- Empat Belas -

8 0 0
                                    

- Selamat Membaca -

|| Istri kecil ini sumber kebahagiaanku

Emran Haritz Al-Khalid 

———

Niat hati ingin menikmati momen berdua bersama, tapi justru harus di hadapkan dengan sambutan yang tiba-tiba datang mencoba menempel pada salah satu dari mereka. Siapa lagi kalau bukan si tampan berwajah dingin nan memiliki sorot mata tajam itu. Emran—-yang didekati perempuan itu memundurkan langkahnya—-bersembunyi di belakang tubuh kecil istrinya. 

Sayangnya, bukannya menyerah perempuan berpakaian kurang bahan itu malah coba mendekat dan terus mengikis jarak di antara dirinya dengan seseorang yang menghalangi jalannya.

“Ran! Kok kamu begitu, sih? Kamu nggak lupa, kan, sama aku?” 

Alih-alih mendapatkan uluran tangan dari Emran, justru istri kecilnya lah yang membalas uluran tangan tersebut, “salam kenal. Aku Aretha Zayba Almira, istrinya Kak Emran. Kakak siapanya Kak Emran, ya? Dan … apa Kakak nggak merasa jengah atau aneh gitu, dengan penampilan begitu mesti dempet-dempetan sama suami orang?” 

“Heh!” Si perempuan berpakaian minim itu mendorong bahu Aretha. “Aku—-Dinar Nadheera, teman SMP-nya Emran. Kita dulu itu deket banget, lagian aku nggak percaya perempuan bocah modelan kamu itu istrinya Emran?” 

Emran menarik tangan Aretha, kemudian menyembunyikan tubuh istri kecilnya di belakang dirinya. Dia menatap dingin sosok di depannya. Mencoba memberikan peringatan agar dia yang berada di hadapannya tidak berani bermacam-macam dengan dirinya maupun istri kecilnya.

Kesempatan bisa berhadapan dengan Emran dimanfaatkan oleh si perempuan itu, tapi sayangnya baru saja hendak menempel Emran langsung mundur. 

“Jaga batasan kamu! Jangan pernah mendekat atau mencoba ganggu kami!” 

Dinar Nadheera—-perempuan berambisi—-tidak pernah menyerah akan peringatan yang ditujukan kepada dirinya, tidak juga menyerah untuk berhenti mendapatkan cinta Emran. Sejak SMP bahkan hingga sekarang perempuan itu sama sekali belum menikah, dulu sempat ada yang mendekati tapi sayangnya hati dan pikiran dia tertuju pada Emran Al-Khalid. 

“Ran! Tahu nggak? Aku datang ke sini itu buat bisa dekat sama kamu lagi, aku pindah ke Indo loh, soalnya Papi aku jadi menetap di sini,” katanya dengan nada yang dibuat-buat. 

Emran dan Aretha pergi dari hadapan Dinar tidak peduli dengan perempuan itu terus berteriak memanggil Emran. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di sebelah kanan yang mana tempat khusus pakaian-pakaian dalam wanita. Tidak tahu, mengapa ke arah sana. Yang pasti niatnya mereka ah, tidak, bukan mereka, melainkan Emran menarik Aretha untuk pergi ke arah sana. 

Ketika keduanya sama-sama mengangkat wajah mereka selepas menetralkan degup jantung yang tidak beraturan sama sekali. Bola mata mereka membelalak tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Emran dengan wajah memerah bak kepiting rebus, sedangkan Aretha langsung menunduk. 

Syukurnya dia memakai cadar, sehingga Emran tidak bisa melihat wajahnya yang sedang merah karena menahan malu itu.

“Ka-Kak,” sapa Aretha terbata-bata. 

Emran yang mengerti akan kegelisahan sang istri lantaran melihat di sekelilingnya terdapat benda-benda yang biasa digunakan oleh perempuan di area bagian dalam pun tidak bisa berkata-kata. “Ma-maaf. Aku tidak tahu kalau aku ajak kamu sembunyi justru malah nyasar ke sini.” 

Aretha tidak tahu harus bagaimana. Dirinya mendadak panas dingin tatkala di hadapannya menggantung pakaian yang biasanya digunakan seorang istri ketika merasakan suasana malam pertama. 

“A-apa kita bakal sekalian beli ini aja, Kak?” tanya Aretha tiba-tiba membuat Emran susah payah meneguk salivanya, apalagi ketika melihat penampakan di depannya. 

You know? Lingerie? Apa lagi dengan warna hitam yang … ah, susah sekali dideskripsikan. Sungguh, tiba-tiba saja pikiran Emran mendadak jadi membayangkan istrinya memakai pakaian itu—-di hadapannya. 

“Permisi, Pak, Bu. Ap kalian melihat perempuan dan laki-laki berjalan ke sini?” 

Emran mendengar jelas seseorang seperti mencari dirinya. Emran menarik sang istri, lalu menyembunyikannya agar siapa pun yang posisinya berada di belakang mereka tidak mengenali keduanya. Namun, Emran menarik salah satu pakaian dinas tiba-tiba berwarna merah menyala dan setelah dipastikan suara itu tidak lagi terdengar cepat-cepat Emran membawa istrinya pergi dari sana.

Langkah Aretha terhenti saat sudut matanya menangkap sesuatu yang dipegang oleh Emran. Si tampan bermata sipit itu sontak terdiam, lalu menoleh ke belakang mengangkat salah satu alisnya bermaksud bertanya. 

“Kakak. Ngapain bawa itu? A-apa ki-kita beli itu?” tanya Aretha terbata-bata.

Emran mengikuti arah telunjuk istrinya, lalu dia menepuk jidatnya sendiri. Pakaian dinas itu sudah berhasil dibawa oleh dirinya dan sudah jauh dari tempat di mana pakaian tersebut terpampang. 

“Boleh?” 

Aretha meneguk salivanya susah payah. Kalau ceritanya begini, itu artinya Emran bakal meminta dirinya memakai itu dong? Tidak mungkin juga hanya membeli asal kalau tidak digunakan?

“Emran!” 

Emran dan Aretha terdiam. Keduanya sama-sama berdiri kaku, tidak pergi pun membalikkan badannya sama sekali. Hingga di tengah kerumunan orang-orang yang sebagian dari mereka cuma berlalu lalang itu seseorang mendekat dan menarik ujung jaket yang dipakai oleh Emran sembari menggoyangkannya.

“Emran! Kenapa kamu tega banget sama aku? Aku jauh-jauh kembali dari Ausie hanya buat kamu. Sejak dulu pas kita sama-sama SMP kenapa juga aku susah banget dapetin kamu, sih? Sekalinya aku bisa dekat tapi malah kamu sudah mendapatkan penggantinya. Lagian, kenapa juga harus nikah sama bocil kayak dia? Penampilannya aja nggak modis banget. Apaan coba?”

Emran membalikkan badannya. Menatap tajam manusia satu yang membuat amarahnya meluap. “Jangan pernah kamu mengatakan istriku dengan sebutan bocah! Kalau kamu tidak tahu, aku kasih tahu sekarang juga,” kata Emran, menatap sinis pada Dinar yang malah bersidekap dada, “dia! Istri kecilku, sumber kebahagiaanku.” 

“Oh astaga, Emran.” 

“Ayo pergi, Habibati. Jangan pedulikan dia!” 

“Emran! Aku mencintaimu, aku tidak bisa untuk tidak melepaskanmu begitu saja! Please, banget, Emran!” 

Satu hal yang Emran lakukan sekarang. Ia dan Aretha langsung menuju kasir untuk melakukan pembayaran atas barang yang dia bawa tadi. Tidak hanya itu juga mereka berdua langsung membeli segala macam yang menjadi whishlist Aretha dan Emran membayarnya. 

Setelah dari Mall kini mereka berada di dalam mobil, belum waktunya pulang tapi dia akan lebih dulu pergi ke bioskop. Aretha melihat di internet ada sebuah film yang menarik yang bertemakan tentang rumah tangga. Di mana judulnya ialah, ‘Ipar Adalah Maut.’ Film yang sedang tranding bulan ini. 

Emran menyetujui saja. Sesuai janjinya dia pasti menemani ke manapun istrinya pergi dan inginkan. Melupakan sejenak tugas kuliah, organisasi sebagai pimpinan BEM serta pemilik sebuah perusahaan dan beberapa mall yang berada di luar daerah. Prinsipnya sekarang, ‘Bahagiakan istri, maka segala urusan apa pun hidupmu akan Allah permudah. Sebab, setiap langkah yang dilakukan oleh seorang suami tanpa rido seorang istri akan terasa hampa.’ 

Lebay, tapi ya begitulah Emran. 

- Bersambung -



Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang