- Tujuh -

13 2 0
                                    

- Selamat Membaca -

Membiarkan Aretha—-si gadis kesayangannya pergi dari hadapan Emran—-saat ini dia berbalik menuju ke sebuah tempat di mana tujuannya sekarang ialah untuk menemui seseorang yang telah membuat huru-hara di kampusnya sampai-sampai satu kampus tahu permasalahan tentang Aretha. 

Seperti kata pepatah, ‘Tidak ada asap kalau tidak ada api.’ bukankah begitu? 

Berbekal informasi dari sahabat dekat sekaligus asisten pribadinya yang sama-sama berkuliah alias menimba ilmu di sana. Emran menuju ke ruang sekretariat BEM—-dengan raut wajah menahan amarah dan bahkan terkesan seakan hendak melahap habis manusia-manusia yang ada di hadapannya—Emran membuka pintu dengan menendangnya. 

“Hai, Pak Presiden! Kita lanjut rapat lagi, kan? Kali ini—-” 

Tiara—-si perempuan yang menjadi bagian inti daripada kepengurusan BEM di kampus mereka—-menghentikan kalimatnya tatkala melihat raut wajah Emran yang tidak bersahabat. Begitupun dengan yang lainnya. 

“Tiara Aneira Habbaba. Anak Fakultas Sastra Inggris, putri tunggal keluarga Habbaba. Merasa sok polos dan sok aktif dalam menjadi seorang pengurus di organisasi kampus ini.” Kalimat Emran sangat berbanding terbalik dengan tatapan matanya, “cukup menarik.” 

“Ma-maksudnya apa, ya, Pak Presiden? Kenapa Anda tiba-tiba berkata demikian dan menyinggung soal keluarga saya?” tanya Tiara yang gelagapan, padahal Emran belum melakukan apa-apa, hanya baru menatapnya saja. 

Emran memberikan kode kepada sahabat sekaligus asisten pribadinya Emran. Mengerti akan kode tersebut ia membawa anak-anak atau pengurus BEM keluar dan membiarkan Emran menyelesaikan urusan pribadinya itu. 

Setelah dirasa semuanya sesuai dengan kemauan Emran. Perlahan si pemilik mata sipit satu ini mendekati Tiara dan mencoba memberikan kata-kata berupa ancaman kepada perempuan itu agar dapat mengaku bahwa penyebab berita Aretha istrinya semua berasal dari mulut perempuan itu. Tanpa tahu aslinya orang itu tengah bersenang-senang di suatu club

Emran memojokkan Tiara. Ia tidak menyentuhnya karena ia tahu haram atau tidak baik bersentuhan dengan yang bukan mahram dan tangan serta anggota tubuh yang Emran miliki hanyalah milik Aretha Zayba seorang. Istrinya. 

Tiara memohon, merintih agar Emran melepaskan dirinya. Pertama kali dalam hidup seorang Tiara melihat wajah Emran yang seperti ini. Sungguh, Tiara tidak sanggup. 

“P-Pak. To-tolong, jangan seperti ini! Sa-saya selama i-ini tidak memiliki kesalahan apa pun terhadap Anda, Pak. To—-”

“Tidak pada saya, tapi pada gadis kesayangan saya, Aneira!” potong Emran dengan nada suara penuh penekanan, terdengar gigi-giginya bergemelatuk, “saya tahu. Kamulah dalang di balik kekacauan ini, kan?! Katakan Aneira atau kalau tidak mulutmu yang manis itu akan saya robek sekarang juga. Bagaimana?” 

Nyali Tiara semakin menciut. Semakin Emran mendekat, Tiara semakin gugup bahkan ia sampai berkeringat banyak. Tiara memejamkan matanya berharap keajaiban akan datang. Nahasnya, semua itu jauh dari bayangan seorang Tiara Aneira Habbaba yang sekarang ini ingin lepas dari jangkauan Emran. 

Kalau begini jadinya sepertinya Tiara dulu sebelum mengiyakan ajakan dari seseorang untuk melawan Emran, harus dipikir-pikir dulu mungkin sampai seribu kali. Sebab, lihat saja belum dua hari berita itu dia sebarkan Tiara sudah diketahui oleh Emran jika dia pelaku alias dalang di balik kejadian ini. Sial, Tiara salah cari lawan sepertinya. 

Perempuan itu mencoba menahan diri, memberikan ketenangan dengan sedikit berdeham setelahnya dia membuka matanya berpura-pura tidak tahu apa-apa sambil mencoba merayu Emran dan hendak menyentuhnya.

“Jauhkan tangan dan tubuh kotormu itu sialan!” bentak Emran yang sudah kalap. 

Cih. Katanya anak pemilik Pondok, Ketua BEM tapi ternyata apa? Anda malah bersikap kasar terhadap perempuan dan mengumpati—-”

“Lo emang pantas mendapatkan perlakuan kasar. Sialan!” makinya, “katakan sekarang juga dan akui bahwa lo yang sudah menebar fitnah itu ke warga kampus, kan?!” 

Emran mengeluarkan sarung tangannya, kemudian memakaikannya dan mulai berani menekan rahang milik si perempuan bahkan Emran saking kesalnya hampir mengangkat tubuh si perempuan dengan satu tangannya. Itulah sisi gelap Emran. Yang tidak diketahui orang-orang. 

Aaargh, Emran. Lepaskan g-gue, uhuk, le-lepaskan!” 

“Bilang atau gue banting, sialan. Katakan cepat!” bentak Emran sekali lagi. 

“I-iy-a. I-itu gue tap-tapi. Aaargh, Emran sialan, sakit!” umpat Tiara, ketika Emran membanting tubuh Tiara. 

Emran meninggalkan tempat itu karena sahahat sekaligus asisten pribadinya membuka pintu tersebut. Emran tahu pasti ada yang ingin disampaikan kepadanya oleh sahabatnya tersebut dan biasanya memang sahabatnya tidak pernah masuk atau menyela Emran di saat Emran tengah kalap seperti tadi. 



Mereka berdua meninggalkan kampus. Seharusnya hari ini Emran sendiri ada jadwal dengan dosen pembimbingnya. Sementara, si sahabat sekaligus asisten pribadinya ini sama sekali tidak ada jadwal. Dalam seminggu hanya empat kali pertemuan. Hari ini hanya menemani atasannya saja. 

Mereka berdua sampai di mobil milik Emran. Iya. Aman dan lebih baik di sana saja membicarakan sesuatu hal penting. 

“Saya baru dapat kabar dan setelah saya meretas CCTV di tempat di mana Nona Aretha berada. Ternyata benar dugaan saya mereka berdua berniat menyakiti kembali Nona Aretha dan keadaannya sekarang gawat, Bos. Mereka mau lakuin sesuatu,” kata si sahabat sekaligus asisten pribadinya. 

“Apa?! Ini nggak bisa dibiarkan, Dev! Kita harus ke sana sekarang juga, sekarang tolong kamu hubungi polisi terdekat dan kabari Bunda dan Ayah Abi tentang kondisi Aretha. Saya sendiri yang akan ke sana.” 

Perbincangan di mobil Emran membutuhkan waktu tiga puluh menit. Setelahnya mereka berdua berpisah dan memasuki mobil masing-masing. Emran mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Siang-siang begini biasanya Jakarta sedang macet-macetnya tapi bersyukur jalanan lengang, sehingga Emran bisa dengan leluasa untuk mengebut agar bisa sampat tepat waktu di tempat tujuannya. 

Hati dan pikirannya benar-benar sangat tidak tenang. Ia memikirkan bagaimana nasibnya seorang Aretha Zayba—-si gadis bercadar—-yang selalu ceria di luar tapi di dalam dia menyimpan luka yang teramat besar. 

Kesal sekali. Saat keadaan sedang genting-gentingnya tiba-tiba ponselnya berdering terus membuat Emran kesulitan berkonsentrasi, menyebabkan pikirannya ke sana-kemari. 

Pada akhirnya Emran mematikan nada dering menjadi bisu. Ia kembali fokus dan sesekali melihat titik lokasi yang menjadi tempat di mana istri kecilnya berada. Sebentar, mengingat tentang kata, ‘istri.’ Apa sebaiknya Emran bongkar saja semua rahasia tentang keluarga Aretha dan kebenaran tentang dia suami aslinya Aretha?

‘Ya Tuhan. Selamatkanlah Aretha. Lindungilah gadis kecil kesayangan hamba ini, Tuhan! Jangan biarkan mereka menyakitinya!’ batin Emran sambil meremas stir mobilnya.

Satu jam dua puluh detik. 

Itulah waktu yang dia lihat untuk bisa sampai ke tempat di mana gadis kecilnya berada. Astaga. Mengapa sampai sejauh ini mereka membawa Aretha? Kecepatan laju kendaraan Emran ditambahkan dan tidak lama yang seharusnya sejam dua puluh detik hanya menjadi tiga puluh menit saja. Mereka yang di belakang pun mengikuti kecepatan mobil Emran. 

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang