ibun! Lihat ini, Ibun, ini lukanya … astagfirullah. Kakak cantik.”
Runtuh sudah pertahanan Khanza—-si gadis SMP ini setelah melihat luka di punggung iparnya—-sementara sang ipar, si pemilik luka ini semakin terisak sembari meringis perih merasakan punggungnya diobati Bunda Inaya.
“Ibun!” panggil Aretha, suaranya begitu pelan sekali sampai-sampai hanya dapat terdengar oleh ibunya saja.
Jemari Bunda Inaya terhenti. Dia mendekatkan lagi tubuhnya ke arah Aretha, “Ada apa, Sayang? Hem, bilang sama Ibun, yuk, apa sakitnya semakin parah, hem, Nak? Coba Ibun pengen denger.”
“Ibun! Ke-kenapa jalan hidup Retha harus begini banget, sih? Ke-kenapa Retha justru mendapatkan siksaan yang tiada hentinya. Mereka orang tua Retha sendiri, Ibun, terus kenapa sampai tega sekali? Ibu!”
“Iya, Nak?”
Aretha mencoba memperbaiki posisi duduknya menghadap ke arah Inaya. Hari ini menjadi hari paling menyakitkan untuk Aretha selain mendapatkan bulian di kampusnya, ia juga mendapatkan siksaan dari kedua orang tuanya tanpa tahu kalau sebenarnya ada dua fakta yang tidak Aretha ketahui.
Sepertinya hanya diketahui oleh suaminya.
Kuncinya sekarang jika Aretha ingin semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menari-nari di kepalanya ya harus menunggu Emran. Sedangkan, si tampan pemilik mata sipit itu belum terlihat sama sekali batang hidungnya.
Aretha menyandarkan kepalanya pada pundak Bunda Inaya. Isak tangisnya tak kunjung berhenti. Di sebelah kanannya Khanza—-si gadis SMP ini turut serta menempel pada Bunda Inaya—-bedanya si kecil itu menangisi luka yang dialami kakak cantiknya.
“Ibun! Kata orang senior tampan juga dingin idola Retha itu suami Retha. Apa iya?” tanyanya, “Retha pengen denger jawabannya. Kenapa bisa bilang bahwa dia suami Retha, kalau iya kapan kita menikahnya? Kalau iya Retha selama ini sebagai istri sangat tidak becus sekali bukan? Harusnya di mana-mana seorang istri itu bisa mengurus suaminya, melayani suaminya dengan baik, kan? Tapi Retha apa?”
Lagi. Air mata Aretha dan juga Bunda Inaya kembali tumpah ruah. Keduanya sama-sama tidak tahu harus mulai dari mana lagi untuk memulai suatu percakapan setelah cukup lama hanya sebuah pertanyaan yang terlontar.
Bunda Inaya menangkup pipi yang penuh luka itu. Tidak! Bukan lupa serius sebenarnya, hanya tanda merah bekas tamparan itu masih terlihat jelas dan sesekali mampu membuat seorang Aretha meringis, perih.
“Sayang! Dengar Ibun sebentar boleh, kan?”
Aretha mengangguk. Genangan air matanya tak juga berhenti.
“Semua pertanyaan kamu tadi, yang berhak menjawabnya itu ialah Emran. Dia yang akan menjelaskan dan menjawab semua pertanyaan yang kamu butuhkan, tapi berjanjilah kepada Ibun, Sayang, kalau nanti kamu sudah mendapatkan jawabannya. Jangan pernah merasa dirimu apa-apa, karena bagi Ibun, kamu ini Aretha Zayba kesayangannya senior dingin kamu. Hem?”
“Berbahagialah setelah ini, ya, Sayang. Ibun bakal pastikan Emran akan memberikan kebahagiaan kepada kamu,” lanjutnya, kemudian kembali memeluk mantunya. Penuh sayang.
“Ibun! Retha … sayang ibun,” lirih gadis itu.
Padahal tujuannya Aretha mengungkapkan kasih sayangnya itu pada Bunda Inaya—wanita yang telah menjadi sosok pengganti untuk Aretha. sebab, dia tidak pernah mendapatkan perhatian lebih dari orang yang dimaksud dengan ibunya sendiri.
Si kecil Khanza ada-ada saja menyahut, membalas ungkapan Aretha dengan wajah bayinya tersebut. “Khanza juga sayang sama Kakak cantiknya Khanza. Sayang banget.” Khanza merentangkan kedua tangannya, Aretha mendekat memeluk si kecil Khanza.
Huh, andai saja Aretha merasakan keharmonisan sebuah keluarga. Pastinya akan sangat senang sekali rasanya.
Di balik dinding seseorang tengah menguping percakapan tiga bidadari cantiknya. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan seseorang yang telah menyelesaikan urusannya dengan pihak berwajib. Apalagi ini sudah malam dan di rumah hanya ada tiga bidadari cantiknya, setelah mendapatkan pesan dari abinya yang mengharuskan kembali ke Pesantren.
Jadinya, dia langsung ke rumah tapi mendapati tiga bidadari cantiknya saling berpelukan satu sama lain.
Ah, kenapa mesti ada adegan melow begini, sih? Tapi dia janji setelah ini hanya akan ada kebahagiaan yang dia akan berikan kepada tiga bidadari cantiknya.
“Assalamualaikum warrohmatullahi wabarakatuh, Ibun. Adek, Tha. Kalian bertiga sedang apa nih?”
Mendengar suara laki-laki masuk ke kamarnya. Spontan Aretha menyembunyikan dirinya di balik lipatan selimut tebal dan hanya terlihat pantatnya saja. Ups, tapi memang begitulah faktanya. Aretha menyembunyikan sebagian tubuhnya. Hanya ibarat kata sebatas pinggang saja yang masih mengenakan gamis.
“Astagfirullah. Emran,” kaget Bunda Inaya mengusap dadanya.
“Aws.” Terdengar suara rintihan di sana.
Khanza turun dari kasur mendekat ke arah sang kakak, menyalimi punggung kakak tampannya, kemudian tak lama dia mengoceh sendiri. Memberikan ceramah untuk Emran agar ketika hendak masuk setidaknya mengetuk pintu saja dahulu.
Emran—-kakaknya Khanza ini lupa atau gimana, ya—-kan, Aretha belum sama sekali mengetahui kebenarannya.
Kalau dadakan begini yang ada dia takut nanti, bukannya malah lancar jaya berceritanya.
“Khanza, Sayang. Ibun tahu kamu kesal sama kakaknya, karena Kakak datang tanpa mengetuk pintu. Hem, sebaiknya ikut Ibun ke kamar sebelah, yuk? Kan, Kakak udah siapin kamar mewah buat adeknya. Apalagi setahu Ibun banyak sekali pernak-pernik kesukaan kamu loh,” sahut Bunda Inaya.
Khanza menatap curiga pada Ibun dan Kakak tampannya. “Bener?”
Kira-kira Emran jadi tidak, ya, mengungkapkan kebenarannya kepada Aretha?
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]
ChickLitTanpa diduga ternyata Aretha Zayba Almira telah dinikahkan dengan seorang pemuda tampan anak dari seorang pemimpin Pesantren, semua itu telah direncanakan oleh kedua orang tuanya. Aretha yang mengharapkan kehidupan yang indah dan memiliki rumah yang...