- Lima Belas -

8 0 0
                                    

- Selamat Membaca -

|| Jangan menjadi sombong hanya dengan kau punya segalanya! 

Khanza Nimah Zayna 

———

Berhubung di undang makan malam di kediaman keluarga suaminya. Aretha meminta izin sebelum menemui Ibun dan Abi untuk pergi menemui teman-teman sekobongnya. Berniat membagikan makanan yang telah dia beli tadi. Ia tahu, ia paham bagaimana tinggal di Pondok tanpa bisa mendapatkan akses memegang ponsel atau pun jajan sepuasnya. Ia pun pernah merasakannya dan berada di posisi tersebut.

Sangat-sangat tidak enak. 

Baru saja dia menaiki tangga menuju lantai di mana dulu sebelum beralih tinggal bersama senior yang ternyata suaminya sendiri, Aretha sudah mendapatkan tatapan tajam dari penghuni lantai itu, tanpa tahu di balik mereka berdiri ada seseorang yang tengah memerhatikan mereka. 

“Halo teman-teman. Assalamualaikum,” sapa Aretha sembari melambaikan tangannya dengan tangan kiri memegang beberapa paper bag berlogo makanan dari restoran mahal. 

Mereka membalasnya sapaan tersebut dengan seadanya, malas-malasan lebih tepatnya. “Waalaikumsalam,” jawab mereka.

“Teman-teman apa kabar? Kalian lagi nunggu azan magrib, ya? Pasti mau ke masjid?” tanya Aretha pasti sudah tahu kebiasaan anak-anak Pondok, “oh iya, ini aku bawa sesuatu buat kalian. Di makan, ya! Tadi … kebetulan ke sini karena Ibun undang kami makan malam. Sekalian deh nemuin kalian.” 

Masih memperlihatkan raut wajah ceria walau tidak terlihat secara langsung karena Aretha mengenakan cadar. Meski begitu, di balik cadar yang menutupi wajahnya Aretha memberikan senyuman terbaiknya untuk teman-teman yang dulu pernah menjadi teman seasramanya.

“Enak banget hidup kamu, Re. Berasa lebih wah gitu, dari upik abu jadi nona muda,” cibir salah satu santri yang berdiri tak jauh dari mereka, Aretha tahu itu santri senior yang sudah lama mengabdi di sana dan menjadi pengajar di sana juga, “apa yang kamu kasih, sih, sampai Kak Emran mau sama gadis kecil sok suci yang nggak seberapa ini? Oh, atau jangan-jangan kamu sudah memberikan apa yang ada ditubuhmu sampai—-”

Astagfirullah, Teh Ghina! Apa yang Teteh katakan ini semua nggak bener! Kenapa sampai tuduh Retha gitu, sih?” 

“Bukan menuduh, tapi Fakta Aretha.” 

Orang tersebut yang bernama Githa yang sepertinya telah memprovokasi Aretha agar teman-teman yang pernah bersamanya dulu itu membencinya. Padahal dulu mereka sangat dekat walau tidak satu sekolah dan hanya bertemu selepas pulang sekolah. 

“Berawal dari kamu dateng saja sudah membuat Umi dan Abi peduli padamu, kamu juga setahuku tidak ada apa-apanya dibandingkan Ustazah Erina yang jelas lebih unggul daripada kamu, entah wajah, kekayaan, keluarga yang jelas maupun pengetahuan dan pastinya usia.” 

Pernah Aretha mendengar kalau Ustazah Erina yang dibicarakan Ghina itu menyukai Emran—-putra sulung Bunda Inaya dan Abi Fathir. Akan tetapi, jodoh, usia atau bahkan rezeki semua sudah diatur oleh Pencipta-Nya. Bukan salah Aretha, kan, kalau Emran memilih dirinya yang tidak memiliki apa pun dibanding Ustazah Erina yang dimaksud?

Hanya Allah-lah yang maha membolak-balikkan hati hamba-Nya. Sebagai manusia hanya bisa pasrah dan ikhlas menerima takdir yang telah Allah gariskan untuknya. 

Aretha berpikir setelah dirinya mengetahui rahasia baik tentang pernikahannya dulu, keluarganya dan alasan mengapa sampai dia menikah dengan Emran sudah berakhir dan hanya kebahagiaan yang datang menghampiri. Nyatanya, Allah memberikan ujian ke dalam rumah tangga mereka dengan menghadirkan bibit-bibit provokator untuk gadis seperti Aretha agar mundur dari statusnya yang jelas sah ssecra agama dan hukum, meski dunia belum tahu sepenuhnya.

“Itu bukan keinginanku, Teh. Hem … ini Cia, Bella, Raina, Risa makanan buat kalian, ya. Kalau misalkan tidak mau. Berikan saja ke adik tingkat, aku akan kembali ke Ibun,” ujar Aretha menyimpan paperbag itu di dekat mmerea berdiri. “Aku pamit. Terima kasih buat Teh Ghina yang udah mengatai aku seperti tadi. Semoga Teteh lebih baik daripada aku.” 

Perih. 

Sakit sebenarnya. Ketika Aretha datang dengan niat baik, tapi malah mendapatkan ucapan sambutan seperti itu. Aretha tahu walau usianya sudah bukan anak SMA lagi tidak menutup kemungkinan hatinya pasti akan tergores tatkala mendengar atau mendapatkan hinaan seperti itu.

Kepergian Aretha membawa amarah pada seseorang di belakang sana. Dia berjalan dengan tergesa-gesa menyeret tubuh kecilnya untuk segera mendekat ke arah mereka. Dia berkacak pinggang di depan santri seniornya. “Jangan menjadi sombong hanya dengan kau ingin membela orang lain, yang belum tentu dia peduli dan berterima kasih karena kau sudah memperjuangkan cintanya!” 

“De-Dek Khanza.” 

Iya. Si kecil pemberani yang kadang ucapannya tidak bisa ke kontrol itulah yang saat ini berdiri di hadapan mereka. Tatapan datarnya itu dan mata yang tajam seperti Emran yang sedang murka saja ketika sesuatu mengusiknya.

“Sekali lagi kelihatan kalian bersikap seolah-olah kalian punya segalanya, menghina orang lain karena mereka tidak pantas bersanding dengan yang menjadi takdirnya. Khanza bakal beritahu Kak Emran. Biar kalian lihat dan tahu Kak Emran tidak suka gadis kesayangannya alias istrinya dihina begitu!” 

“Ma-maafkan kami, Dek.”

“Ya sudah. Bersiaplah kalian ke masjid karena sebentar lagi azan magrib!” seru Khanza pada ketiga santri yang berada di sana. “Untuk Teh Ghina! Khanza tahu selama ini Teteh yang jadi provokator buat mereka. Khanza tanya! Buat apa Teteh begitu? Lagian selama Teteh melakukan kayak gitu, balasan yang didapat Teteh apa? Apa Ustazah Erina mengucapkan terima kasih untuk Teteh atau apa Teteh dilirik sama Kak Emran dan dia terima aja ucapan Teteh? Enggak, kan? Oh atau Teteh sendiri yang menyukai suami orang sampai-sampai karena Teteh nggak berani jadinya menjual nama orang lain?”

Ghina mendadak jadi gelagapan. Sore menjelang malam ini cuaca sebenarnya sedang dingin-dinginnya. Langit semakin menghitam pertanda hujan akan turun, tapi Khanza dapat melihat kalau Ghina bercucuran keringat.

“Khanza padahal nggak bilang aneh-aneh loh sama Teteh. Kenapa Teteh sampe berkeringat kayak gitu?”

“Maaf, Dek. Kayaknya Teteh harus pergi, Teteh mau memeriksa santri lain untuk gegas pergi ke masjid. Sebentar lagi azan magrib, permisi, Dek. AAssalamualaikm,” pamit Ghina.

Khanza geleng-geleng kepala dibuatnya. Khanza berpikir kalau dia harus bekerja sama dengan sahabat kecilnya yang memiliki tingkah bar-bar dan seringkali bertindak layaknya detektif itu. Khanza mengangguk setelahnya tujuan dia langsung ke rumah, tapi setelah makan malam bersama sambil menuju kajian rutin minggu malam, Khanza akan membicarakannya dengan sahabatnya.

Khanza sudah sampai di depan rumahnya dia mengucapkan salam setelahnya dia memberikan salam pada semuanya, ia duduk di dekat kakaknya. “Adek mau cerita sesuatu. Ikut ke ruang rahasia adek, yuk?” 

“Pergilah ke masjid lebih baik. Tunaikanlah salat tepat waktu, baru setelah itu berbicara, Abang! Adek!” Abi menegur putra-putrinya dengan memberikan panggilan seperti itu.

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang