- Dua Puluh Dua -

32 1 0
                                    

- Selamat Membaca -

|| Berhati-hatilah karena mereka yang bersama, mereka sedang berproses menghancurkanmu.

Asisten Pribadi Emran

————

Tengah malam di saat Emran dan Aretha sedang menuntaskan sesuatu yang menjadi hak dan kewajiban mereka. Ponsel Emran berdering cukup nyaring, membuat aktivitas mereka terhenti. Kesal, tapi Aretha yang terus merajuk supaya Emran mengangkat teleponnya tersebut akhirnya Emran menurut. 

Padahal rencananya mau sampai subuh. 

Eh, tapi rencana apa? Sampai subuh pula? 

“Tunggu sebentar, ya.” 

Aretha mengangguk. “Ya sudah. Angkat dulu, Kak.” 

Emran bangkit dan posisinya langsung duduk mengambil ponsel dan melihat ternyata asisten pribadinya yang menghubunginya. Semalam ini? Uh, kalau seandainya orang lain Emran pasti akan memakinya, tapi Emran sadar kalau ini asistennya. Emran berpikir bahwa pasti sedang ada masalah atau sesuatu yang harus dibicarakan dengannya jadi dia menghubungi Emran. 

Dia menempelkan ponselnya di telinga kanannya. Menyapa si asisten pribadinya dengan nada ketus, tapi tentunya masih terbilang dalam mode ramah. 

“Apa? Maksudnya bagaimana?” 

Emran mendengar si asisten pribadinya di ujung sana menjelaskan dengan panjang lebar. Aretha yang sedang rebahan sembari merasakan ngilu dan nyeri di bagian paling sensitifnya hanya bisa menjadi pendengar yang baik, terlebih melihat raut wajah suaminya seperti itu Aretha berpikir pasti ada masalah besar. 

Baiklah. Hanya bisa menunggu hingga selesai. 

Tidak dilanjut. Hanya keduanya sama-sama menyarankan untuk menyudahi malam panjang mereka. Sebab, Aretha yang diterpa rasa lelah harus melayani suaminya. Sedangkan, pikiran Emran dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan di kepalanya. Perkataan asisten pribadinya semakin membuat Emran tak tenang.

Berulang kali dia melirik jam di ponselnya, tapi rasanya entah mengapa begitu lama untuk sampai pagi. Emran penasaran maksud tujuan mereka membuat rencana menjatuhkan Emran ini. Rasanya ingin sekali Emran mencekik leher si pelaku yang telah berhasil merencanakan hal jahat untuknya. 

“Kakak ayok tidur!” ajak Aretha, perempuan yang sudah tak lagi gadis itu pun ternyata masih belum juga tidur, “jangan mikirin hal berat dulu, ya. Otaknya suruh istirahat dulu biar Kakak juga bisa cepet tidur. Kasihan pasti capek.” 

Mendengar celotehan istri kecilnya ini membuat Emran menoleh dan dia terkekeh mendengarnya. Emran mendekatkan tubuhnya ke dekat sang istri. “Nggak apa-apa, Habibati. Otak aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir, ya. Sini, pengen sambil peluk kamu tidurnya.” Emran merentangkan kedua tangannya.

Aretha menurut. Meski merasakan perih dan beberapa kali meringis, Aretha menerima pelukan itu. “Selamat tidur, Kak.” 

“Selamat tidur juga, Habibati. Terima kasih untuk malam ini, ya. Maaf kalau tadi sempat bikin kamu kesakitan. Masih sakit, hem?”

Aretha memukul dada Emran pelan, pipinya seketika memanas mendengar pertanyaan Emran yang begitu. “Is, Kak. Ngapain tanya begitu. Malu tahu.” Aretha membenamkan wajahnya di dada sang suami.

“Ngapain malu hem? Aku udah tahu semuanya.” 

“Udah ih.” 

Rasanya setiap harinya Emran akan merasa dirinya seolah seperti sebuah taman yang ditumbuhi oleh bunga-bunga cantik tatkala dirinya mengingat kalau sekarang Emran sudah mendapatkan Aretha sepenuhnya. Aretha telah menjadi istri sepenuhnya untuk Emran. 

“Besok sepertinya aku bakalan cukup sibuk, Habibati. Aku bakal nyuruh Khanza datang ke sini sama Ibun, ya. Biar kamu ada yang menemani?” tanyanya. “Pasti besok juga kamu belum bisa ke kampus.” 

“Um, kalau pulangnya nitip sesuatu boleh?” Kembali Aretha bertanya.

Emran mengangguk sebagai jawaban. “Boleh. Bilang saja nanti, ya. Kalau perlu chat saja supaya aku ingat.” 

“Iya, Habibi.” 

“Hah?” 

“Nggak. Nggak ada.” 

***

Siang ini sesuai dengan perjanjian tengah malam tadi. Emran bertemu dengan asisten pribadinya di salah satu restoran tidak jauh dari kantornya. Kebetulan sekarang ini dia ke kantor dan baru ke kampus nanti sekitar pukul satu siang. Masih ada sejaman lagi sambil nanti pergi salat zuhur dulu di masjid.

Mereka berdua telah memesan minuman kesukaan masing-masing. Sebagai teman untuk menemani mereka mengobrol.

Emran melihat asisten pribadinya mengeluarkan sebuah laptop dan meraih satu benda berbentuk persegi, kemudian menempelkannya pada bagian samping sehingga tersambung ke laptop. Setelahnya asisten pribadi Emran mengutak-atik laptop tersebut, Emran sendiri masih fokus dengan e-mail yang dia terima serta laporan dari pihak kampus mengenai beberapa hal.

“Coba lihat dulu, ini saya dapatkan kemarin setelah mereka pergi. Saya membayar pihak keamanan agar mau mengizinkan saya untuk masuk ke ruangan cctv dan mengambil salinannya.” 

Asisten pribadi Emran membalikkan laptop yang telah menampilkan sebuah rekaman tentang dua keluarga yang tengah berbincang serius. Emran tahu, jelas karena rekaman yang didapat asisten pribadinya itu juga menampilkan suara masing-masing dari si pemeran di dalam rekaman itu.

Emran mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras dan hampir saja dia kehilangan kendali kalau tidak asisten pribadinya mengingatkan agar tak emosi.

“Kita beri mereka pelajaran.”

“Caranya?” 

Emran mendekatkan kursinya ke arah si asisten pribadinya. Emran membisikkan sesuatu dan membuat si asisten pribadi mengangguk paham. “Bagaimana?” tanya Emran.

“Oke. Tapi apa Pak Fathir perlu dikasih tahu? Soalnya yang saya ketahui salah satu di antara mereka dulunya pernah dekat dengan Abi Anda, Tuan Muda.”

Emran mengangguk. Dipikir-pikir juga baiknya abinya wajib tahu tentang masalah ini dan lagi tidak ada manusia yang tidak terluka begitu mendapatkan penghianatan atas segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh Abi Fathir kepada orang tersebut.

“Baiklah kalau begitu. Kembali bekerja, ya. Saya akan melaksanakan salat dulu sebelum ke kampus. Waktunya bimbingan sebelum skripsi di ACC.” 

Asisten pribadi Emran mengangguk setuju. “Baiklah. Mari, Tuan Muda. Saya pun akan melakukan hal yang sama.” Dia menjawab sambil terkekeh, sepertinya sahabat sekaligus atasannya ini melupakan kalau Emran dan dia sama-sama satu fakultas satu kelas bahkan satu universitas pun satu dosen pembimbing pula.

Emran menepuk jidatnya sendiri, tapi dia tidak menampilkan reaksi apa-apa selain hanya diam dan berjalan memasuki mobilnya mencari masjid untuk menunaikan ibadah salat zuhur bersama.

Baru saja hendak keluar dari arah restoran, tetapi Emran sudah dikejutkan dengan seseorang yang sejak tadi membuat darah tingginya hampir kumat bahkan rasanya tangan Emran gatal ingin sekali mrncekik manusia di hadapannya. Sok baik segala, cibir Emran dalam hati. 

“Nak Emran,” sapa si manusia sok asik itu.

Emran dan si asisten pribadinya saling pandang. Emran memberikan kode kepada asisten pribadinya. Tahu maksud kode tersebut, segera si asisten pribadi mengambil langkah untuk dirinya berada di depan Emran. “Permisi, silakan Anda ke sebelah kanan kalau memang mau lewat. Kami buru-buru, mohon tidak menghalangi jalan kami, Nyonya.” 

“Nak Emran. Bagaimana Abi kamu? Apa dia masih sama istrinya siapa namanya, Inaya, ya? Tante kira dia uda—-”

“Sekali Anda bicara saya tebas kepala Anda, Nyonya Penghianat!” potong Emran dengan tatapan mendelik.

- Bersambung -

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang