- Tiga Belas -

8 0 0
                                    

- Selamat Membaca -

| Seperti mimpi, kamu yang aku harapkan ternyata menjadi kenyataan.

Aretha Zayba Almira

———

Khusus untuk hari ini Emran memberikan waktu sepenuhnya untuk menemani sang istri tercinta. Emran ingin membuat Aretha nyaman dan ia juga ingin agar Retha percaya bahwa dirinya itu benar suaminya. Seseorang yang diharapkan Aretha tapi sekarang dan sejak dua tahun yang lalu Emran telah menjadi milik Aretha.

“Tapi beneran, kan, hari ini Kakak nggak ada kerjaan atau … kampus Kakak? Secara setahu Retha itu Kakak sibuk banget orangnya, terus bukan hanya di BEM kampus tapi Kakak juga punya bisnis. Hem, Kak, kayaknya mending kita di sini aja dulu, kasihan … Kakak pasti capek,” ucap Aretha jujur, ia juga masih punya perasaan tentang Emran yang memiliki banyak sekali kegiatan ditambah kejadian kemarin.

Ah, sungguh tidak tega. Namun, Emran tetaplah Emran yang akan setia dan tidak peduli kalau dirinya punya segudang kesibukan. Ia akan tetap menemani istrinya ke mana saja untuk memberikan sedikit ketenangan bukan karena melupakan kejadian kemarin, tapi Emran ingin mengetahui lebih banyak tentang istri kecilnya.

“Tidak masalah. Hari ini mengosongkan jadwal buat kamu, Habibati. Mau, ya?”

“Kakak yakin?” Aretha menatap tak percaya pada suaminya dalam posisi yang masih sama, belum sama sekali beranjak, “kakak tuh belum tahu, kalau Retha lagi galau begini pasti bawaannya tuh pengen ngemil,” lanjut Aretha.

Emran menimpali, kemudian tersenyum manis sambil mencolek hidung sang istri. “Ayok!” 

Hem, kalau Kak Emran maksa oke deh. Retha mau, lagian Retha mau ngerasain kalau kata orang mah, quality time bareng suami. Eh, bentar.”

Aretha berdiri. Diikuti oleh Emran yang juga berdiri menatap heran pada istri kecilnya. “Ada apa, Habibati?”

“Kakak mandi duluan, gih! Kan, katanya tuh Retha istri Kakak. Mulai sekarang, Kakak jangan risi, ya! Aku bakal siapin pakaian kakak, semuanya pokok—-” 

Emran menarik tangan istrinya gadis cantik itu jatuh ke pangkuan Emran, Emran menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik istrinya ke belakang telinga. Dia mengusap lembut pipi chubby istrinya. “Kenapa harus risi? Kan, itu sudah menjadi tanggung jawabmu sebagai istri aku, tapi aku nggak mau kamu terlalu kelelahann, ya. Karena aku … menikahi kamu itu untuk jadi ratu di kehidupan kecilku, bukan pelayan. Pokoknya, selama kamu menyukainya dan tidak memberatkanmu. Kakak izinin, Habibati.”

“Oke deh. Sambil kakak mandi, aku mau buatin sarapan spesial dulu, ya. Kakak harus cobain pokoknya!” 

Emran mengangguk. Setelahnya dia melepaskan Aretha yang mana dia langsung memakai blezzer dan juga hijab serta cadar dan selepas mengenakan pakaian tertutup. Lantas dia turun ke lantai utama melalui lift

Tak henti-hentinya senyuman lebar terbit di wajah Emran. Terucap rasa syukur karena saat ini setelah kejadian kemarin Aretha bisa tersenyum dan mau melakukan sesuatu—-sebagaimana tugas seorang istri dilakukan—-tapi sedikitnya Emran merasa cemas khawatir kalau istrinya itu menyembunyikan kesedihan di belakangnya. 

Emran tahu. Pasti sakit banget ketika bertahun-tahun diperlakukan tidak baik oleh seseorang yang katanya, ‘mama’ tapi nyatanya wanita tersebut bukanlah ibu kandung istrinya juga papanya yang seharusnya menjadi pelindung malah mau-maunya bersekongkol dengan istri sirinya.

Semoga saja setelah ini kamu bahagia selalu, Habibati.’ 

Sejam kemudian mereka sudah bersiap dan weekend ini nyatanya mereka akan pergi ke sebuah tempat yang menjadi tempat favoritnya ketika suasana hati sedang dilanda gelisah. Setelah sarapan nasi goreng berbentuk cinta dan beberapa hiasan nugget yang sama-sama berbentu hati itu, kini mereka berada di sebuah masjid. 

Kenapa masjid? Yaps, Aretha sendiri lebih merasa tenang ketika hati tengah kalut itu mendengarkan sebuah ceramah dari ustazah atau ustaz yang menjadi pengisi di kajian rutin seminggu sekali itu. Kajian tersebut cocok sekali dengan mereka. Yang mana tidak hanya dikhususkan untuk akhwat saja, tapi ikhwan pun ada. Makanya Emran ikut masuk.

Sebenarnya Emran heran awalnya karena mood buruk Aretha yang biasanya sebagai cewek selalu dilampiaskan dengan shopping atau nonton atau menghabiskan isi dompet baik yang menjadi pasangannya atau dirinya justru ternyata lain. Aretha berbeda dari perempuan lain pada umumnya.

“Ustazah! Saya mau bertanya,” ucap seseorang yang suaranya tidak asing di telinga seorang Emran Haritz Al-Khalid.

Pengisi kajian di depan sana yang tengah duduk bersama pembawa acara pun mempersilakan si penanya untuk mengutarakan pertanyaannya. “Silakan, Ukhti.” 

“Ustazah … izin bertanya, bagaimana hukumnya seorang anak ketika dia tahu kalau ternyata seseorang yang menjadi cinta pertama untuk putrinya itu melakukan kesalahan yang menyebabkan si anak tersebut hampir celaka atas perbuatannya?” 

Deg 

Degup jantung Emran mendadak berdetak lebih cepat. Nyaris loncat dari tempatnya. Isi kepala Emran tiba-tiba memikirkan bahwa sekarang ini Aretha pasti kebingungan harus melakukan apa untuk papanya—-papa mertuanya—-Jiyad Umar Hafie, lantas kalau begini ceritanya apa dia masih belum ikhlas atau … mungkin tidak bisa menerima fakta yang sebenarnya tentang kejadian kemarin?

“Pertanyaannya sangat bagus, Ukhti. Baiklah, mari kita dengarkan jawabannya, silakan, Ustazah Fitri.” 

“Terima kasih, Kak Erika.” 

Suasana mendadak hening seketika. Ketika Ustazah Fitri—-yang menjadi pemateri dari kajian seminggu sekali ini menjawab pertanyaan si penanya. Satu sisi Emran saat ini tengah memikirkan istri kecilnya dan ingin bertanya lebih dalam bagaimana kondisi hatinya setelah dinyatakan papanya akan mendekam di penjara atas kesalahannya. 

“Jadi seperti itu, ya, Ukhti. Seburuk-buruknya orang tua kita, tetap mereka itu orang yang telah melahirkan kita. Orang yang telah mengurus, menjaga dan membesarkan kita dari kita baru lahir sampai seperti sekarang. Saran dari saya, untuk saat ini tenangkan pikiran Anda, kemudian dekati orang tua Anda dan tanya baik-baik mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa alasannya?” 

Jauh di tempat para akhwat berada saat ini si cantik pemilik mata indah itu mengangguk setuju. Iya terpikir alasan di balik mereka melakukan itu dan semuanya telah diungkapkan suaminya. Setelah itu dia berterima kasih atas jawaban dari pertanyaan yang telah diberikan. 

Usai mendengarkan kajian rutin mingguan itu pasangan suami istri saat ini tengah berada di sebuah mall—-pusat perbelanjaan terbesar yang ada di Kota tersebut. Emran mempersilakan Aretha membeli sesuatu yang diinginkan tanpa takut bagaimana caranya membayar semua barang belanjaannya.

“Emran!” 

Seseorang memanggil Emran. Mereka berdua berbalik badan melihat si pemilik suara. Yang ternyata ada seorang perempuan cantik di tengah puluhan orang yang berkeliling di sana. Satu hal yang membuat Emran langsung mengalihkan pandangannya jadi menunduk ialah ketika yang dilihat hanya mengenakan crop top dan celana hotpants serta dibalut blezer rajut berwarna coklat susu. 

“Apa Kakak mengenal dia? Mengapa menyebut nama Kakak?” 

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang