- Empat -

42 9 0
                                    

- Selamat Membaca -

| Kamu istriku dan seorang suami sangat berhak atas istrinya. 

Emran Haritz Al-Khalid

——

“Istana semegah ini rasanya sangat tidak cocok untuk gadis setengil aku, Kak Emran,” tutur gadis cantik bercadar itu yang sekarang sudah berdiri bersama Emran di depan sebuah bangunan, berlantai tiga dan memang itu milik Emran sepenuhnya atas usahanya selama ini. 

Bunda Inaya dan Abi Fathir—-yang merupakan kedua orang tua Emaran jelas sangat mengetahuinya—-mereka tentu merasa bangga atas pencapaian putra sulungnya. Di mata mereka Emran tidak pernah sama sekali mengecewakannya. Mereka begitu mencintai dan menyayangi putra-putrinya tanpa berniat membedakannya.

“Kak Emran. Kalau benar Retha ini istrinya Kakak. Hem, rasanya tidak lucu tahu.” Aretha tampak memanyunkan bibirnya di balik cadar yang menutupi wajahnya, “masa ujug-ujug jadi istrinya Kakak. Sementara, Retha sendiri belum coba buat taklukin hatinya Kakak sepenuhnya tahu. Susah, cuma bukan namanya Retha kalau tidak mau berjuang.”

“Jadi?” Emran tetap dengan posisinya berdiri di samping sang istri dengan satu tangan menggenggam koper miliknya, sementara satu tangannya lagi dimasukkan ke dalam hoodie miliknya, tidak lupa kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya. 

Lupa. Iya, jangan lupakan sosok yang Aretha kenal dan memang saat ini Emran sama sekali tidak menampakkan seulas senyum terbit di wajahnya. Datar dan tanpa ekspresi sedikitpun. Pokoknya. 

“Ya Aretha mau berjuang dulu lah, buat taklukin hati seorang Emran yang katanya senior dingin di kampus. Iya, kan? Hem, sama mau cari bukti kalau emang Kakak suami Retha. Berharap, sih, kalau iya gitu, ya. Cara Kakak dapatkan Retha saat mengucapkan ijab qobul di depan Papa dengan baik-baik.” 

Tanpa mendengarkan tanggapan dari Emran. Gadis itu langsung memasuki istana itu. Melenggang melupakan koper miliknya yang masih ada di dekat Emran. Tapi tunggu, begini ceritanya itu artinya secara tidak langsung Aretha meminta Emran membawakannya bukan? Benarkan? Apa ternyata salah?

Deg …

Bukan melangkah atau menarik koper milik istrinya itu ke dalam, melainkan Emran malah masih berdiri dengan ingatan berputar pada kejadian malam di mana secara ikhlas suka rela menolong gadis kecil kesayangannya itu lepas dari jeratan seorang manusia yang mengaku sebagai mamanya. 

Bagaimana jika nanti Retha tahu kalau aku mendapatkan dia dan menjadikannya istriku karena rasa kasihanku terhadapnya? Tapi … aku jujur memang kasihan, tapi aku ikhlas, tulus tidak peduli bagaimana rupa atau apa pun tentangnya,’ batinnya, ‘Karena Aretha yang kumau ya begini. Meski tertutup aku menyukai caranya berbicara. Semangatnya dalam hal apapun tidak pernah surut.’ 

Emran menggeleng perlahan. Setelah cukup lama berdiam di luar akhirnya ia terpaksa memasuki mansion miliknya sembari membawa koper miliknya dan sang istri ke dalam tidak lupa barang-barang keduanya. Cuaca sore ini tidak terlalu cerah apalagi langit sekarang mulai mendung, pertanda sebentar lagi akan segera hujan.

Ia menyimpan dulu koper miliknya di sembarang tempat. Ia mengutamakan barang-barang milik sang gadis kesayangan agar bisa terbawa sampai atas tanpa harus berjatuhan dan ia genggam baik-baik supaya aman. 

Emran memilih masuk menggunakan lift untuk sampai di kamar utama yang berada di lantai tiga. Emran juga tidak memungkinkan kalau membawa barang sebanyak itu menggunakan anak tangga. Namun, ketika pintu lift telah terbuka dan dia menuju kamar utama. Ia tidak menemukan gadis kesayangannya. 

Berjam-jam menunggu hingga akhirnya Emran mendengar suara langkah kaki seseorang. Emran sangat yakin jika itu merupakan gadis kecil kesayangannya.

***

Di sisi lain masih berada di satu lantai yang sama setelah berusaha naik ke lantai paling atas menggunakan satu demi satu anak tangga. Saat ini kondisi tubuh Aretha jelas lelah, lemas dan benar-benar tidak berdaya sama sekali. Ingin rasanya Aretha jatuh sejatuh-jatuhnya merebahkan tubuhnya di lantai setelah menempuh perjalanan dari lantai utama ke atas. 

Hati kecil Aretha mengutuk seniornya yang mendadak mengajaknya tinggal di istana, mengakuinya sebagai istrinya dan sekarang malah membiarkan Aretha menginjakkan kakinya di istana dalam kondisi yang … ah, harus apa sekarang?

“Kak Emran bener-bener ini. Kayaknya emang dia mau balas dendam, deh, sama aku karena aku begitu percayanya mengakui dia.” Aretha sudah tidak tahan lagi, napasnya terasa sesak sekarang, pikirnya jika begini lebih baik tinggal di Pondok Pesantren saja daripada mengikuti Emran.  Eh, bentar tadi, kan, aku datang ke sini sama dia terus langsung masuk. Aku nggak ngelihat Kak Emran, ya? Oh tidak! Apa jangan-jangan Kak Emran coba-coba mempermainkan aku, ya?” 

“Tidak, tidak! Aretha Zayba. Kamu tidak boleh menyerah dan kalah. Harus kuat oke, sekarang kita cari manusia kulkas tujuh pintu itu,” putusnya, kemudian bangkit dan mulai berjalan lagi menelusuri setiap lorong di istana itu. 

Tanpa tahu dari balik dinding seseorang tengah menggeleng, tersenyum tipis saat mendengar gerutu dari Aretha. Ia membiarkan gadis kesayangannya itu berjalan seperti orang bego saja dan dalam diam ia mengikutinya dari belakang. 

“Aduh. Kok semakin ke sini semakin ke sana, ya? Ini rumah apa gimana dah, masa iya … nggak-nggak, apa, sih, Aretha kamu ini. Jangan bayangin hal aneh-aneh! Mana mungkin di rumah segede ini ada hantu, sih?”

Aretha seakan tidak puas untuk terus berbicara seorang diri, di belakangnya masih tetap diikuti oleh seseorang. “Tapi kalau aku tinggal jadi di sini berdua sama Kak Emran. Terus kalau ada warga yang gerebek gimana? Masa iya aku bilang Kak Emran suami aku? Hello! Nikah aja belum, tapi?”

Aretha memutuskan berhenti tepat di sebuah tempat yang menghubungkan ke kamar utama. Mendadak bulu kuduknya meremang tatkala melihat ada bayangan di belakangnya yang mana seperti tengah membawa sesuatu. Aretha yang penakut membayangkan bahwa di belakangnya ada seseorang yang akan berbuat macam-macam kepadanya.

Ya Allah. Hamba berlindung kepada-Mu dari godaan syaithon yang terkutuk, hamba mohon hilangkanlah ketakutan dalam diri hamba ini. Hamba tahu, hamba takut banget hantu meskipun hanya bayangannya saja. Cuma jangan ditunjukkin sekarang don—-”

“Kamu berpikir saya hantu, Aretha?!” Pertanyaan itu berhasil keluar dari mulut si tampan bermata sipit itu dengan beralih menghadap ke arah Aretha yang mana gadis kecil kesayangannya ini sedang menutup matanya dengan kedua telapak tangannya, “bukalah matamu. Lihatlah saya hantu atau bukan?”

“Tidak! Kamu pasti hantu.” Aretha menghentak-hentakkan kakinya, ia merutuki dirinya sendiri. “Ya Allah. Kalau begini ceritanya mending Retha di Pondok aja. Apaan coba mesti ikut sama Kak Emran. Mana rumah ini gede banget. Masa iya diisi sama dua orang aja?”

Emran sangat malas terlalu lama berdebat. Ia berdecak dan meminta Aretha membuka matanya sebentar untuk sekedar memastikannya saja. 

“Aretha!”

   - Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang