- Sebelas -

8 0 0
                                    

- Selamat Membaca -

| Sepertimu yang menghilangkan kebahagiaanku, aku pun akan menghilangkan kebahagiaanmu.

Haura Rahma Sakhie 

———

Empat tahun lamanya Haura menahan rasa nyeri, perih menggeorogoti tubuhnya sendiri saat tahu malaikat kecil yang dia lahirkan dari rahim miliknya justru harus menghadap Sang Pencipta di usianya masih belia. Haura murka, tapi sebisa mungkin dirinya menahan segala rasa kekesalan yang tersimpan di hatinya yang sekarang ini menjadi dendam yang tidak pernah berkesudahan.

“Mas! Daripada kita urus anak itu tapi nggak pernah bikin kita beruntung, bagaimana kalau kita jual saja? Maksudnya kita serahkan Aretha ke Tuan Burhan saja, supaya utang-utang kita cepet lunas,” saran Haura waktu itu.

Jiyad—-suami Haura memikirkan baik-baik saran istrinya tersebut—-sebenarnya bukan dia yang memiliki utang ke rentenir itu. Hanya Haura yang terus menerus meminjam uang ke rentenir karena Jiyad kesulitan mencari uang. Alasannya untuk apa hanya Haura lah yang tahu. 

Jiyad sendiri tidak pernah tahu apakah iya Haura mempunyai utang yang banyak ke rentenir. Tidak! Sungguh, hanya tahunya Haura itu berusaha menyekolahkan Aretha—-putri semata wayangnya jadi tidak masalah saja selama itu demi Aretha. Pikir Jiyad. Padahal jauh dari lubuk hati seorang Haura tersimpan sebuah rencana jahat.

“Nggak ada cara lain memangnya, Ma? Kasihan Aretha masih kecil, masa iya kita serahkan sama Tuan Bahrun, sih?” 

Haura memutar bola matanya malas. Dia kebingungan harus dengan cara apa lagi dia bisa menyingkirkan hidup Aretha supaya dia bisa melihat bagaimana Jiyad kehilangan putrinya sendiri. Lah, itu artinya Haura?

Pusing memikirkan cara untuk menjauhkan Aretha dari pandangannya. Dia pun menepi sendiri berpikir dan berusaha mencari cara agar anak yang tidak dia inginkan pergi dari rumahnya.

Aku harus bisa. Anak itu menjadi penghalang untukku bisa menguasai segalanya! Aku tidak bisa membiarkan dia hidup tenang menikmati masa sekolah seperti anak yang lainnya. Sementara, putriku sendiri yang lahir dari rahimku malah Jiyad melenyapkannya. Andai saja aku tahu lebih awal, akan kubalaskan semua sakitku detik itu juga,’ batinnya kesal. 

Sampai suatu malam Haura berhasil mempengaruhi seorang Jiyad yang merupakan satu-satunya manusia kepercayaan Aretha, nyatanya mereka berdua menyeret Aretha yang baru selesai mengaji menuju ke sebuah tempat di mana ada seseorang yang akan membayar barang bawaan mereka. 

Iyaps. Mereka tega sekali menyeret Aretha tak peduli meski anak itu merintih kesakitan karena tidak sempat memakai sandal membuat kaki mulusnya terkena aspal. 

“Mama, Papa. Tolong lepaskan Retha! Retha nggak mau di bawa ke sana, Ma. Pa! Retha takut,” rintih gadis malang bercadar hitam itu.

Haura terus menarik paksa lengan Aretha tidak peduli lagi seperti apa kondisi yang ditarik olehnya. “Heh! Anak kurang ajar. Dengar, ya! Jadi anak itu harus berguna, minimal bisa menghasilkan duit buat kita sebagai orang tua yang mengurusmu! Paham?” Haura hampir saja melepaskan hijab yang menutup kepala gadis malang itu, tapi secepat mungkin Aretha menepisnya.

“Anak tidak berguna! Lepaskan hijabmu, sialan.” 

“Ma! Apa nggak keterlaluan, nggak, sih? Kasihan dia tahu lihat tangannya kayak begitu.” 

“Udah. Kamu diem saja, santai! Kita bawa secepatnya anak ini sekarang dan kita kasihkan ke Tuan Burhan pemilik club di perempatan jalan, biar cepet kita dapat duit!” 

Perdebatan tersebut membuat Aretha mengambil kesempatan untuk menggigit tangan Haura dan Jiyad sekuat mungkin sampai benar-benar berdarah. Saat mereka meraung-raung karena tangannya berdarah dan terdapat bekas gigitannya di sana Aretha secepat mungkin melarikan diri sejauh mungkin.

Kakinya yang sudah tidak dilapisi apa-apa dengan pakaian yang amburadul tidak bisa dikatakan rapi, bahkan hijabnya pun bengkok. Aretha tidak peduli, merasa bodo amat. Dia terus berlari di tengah heningnya malam dan tidak ada seorang pun manusia di jalanan yang Aretha lewati pada awalnya. 

Bahkan kendaraan pun. Ini seakan Tuhan bahkan alam pun mendukung untuknya bisa membuat Haura dan Jiyad leluasa menangkap Aretha karena dirasa tidak ada orang yang akan mengganggunya.

Ya Allah. Tolonglah hamba, pertemukanlah hamba dengan siapa pun! Hamba sudah tidak kuat, Ya Allah. Hamba pengen lari dari mereka, tapi kaki ini terasa sulit sekali digerakkan,” lirihnya.

“Aretha! Anak sialan, cepat kembali!” tteria Haura.

Jiyad pun semakin mengeraskan panggilannya, dia ikut-ikutan mengancam Aretha tatkala dirinya mendapatkan serangan berupa gigitan dari anaknya sendiri. “Aretha! Kemarilah, datang padaku sekarang juga! Kamu akan saya jual supaya menghasilkan uang, Aretha!” teriak Jiyad.

Di persimpangan jalan terlihat sorot lampu yang bersinar membuat mata cantik Aretha remaja itu menyipit. Dia cukup khawatir dan mendadak dirinya takut kalau sampai kendaraan entah apa pun yang melewati ke tempatnya berdiri suruhan mama dan papanya. Tapi ternyata saat Aretha tiba menghentikan langkahnya. Kendaraan tersebut berhenti.

Seseorang keluar dari dalam sana. Aretha lupa-lupa ingat tentang kapan dirinya bisa melihat seseorang di hadapannya. Tapi yang jelas tidak tahu kenapa hatinya bergetar, degup jantungnya berdetak lebih cepat.

“Masuklah ke mobil!” titah orang tersebut.

“Aretha sialan! Pulang kamu, kembali padaku sekarang juga sialan!” teriak Haura dari seberang jalan.

Tidak ada pilihan lain selain langsung masuk ke mobil, tapi bukannya si pemilik mobil itu langsung masuk malah menghampiri kedua orang yang mengejar Aretha. Aretha sendiri tidak peduli dan lebih menyelamatkan dirinya daripada harus berhadapan dengan mereka.

“Ya Allah. Semoga saja Kakak tampan itu dapat membantuku,” ucapnya sepelan mungkin, karena khawatir kalau ada yang mendengar suaranya.

Aretha berada di bagian belakang. Lebih tepatnya bersembunyi di kursi belakang, terus menyembunyikan tubuhnya agar tidak dapat dilihat oleh siapa pun. Aretha tidak tahu saja kalau kakak yang dimaksud oleh Aretha tadi sudah tidak ada di tempat. Bahkan tidak terdengar suara orang berteriak.

Mereka ke mana? Di mana mereka? Terus, sampai kapan Aretha akan bersembunyi di dalam mobil itu? 

Bagaimana kalau ada seseorang yang asing masuk mobil dan dia diketahui dan mereka pun membawa dirinya? Ah, tidak! Tunggu, jangan sampai sesuatu terjadi kepadanya. Berdoa untuk sekarang adalah hal terbaik.

Hampir sejam lamanya Aretha menunggu, punggung dan kedua lututnya tidak sanggup berada dalam posisi seperti tadi. Alhasil, dirinya mencoba duduk dan mengangkat kakinya ke atas kursi sembari mengipasi bagian telapak kakinya yang luka. 

“Sakit banget, ya Allah.” 

Dari jauh saat sudut matanya tidak sengaja melihat ke arah jalanan tampaklah seseorang yang ditunggu-tunggu sejak tadi masuk ke mobil, tapi dia sembari mmembwa sebuah koper yang dia yakini dan ia kenali bahwa barang itu miliknya.

“Jangan berbicara apa pun lagi! Duduk dan istirahatlah. Saya pastikan mereka tidak akan mengejarmu lagi!” titah si orang tersebut. 

“Ta-tapi—”

“Tutup mulutmu!” 

Is. Padahal Aretha pengen tanya kenapa dia sampai membawa koper yang dia yakin pasti benda itu miliknya. 

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang