- Tujuh Belas -

10 0 0
                                    

- Selamat Membaca -

|| Bahagiaku semakin bertambah di saat aku bisa menjadi pendengar untuk temanku. 

Kirana Oktaviana

———

Pagi-pagi butan pasangan suami istri ini sudah di rumah mereka. Hari senin—jadwal mereka memang lumayan padat. Termasuk Aretha—-yang minggu kemarin malah bablas tidak masuk, pada akhirnya dia harus datang lebih pagi sebelum mata kuliah pertama dimulai. Ia ingin menanyakan apa saja yang dibahas dosen waktu itu dan menyalin catatan materi dari temannya. 

Akan tetapi, saat setelah bersiap. Aretha malah jadi duduk di tepi ranjang, ingatannya berputar tentang dia bersama mertua perempuannya—-Ibun Inay—-membahas hal-hal yang harus dilakukan ketika seseorang telah menjadi istri dari laki-laki pilihannya itu, pun tidak lupa Aretha dengan polosnya bertanya mengenai tips meraih cinta atau membuat suaminya senang karena setahu dia pun jika suami senang, maka Allah akan memberikan pahala untuknya.

Simple saja menurut Ibun, Cantik. Kamu … cukup patuhi saja perintahnya, selama itu baik. Temani, layani dia jika dia membutuhkan sesuatu. Sebenarnya sedikit berat, mengingat kamu masih muda dan keadaanlah yang membuatmu jadi seperti ini. Tapi, Ibun yakin kamu bisa. Kamu mampu meraih cinta suamimu sendiri, insya Allah. Di sini, Ibun sama Abi mendoakan untuk keharmonisan rumah tangga kalian,’ tutur Ibun Inay beberapa jam yang lalu. 

Dari balik pintu—-lebih tepatnya seseorang yang tak lain suami Aretha sendiri telah keluar dari walk in closet—-menepuk pundak istrinya mengajak untuk segera berangkat. 

“Maaf, Kak. Retha jadi ngelamun,” ucapnya.

Emran mengangguk, mengusap lembut puncak kepala istrinya. “Tidak apa-apa, Habibati. Ayok!” Emran menggandeng tangan Aretha. Mereka berdua memasuki lift untuk segera turun ke lantai bawah. 

Tidak sarapan. Sebab, mereka sudah melakukannya di rumah orang tua Emran di Pondok tadi. Maka dari itu, Emran langsung mengajak istrinya ke mobil dan perlahan kendaraan yang mereka tumpangi meninggalkan halaman rumah yang besar nan luas itu. Emran dan Aretha tak saling bicara. Keduanya asyik dalam lamunan masing-masing. 

“Kak! Apa nanti nggak sebaiknya Retha turun aja di dekat gerbang?” tanya Aretha harap-harap cemas. 

Enran menoleh sejenak. “Kenapa?” tanyanya.

“Retha takut … respons orang-orang pasti bakal—-”

“Aku tahu apa yang kamu takutkan, Habibati. Aku tidak mengizinkan kamu turun di tepi jalan begitu. Berhubung mereka bahkan satu kampus sudah tahu masalah itu. Aku akan mengakui bahkan mengantarmu langsung ke kelas,” potong Emran. 

Aretha meminta Emran mengulang kalimatnya tadi, tapi yang didapat hanyalah, ‘aku akan mengakuimu sebagai istriku di depan semua orang. Agar tidak ada lagi yang bisa bertindak semena-mena terhadapmu.’  Ungkapan kalimat itu telah dibuktikan oleh Emran. Ya, tidak hanya sekedar omongan belaka, tapi nyatanya dia memang diantar Emran sampai ke kelasnya dan Emran bahkan memastikan istri kecilnya itu duduk di bangkunya dengan tenang.

Melupakan tanggapan atau perhatian orang yang mungkin ingin segera berlari mendekati Aretha untuk bertanya, tapi bola mata Emran yang sipit itu terpaksa menatap mereka semua dengan tatapan sinis. 

“Ingat! Kalau sampai mereka bertanya sesuatu padamu, jangan bicara bohong, ya. Katakanlah dengan benar kalau memang kamu itu istriku. Namun, tidak usah dibeberkan dengan jelas. Seseorang butuh sedikit privacy-nya,” ungkap Emran sebelum dirinya benar-benar pergi dari fakultas itu menuju ke sekretariat di fakultas bisnis.

Aretha mengangguk mengerti. Setelah kepergian Emran, Aretha dikerubungi oleh teman-teman sekelasnya. Mereka bertanya ini itu sampai-sampai Aretha bingung sendiri harus memulai menjawab dari mana dahulu. Meskipun nyatanya mereka tidak sempat mendapatkan jawaban, karena dosen datang pun dengan Aretha tak sempat bertanya tentang materi kemarin.

***

Hari ini hanya ada tiga mata kuliah dan selesai tepat pada pukul empat sore. Aretha mendapatkan pesan dari suaminya jika dia masih belum selesai, bersamaan dengan itu Aretha diajak teman satu angkatannya untuk jalan-jalan sore. Aretha mau, tapi teringat dia sudah memiliki suami, maka dia meminta izin terlebih dulu pada Emran.

Habibi

[Kirim lokasi nanti, biar aku jemput kamu, Habibati! Pergi dengan siapa saja?]

Anda

[Terima kasih, Kak Emran. Suamiku tersayang.] 

Setelahnya Aretha berjalan bersama Kirana—-teman dekat sekaligus satu fakultas dengannya—memiliki keperibadian baik, bertutur kata lembut meskipun Kirana bukan dari kalangan anak pesantren atau paham agama, pakaiannya pun tidak mengenakan hijab dan gamis seperti dirinya.

Aretha senang. Di saat dia mesti terpisah dengan sahabatnya Rafia, sekarang dia punya Kirana. Mereka sekarang ini sedang berada di barisan camilan karena Kirana yang menginginkan membeli makanan tersebut, katanya untuk stok di rumah. Tak ketinggalan Aretha pun melakukan hal yang sama.

“Sebelum pulang gimana kalau kita makan aja dulu, Tha? Nggak apa-apa, kan? Kak Emran nggak bakalan marah sama kamu?” tanya Kirana. 

Semua orang termasuk Kirana kini sudah tahu meski mereka dua tidak sepenuhnya membeberkan kebenaran tentang gosip itu. Akan tetapi, mereka yang sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Akhirnya mereka paham dan mengerti dengan hanya sekali melihat aksi Emran terhadap Aretha. Perlakuannya sangat manis, berbeda saat bersama orang asing.

Mereka berdua makan di lantai tiga. Memilih duduk di pojokan setelah itu, mereka memesan makanan bersama. Sambil menunggu pesanan datang, Kirana mengajak Aretha berbicara, sampai tak sadar Kirana menyinggung tentang kebenaran mengenai pernikahan dirinya dengan Emran. 

Aretha kebingungan. Sejenak dia berdehem untuk menghilangkan ketakutan pada dirinya sendiri, dia mengusap hidungnya dari luar cadar. 

“Kalau nggak bisa, jangan diceritain juga nggak apa-apa, Tha. Aku ngerti kok, kamu punya privacy sendiri. Jadi, santai aja sama aku—-”

“Nggak kok, Kiran. Aku … aku bingung aja mulai ceritanya dari mana. Aku malu sama kamu,” cicitnya, Aretha menutup wajahnya dengan kedua tangannya itu membuat Kirana terkekeh pelan, “pokoknya intinya kami memang udah nikah. Udah tiga tahun lalu.” 

Memang benar, kan? Usia pernikahan mereka sudah segitu? Benar tidak, sih? Dan sekarang pernikahan mereka jalan empat tahun. Aretha baru saja mengetahuinya belum lama ini. Namun, Aretha bersyukur meski begitu khayalannya menjadi kenyataan walau kadang orang sering bilang, ‘Terkadang realita tidak seindah ekspektasi.’ tapi faktanya Aretha sekarang semua menjadi nyata.

Bola mata Kirana membelalak, mulutnya terbuka lebar saat mendengar kejujuran yang diucapkan oleh Aretha. Kirana melihat kedua netra cantik milik temannya ini, ingin mencari kebohongan tapi nyatanya ia tidak menemukan itu. 

What? Serius, Tha? Kok bisa?” 

Si pelayan datang membuat percakapan mereka terhenti. “Makanannya, Mbak. Silakan.” 

“Terima kasih,” jawab mereka secara bersamaan.

“Sama-sama.” 

Sambil makan setelah kepergian si pelayan. Kirana menodong Aretha dengan beberapa pertanyaan. Meskipun tidak sampai semuanya diutarakan. Setidaknya dengan Aretha berbicara jujur pada Kirana. Kirana sudah bersyukur, tenang hatinya sekarang karena dirinya bisa mendapatkan kepercayaan untuk menjadi tempat mengadu bagi temannya.

Ponsel Aretha berbunyi. 

Habibi 

[Kakak di bawah. Kamu masih lama, Habibati?]

“Siapa, Tha?” 

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang