- Delapan -

11 2 0
                                    

- Selamat Membaca -

| Tidak peduli pada julukan ayah yang tersemat untukku.

Jiyad Umar Hafie

–——–

Tiga puluh menit sebelum Emran tiba. 

Di sebuah gedung tua yang dijadikan tempat penyekapan untuk seorang anak berusia 17 tahun lebih ini. Sepasang suami istri yang sedang kerasukan arwah jahat itu tersenyum senang bahkan sambil meminum-minuman haram. Tertawa bersama-sama setelah puas menyiksa gadis yang tidak lain merupakan anak mereka sendiri. 

Iya. Yang awalnya tadi Retha akan pulang dan tidak jadi masuk kampus karena capek dan lelah sangat mendengarkan ocehan warga kampus. Retha akan langsung ke rumah, tapi di tengah jalan tiba-tiba saja dicegah oleh seseorang dan sampailah dirinya di sebuah gedung tua yang jauh dari Kota dan warga setempat. 

Puas menyiksa karena mereka tidak mendapatkan sumber uangnya. Mereka merencanakan untuk kembali menjual dirinya ke laki-laki hidung belang.

Itu semua jelas dapat terdengar oleh Aretha yang tengah berpura-pura memejamkan matanya, tatkala dirinya sendiri merasa letih karena mendapatkan cambukan terus menerus. 

Ya Allah. Tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Kumohon pada-Mu, apabila benar Kak Emran. Senior dingin yang aku idolakan itu suamiku, bantulah aku, kabulkanlah doaku agar dia datang untuk membantuku,’ batin gadis itu.

“Pa. Aku mau lihat si anak sialan itu dulu!” kata Haura berpamitan pada suaminya. 

Jiyad—-suami Haura—-papa Aretha mengangguk. “Ya udah. Jangan lama! Papa tungguin di sini, ya! Pokoknya setelah ini kita harus kembali buat bisa jual rumah itu.” 

“Tenang aja suamiku, Sayang. Pastinya aku akan menurut.”

Sesampainya di dalam ruangan di mana posisi Aretha berada yang terikat dengan keadaan sudah amburadul. Acak-acakkan bahkan hijab dan cadarnya saja sudah melenceng ke mana-mana. Haura membuka pintu mendekatkan dirinya ke arah Aretha—-si gadis malang yang memiliki keluarga toxic seperti Haura dan Jiyad.

“Halo anak manis. Hem, bagaimana pelajaran dari saya tadi? Menyenangkan bukan?” tanya Haura sembari memutari tubuh Aretha, “itu akibatnya karena waktu itu kamu tidak membiarkan Emran memberikan uang pada saya. Dan … kamu juga yang sudah memerintahkan Emran untuk menarik semua fasilitas yang dia berikan pada kami, kan?” 

Jujur saja di sini itu Aretha korban. Aretha tidak tahu menahu dengan apa yang mamanya bicarakan. Uang, Emran, bahkan suami serta pernikahan. Ini semua selama dua tahun terakhir ini Aretha sama sekali belum mendapatkan kejelasan bahkan sampai mereka menyiksa dirinya saja dia sama sekali tidak tahu. Alasannya apa.

Aretha hanya mampu diam sembari mendengarkan ucapan Haura. 

Tidak berani berkutik atau membalas dengan apapun karena kaki, tangan bahkan mulutnya saja ditutup oleh lakban. Haura dan Jiyad benar-benar sangat menyebalkan sekali. 

Masa orang tua tega menyakiti anaknya sendiri kecuali salah satu dari mereka memang bukanlah orang tua kandungnya Aretha dan orang tersebut meracuni pikiran salah satunya untuk berbuat jahat padanya.

Tidak menutup kemungkinan, kan?

Di luar sana seseorang baru saja menepikan mobilnya di tempat sedikit jauh dari bangunan kosong itu. Menatap heran ke arah depan dan sekelilingnya. Karena bagaimanapun pemikirannya ini ya, bagaimana, ya, bisa-bisanya gitu ada bangunan sementara di sisi kanan-kiri saja bahkan depan maupun belakang hanya pepohonan lebat dan terkesan seperti di tengah hutan.

Memang iya nggak, sih?

“Semoga saja saya masih bisa menyelamatkannya. Bertahanlah, Humairahnya Emran. Kamu akan segera selamat dan terbebas dari semuanya.”

***

“Eh-eh. Apa nih kok ada dia di sini? Waduh, bisa-bisa gawat kalau sampai tahu si Mama mau kasih hukuman lagi sama tuh anak?” 

Jiyad ketar-ketir saat melihat kedatangan Emran—-menantunya beserta segerombolan orang yang tentunya berpakaian atau berseragam polisi. Hanya dia saja dan asisten pribadinya saja yang berpakaian santai. Mereka mempercepat langkahnya membuat Jiyad langsung melarikan diri berniat memanggil istrinya.

Akan tetapi, sebelum itu terjadi sudah terdengar seperti sesuatu sengaja ditendang kemudian suara benda entah orang terjatuh. Dapat dipastikan oleh Jiyad bahwa itu istrinya yang kembali kalap pada anaknya sendiri.

“Selangkah Anda bergerak dapat dipastikan lagi sekarang hanya tinggal nama saja, Tuan Jiyad Umar Hafie!” seru seseorang dengan nada suara penuh penekanan.

Mendengarnya Jiyad langsung memutar tubuhnya, bola matanya membelalak daat menantunya dan orang berseragam polisi sudah di depan mata. Jiyad meneguk salivanya susah payah. 

“Nak Emran. Ke-kenapa bisa tahu te-tempat i—-”

“Buka pintunya sekarang juga atau saya perintahkan mereka memenggal leher Anda, Tuan Jiyad!” potong Emran, tatapan datar dan terkesan hendak menerkam seorang mangsa pun terlihat sangat jelas.

“Nak Emran. Tidak baik kamu bersikap seperti itu kepada orang tuamu, Nak! Apalagi saya papa mertuamu, bukankah kamu tahu sendiri meninggikan suara kepada orang yang lebih tua itu tandanya tidak sopan?”

“Bagaimana dengan Anda sendiri, Tuan Jiyad? Seenaknya sendiri menyiksa anak sendiri bahkan sampai terhasut dengan omongan istri siri Anda, hem? Bagaimana jika Anda tahu yang sebenarnya penyebab masalah ini bermula karena berawal dari diri Anda lah sendiri. 

Yang dulu dengan sengaja menabrak seseorang sampai meninggal di tempat. Anda tahu yang meninggal itu siapa?”

“Anak Nyonya Haura sendiri!” lanjut Emran, setelahnya dia memberikan perintah pada yang lainnya menangkap seorang Jiyad. 

“A-apa? Da-dari mana Anda tahu semua i-itu, Emran?”

“Pak! Cepat tangkap dia dan bawa ke kantor Polisi, sisanya ikut saya ke dalam!” titah Emran.

Menurut. Perintah Emran segera dilaksanakan. Sementara, yang lainnya membantu Emran membuka pintu salah satu ruangan yang diyakini di dalamnya ada Aretha dan Haura. Ketika dicoba dibuka menggunakan tangan ternyata memang tidak dikunci, Emran sengaja membukanya dengan perlahan agar tidak sampai mengagetkan yang di dalam.

Akan tetapi, amarah dalam diri Emran Haritz semakin lama semakin menggebu-gebu melihat berkali-kali Haura menampar gadis kesayangannya dengan brutal.

Tidak! Tidak bisa dibiarkan. Emran harus segera bertindak. Ia tidak ingin si kecil pemberani itu luka lebih lama. 

“Hentikan, Nyonya Haura!” teriak Emran, langsung menendang pintu itu.

Dia sedikit berlari ke arah seseorang bercadar yang terikat di kursi dan cadar yang menutup wajahnya telah terlepas. Emran berteriak kepada Pak Polisi lainnya untuk segera membawa Haura dari tempat ini menuju ke Kantor Polisi. 

Untuk pertama kalinya Emran memeluk perempuan yang tak lain merupakan gadis kesayangannya. Dikecupnya kening si kesayangan Emran dan diusapnya pelan sisa-sisa air mata yang berada di pelupuk matanya. Perih rasanya ketika wajah cantik nan mulus seorang Aretha harus terlihat merah dan terdapat luka di sudut bibirnya. 

“Sudah, ya. Kamu tidak perlu khawatir lagi, jangan takut! Di sini ada aku,” ucapnya, mencoba memberikan ketenangan dengan hanya sekedar kata-kata. 

Air mata itu kembali tumpah, Emran mengecup kedua mata indah milik gadis kesayangannya. “Ada aku yang akan selalu melindungimu, istriku. Jangan pernah merasa takut, ya!” 

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang