- Dua -

54 9 1
                                    

- Selamat Membaca -

Sekeras apa pun aku berusaha mengejar cita-citaku, jika tempat kembaliku hanya kamu, bisa apa?

| Aretha Zayba Almira 

——

Pemuda tampan bermata sipit dengan hidung mancung ini memilih menyembunyikan identitasnya di hadapan seorang gadis. Bukan tanpa alasan sebenarnya. Hanya ingin melihat bagaimana kesungguhan gadis kecilnya sampai mana dan ia selalu melihat kegigihannya yang pantang sekali menyerah dan tetap berusaha mengejarnya meski pada akhirnya hanya penolakan yang diberikan.

Emran Haritz Al-Khalid. 

Ketua BEM yang di tengah-tengah kesibukannya ia harus menghadapi suatu sekandal akan sebuah tragedi di mana ternyata gadis kecilnya mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang tuanya. 

Emran berjanji dalam hati kecilnya jika apa pun yang terjadi kepada gadisnya. Ia akan lebih dulu mementingkan gadis tersebut daripada orang lain.

“Rapat ditunda aja sementara. Ada yang harus saya selesaikan segera!” seru Emran, sebelum akhirnya menyelesaikan panggilan teleponnya bersama inti pengurus BEM. 

Langkah kakinya perlahan memelan tatkala mendapati seseorang tengah berada dalam keributan. Ia tidak kunjung berjalan. Hanya bersembunyi di balik semak-semak sembari berusaha mencoba mendengarkan percakapan mereka. Tampaknya jika dilihat-lihat lagi jarak Emran dengan orang tersebut sangatlah jauh, sehingga terpaksa dengan sangat dia kembali mengendap-ngendap untuk bisa mendengar pertengkaran mereka.

‘Kenapa dia datang lagi? Apa tidak cukup uang seratus juta yang kuberikan kepadanya? Tidak! Aku tidak bisa tinggal diam saja, tapi … ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya,’ batinnya.

Tidak mau membuang waktu terlalu lama. Emran bergegas menghubungi seseorang. Rasa kesal dan amarah saat ini tengah mendominasinya. Melihat gadis kecilnya. Gadis kesayangannya diperlakukan tidak baik oleh orang dengan gelar ‘ibu’ melekat padanya. Ah, rasanya tidak pantas jika orang itu menerima gelar tersebut.

“Ibun! Tolong dengarkan Emran sekarang. Aretha sedang dalam masalah. Ibun tahu pelakunya siapa? Ya, dia. Emran minta tolong untuk katakan ini pada Ayah Abi untuk mengambil kembali uang 300 juta yang pernah Emran berikan pada mereka. Sebagai peringatan untuk mereka tidak bermain-main dengan Emran,” tuturnya panjang lebar.

Di seberang sana tepatnya di dalam kediaman keluarga pemilik Pesantren. Seorang wanita tampak mengangguk paham, “Baiklah. Cuma Ibun minta buat kamu supaya jaga terus istrimu! Jangan sampai mereka menyakitinya lagi. Ibun tidak tega jujur.” 

“Mengerti, Ibun. Emran tutup dulu.”

Emran memasukkan ponselnya ke dalam saku almamater-nya. Berjalan perlahan untuk segera sampai ke dekat mereka dan Emran tak tahan akan cara si wanita bergelar ibu itu terhadap putri kandungnya sendiri.

Semakin dekat bukannya terlihat mereda. Telinga Emran yang suci ini mesti mendengar umpatan tentang gadisnya. Segala macam disebutkan bahkan sampai nama binatang sekalipun dapat Emran dengar. Hati kecilnya terus mengucap istigfar dengan kedua tangan mengepal di dalam saku almamaternya.

Raut wajah dingin sudah terpampang jelas dengan cepat dia mencekal tangan si wanita ketika hendak menggampar gadisnya. 

Padahal sebelumnya sudah jelas kalau Emran akan memberikan sejumlah uang untuk wanita itu, nyatanya ucapan Emran hanya dijadikan angin lalu saja. ‘Ya Allah. Lindungilah hamba dari godaan setan yang terkutuk. Jangan jadikan hati hamba ini dipenuhi oleh amarah,’ batinnya malah merasa cemas sendiri.

“Lepaskan tangan saya, Emran! Dasar. Punya mantu nggak berguna, tampang iya. Cuma apanya yang mesti dibanggain kalau ternyata dompetnya aja tipis. Dimintai duit dua puluh juta saja susah. Pel—-”

“Hentikan semua ini, Haura!”

“Papa.”

Benar yang datang itu tidak lain seorang laki-laki paruh baya. Papanya gadis kecil kesayangan Emran. Pikir Emran Ibu dan Ayah Abi telah mengancam mereka, sehingga Tuan Jiyad Umar telah datang.

Emran melihat sekilas bagaimana gadis itu. Walaupun tidak tahu bagaimana wajahnya cukup dipastikan kalau saat ini Emran bisa menangkap jika gadisnya itu sedang dilanda kebingungan. 

“Masuklah ke Pondok, temuin Ibun dan tunggu saya di sana!”

Menurut. Gadisnya itu langsung menuju ke gerbang sesuai perintah dari Emran. Menolak pun rasanya percuma karena dia sudah tidak tahan dengan mama dan papanya. Hingga langkahnya sudah memasuki kediaman keluarga Al-Khalid, barulah dia bisa bernapas lega karena sudah merasa aman.

Sepeninggal gadis kesayangan Emran barulah Emran melancarkan aksinya memberikan peringatan pada sepasang suami istri lansia ini. 

Siapapun mereka Emran tidak peduli. Jika salah, maka tidak ada kata maaf dan Emran harus meluruskan kejadian ini. Sudah cukup penderitaan Aretha selama ini, tugasnya sekarang menjaga dan melindungi Aretha meski Aretha tidak tahu bahwa pelindung di balik setiap bahaya yang menimpanya ialah seniornya yang dingin ini.

“Apa perlu saya panggilkan polisi untuk menangkap kalian atas tuduhan pemerasan, kekerasan terhadap anak dan rencana pembunuhan? Bahkan Anda hem … kalian berdua bisa dikenakan pasal berlapis. Tidak tahukah?”

Wanita songong dan sombong itu menimpali. “Sok mau melindungi. Punya bukti saja tidak! Lagian mana ada seorang menantu yang tega memenjarakan mertuanya sendiri? Ah, rasanya bocah sepertimu hanya pandai bergurau saja.”

“Haura. Sudahlah! Lupakan saja dulu, kita kembali sekarang juga dan nanti kita bisa pikirkan lagi rencana tersebut. Kamu tidak tahu saja Emran—-menantu kita itu punya dan sudah memiliki bukti tentang kejahatan kita pada Aretha. Ayo!” seru Tuan Jiyad membalas tanggapan Haura—-istrinya.

“Tidak akan semudah itu. Pengacara saya sudah membuat laporan atas ucapan saya tadi! Pergi ke manapun aķan percuma.”

Mereka memang melarikan diri. Cuma bukan Emran namanya jika tidak membiarkan musuhnya selamat. Sebagai bayaran atas perbuatan dua manusia itu Emran memerintahkan pengacaranya saja yang bertindak. Setelahnya dia memasuki Pondok dengan berjalan santai melupakan kendaraannya sendiri.

Kehadiran Emran di Pondok selalu berhasil mencuri perhatian setiap santri baik perempuan, laki-laki atau para pengajarnya sekalipun. 

Emran tidak memedulikan itu tujuannya kembali ke kediaman Al-Khalid menemui Ibun dan Ayah abinya. Ia ingin membicarakan sesuatu penting dengan mereka. Begitu memasuki rumah tampak gadis kecil kesayangannya tengah bercanda dengan seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Seulas senyum terbit. Manusia dingin seukuran Emran jarang sekali senyum merasa aneh dan ia melakukan itu tampak jelas sekali kalau ia menyukai cara gadis kecil kesayangannya membuat seorang perempuan yang duduk di bangku SMP sampai terbahak-bahak. Emran mengakui bahwa gadis kecilnya mampu menciptakan suasana yang nyaman untuk orang lain.

“Kak cantik. Kalau adek tanya sesuatu boleh?” tanya si kecil pemilik netra teduh itu.

Gadis kecil kesayangan Emran itu tampak berpikir sembari mengetuk-ngetuk jemari telunjuknya ke pipi di luar cadar. “Memangnya adek mau bilang apa? Jangan yang susah-susah, ya! Cukup meraih cinta kakakmu saja yang menurutku sulit. Huh, dan kamu jangan berikan atau suruh Kakak yang susah-susah. Otak Kakak nggak akan sampai. Hehehe.”


                           - Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang