- Selamat Membaca -
| Aku kalah, dia pun mesti kalah
Galang
———
Sejak melihat bagaimana amarahnya seorang Emran Haritz sang Presiden Mahasiswa. Malam ini Tiara meminta seseorang mendatanginya di rumahnya karena kebetulan baru tadi sore mama dan papanya pergi ke luar Kota. Apalagi kalau bukan untuk urusan pekerjaan. Ke mana saja mereka selalu bersama. Melupakan anak semata wayangnya sendiri.
Dia menghentak-hentakkan kakinya sendiri, orang yang dia tunggu tidak tahu kenapa lama sekali datangnya. Ia bosan. Di rumah seorang diri. Sengaja tidak keluar karena ingin membicarakan terkait masalah siang tadi.
“Tuh orang ke mana, sih, lama bener dah?” gerutu Tiara, “pokoknya … setelah ini gue nggak mau lagi dah berurusan sama Pak Presma modelan macam Emran begitu. Bisa kena jantungan gue. Ih, tapi andai aja dia nggak semenyeramkan itu. Mungkin gue bisa dekati dia terus nggak peduli kabar itu beneran atau bohongan.”
Tin … tin … tin …
Terdengar suara klakson mobil yang terparkir rapi di halaman rumahnya. Cepat-cepat dia beranjak dari tempat duduknya, kemudian pergi keluar dan benar saja di sana sudah ada seseorang yang dia tunggu.
Dia malah cengar-cengir saja. Tidak tahu kalau Tiara saat ini kesal dan menahan amarah karena ancaman seorang Emran siang tadi.
“Ke mana aja, sih, lo? Gue tungguin juga dari tadi,” protes Tiara sembari berkaca pinggang.
Seseorang yang ditunggu oleh Tiara melangkah lebih dekat, untuk kemudian dia merangkul bahu Tiara seperti orang yang bersaudara saja, dia mencolek dagu Tiara dan mencoba menggoda Tiara agar marahnya segera reda.
“Ayolah, Aneira-nya gue masa ngambek terus perkara gue telat padahal,” bujuknya.
Tiara menjauhkan tubuh orang itu dan dia menghempaskan badannya di sofa. “Lo bilang padahal? Hei, ege! Apa lo tahu kalau ternyata Pak Presma kita itu tadi ngancem gue, hah?! Lo ke mana aja, gue hampir mati dicekik sama dia kalau nggak buat perjanjian tadi.”
Mendengar ada kata, ‘perjanjian’ membuat si orang tersebut langsung duduk merapatkan tubuhnya ke dekat Tiara. “Perjanjian apa, Ra?” tanya orang tersebut, tapi sepertinya Tiara masih kesal terbukti dia masih cemberut saja dan tidak mau menatap ke arahnya sama sekali. Gemas dia pun balik mengancam Tiara. “Lo nggak ngomong juga gue cium, mau?”
Tiara memukul orang tersebut. “Apa sih, lo?”
“Ya udah apa. Ngomong dong yang jelas, Sayang! Nggak usah ngambek dulu, ayo.”
Apa katanya tadi? Sayang? Hei, pertama kalinya dalam sejarah seorang Tiara Aneira mendengar sosok Galang menyebutnya dengan panggilan sayang? Tunggu-tunggu, tidak boleh baper dulu. Pastinya dia itu cuma menggoda saja.
“Beneran nih, minta dicium, ya? Hem, atau mau gue—”
“Dasar otak mesum lo, Lang!” potong Tiara yang langsung menutup mulut Galang dengan tangan mungilnya, tapi si jahil Galang malah mengecup tangan mungil itu dan berhasil dilepaskan oleh si pemiliknya. “Ayoklah!”
Tiara berdehem, menghela napas panjang dan dia pun bercerita semuanya pada Galang tentang kejadian siang tadi. Sama halnya dengan Galang. Dia bertukar cerita pada Tiara. Bedanya Galang sendiri kalah dalam balapan dan dia tidak pernah mau menerima kekalahan tersebut.
Maka, Galang pastikan dan dia buat sebuah rencana untuk bisa mengalahkan siapa pun orang yang mencoba menghalangi jalannya termasuk seorang Presma seperti Emran.
Bahkan bisa dibilang kalau Galang ini ingin sekali menjatuhkan Emran dari kursi jabatannya sebagai Presiden Mahasiswa.
“Oke. Gue rasa emang bener lo udah nggak usah terlibat lagi sama manusia modelan kayak dia. Urusan dia sekarang biar sama gue aja. Lo … mending duduk tenang, kuliah yang rajin dan seperti biasa. Tiap gue butuh lo, lo harus ada, bagaimana?” Pertanyaan tersebut hanya diberi anggukan saja oleh Tiara, sementara Tiara sendiri tidak tahu kata butuh ini dalam artian apa.
***
Di sisi lain. Seseorang tengah menanti kebenaran yang harusnya sudah ia dengar dari jauh-jauh hari. Semuanya bagi dia terasa sangat menyakitkan. Puing-puing teka-teki yang selama ini orang-orang sebutkan sama sekali tidak menemukan jawabannya.
Mereka sepasang manusia yang akhirnya salah satu dari keduanya pasrah menampakkan wajah cantiknya yang penuh luka di hadapan laki-laki yang seharusnya. Mau terus bersembunyi pun toh pada kenyataannya dia pasti akan memaksa untuk bangun.
“Jangan sebelah sana, Kak! Bagian itu perih banget, Retha nggak kuat … sssss, aduh-aduh.”
Kak? Ya, siapa lagi kalau bukan si tampan Emran pemilik mata sipit itu yang kini kembali mengobati luka-luka Aretha, tapi sekarang dia meniupinya karena mendengar gadis kesayangannya merintih, mengucap kata perih berkali-kali.
“Maaf. Maafkan Kakak nggak karena nggak bisa hati-hati, ya, Habibati,” ucap Emran lirih.
Aretha memaksakan diri berbalik menghadap lawan bicaranya, walau sebenarnya jujur dalam hati yang teramat dalam sangat-sangat malu sekali berhadapan dengan senior dingin idolanya yang dulu hanya bisa dilihat dari kejauhan. “Kakak jangan minta maaf, nggak salah juga. Retha aja yang lebai. Hehehehe.” Gadis cantik dengan wajah penuh luka itu menampakkan giginya yang rata.
Emran yakin kalau dia sudah bisa tenang dan tidak sesedih tadi sore, tapi tunggu setelah berbagai macam kejadian menimpa Aretha, apa itu artinya Emran sudah waktunya menceritakan yang sebenarnya?
“Kakak mau ke mana, Kak?” tanya Aretha, saat Emran malah keluar kamar, tapi beberapa menit setelahnya dia kembali membawa sebuah kotak besar dan duduk di samping dirinya. “Itu apaan, Kak? Besar banget, baru kali ini Retha nemuin kotak besar itu di mansion milik Kakak?”
“Bukan milik Kakak, Habibati. Tapi milik kamu, hem, kita berdua.”
“Maksudnya?”
Emran menaruh kotak itu di sisi tempat duduknya. Tak lama Emran membenarkan anak rambut milik Aretha dan menyelipkannya di belakang telinga. “Kakak harap ketika nanti Kakak menceritakan sebuah kebenarannya dengan kamu, Kakak mau kamu janji jangan marah atau menyakiti dirimu sendiri, ya? Kakak nggak mau habibati-nya Kakak sedih begitu.”
“Ya tergantung. Emangnya Kakak mau cerita apaan, sih, kok kelihatannya serius banget?”
Emran menghadap ke arah depan. Memandang jendela yang di sampingnya terdapat bingkai foto masa kecil seorang gadis kesayangannya. Tatapan matanya terlihat kosong, raut wajahnya tidak pernah berubah selalu seperti itu dan hanya berubah tatkala melihat kesayangannya tidak baik-baik saja.
Jika benar ini waktu yang tepat untuknya menjelaskan peristiwa dua tahun setengah yang lalu kepada Aretha. Besar harapan Emran ingin kalau Aretha bisa menerimanya meskipun terasa sulit. Mungkin.
Pasti lah sulit kalau mungkin posisi Aretha yang dulu ada pada perempuan lain
“Baiklah, Habibati. Kakak akan bercerita sama kamu, gimana? Kakak akan ceritakan semua kebenarannya dari awal tanpa ada satu kejadian yang berusaha Kakak tutupi,” ujar Emran merasa yakin.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]
ChickLitTanpa diduga ternyata Aretha Zayba Almira telah dinikahkan dengan seorang pemuda tampan anak dari seorang pemimpin Pesantren, semua itu telah direncanakan oleh kedua orang tuanya. Aretha yang mengharapkan kehidupan yang indah dan memiliki rumah yang...