- Dua Belas -

11 1 0
                                    

- Selamat Membaca -

| Percayalah! Senior yang kau idolakan sejak dulu itu suami.

Emran Haritz Al-Khalid

———

“Manakah yang harus kupercaya, Kak? Kamu atau fakta itu?” 

Si cantik bermata bening itu menundukkan kepalanya. Tidak sanggup menunggu kelanjutan fakta yang nyatanya sungguh membuat Aretha nyeri sekali rasanya. Benar-benar tidak mampu lagi menatap seseorang yang selama ini ia impikan jadi tempat berpulangnya dia malah jadi kenyataan. 

“Kamu harus memercayai keduanya, Humairah. Memang itu benar dan ibu kandungmu bukanlah Mama Haura. Dia hanyalah istri siri Papa kamu.” 

Bulir bening yang sejak tadi ditahannya perlahan tumpah begitu saja. Sebagai suami dan dia telah menceritakan semuanya bahwa Emran memang dulu menikahi Aretha untuk bisa melepaskan gadis itu dari Haura agar wanita licik itu tidak menyakiti gadis kesayangannya lagi. Emran memeluk Aretha dari samping. 

Sedikit banyaknya Emran memberikan petuah untuk Aretha bahwa semuanya bisa terjadi. Jika Allah telah berkehendak. Sebagai manusia hanya perlu menerima dan berusaha ikhlas atas takdir yang harus diterimanya.

“Berjanjilah padaku untuk tidak lagi menitikkan air matamu, Humairah! Aku … sebagai suamimu tidak ridho jika harus melihatmu lagi menangis,” pinta Emran, mengusap lembut puncak kepala istrinya. “Terimalah aku menjadi suamimu, ya dan kamulah istriku. Sekarang, tidak ada lagi yang perlu ditutupi. Mari, kita sama-sama hidup bahagia sebagai pasangan suami istri sesungguhnya?”

“Tapi aku perlu waktu, Kak.” Aretha melepaskan pelukannya, menatap kedua mata indah milik si tampan Emran, “boleh kalau aku menerimanya pelan-pelan? Karena bagi aku ini terlalu mendadak. Aku belum bisa sepenuhnya menerima dan aku belum sepenuhnya percaya kalau Mama Haura tega sama aku, Kak.” 

“Kenapa? Kenapa dia sampai setega itu? Kenapa … kenapa juga Papa sampai tega melenyapkan bayi yang tidak berdosa milik Mama Haura, kenapa? Ya Allah,” lirih Aretha.

Emran tidak mampu mengatakan apa-apa lagi. Malam ini ia akan membiarkan telinga, mata dan seluruh tubuhnya menyaksikan kehancuran alias kekecewaan seorang Aretha. Si kecil kesayangannya. Tapi setelah ini Emran berjanji akan mencoba belajar menjaga Aretha dan tidak ada lagi tangis menemani hari-harinya. 

Dia meminta Aretha menyimpan buku nikah milik mereka berdua. Emran menyerahkan kedua benda itu biarlah Aretha yang memegangnya.

Aretha mengangguk, mengiyakan, tapi matanya tidak bisa dibohongi. Semakin lama semakin ia menitikkan banyak air mata. Bukan hanya menangis karena perih disekujur tubuhnya yang dia dapat dari sepasang manusia yang katanya mengaku orang tuanya, tapi secara bersamaan batinnya pun ikut sakit. 

Emran merebahkan tubuh Aretha dengan benar setelah dia merasakan keheningan menyelimuti kamar milik gadisnya—-istri kecilnya—-Humairah-nya Emran ini, kemudian menyelimutinya dengan selimut sampai sebatas dada. 

“Tidurlah yang nyenyak, Humairah-nya Emran! Semoga kamu mimpi indah dan setelah bangun nanti, kamu bisa lebih fresh lagi, ya.” 

Diusapnya pelan pipi gembul Aretha, lalu mengecupnya pelan. Setelah itu dia beralih ke sofa karena malam ini dia akan menemani Aretha di kamar istrinya. Meskipun Emran suaminya, tapi dia tidak mau tiba-tiba mesti tidur begitu saja di ranjang yang sama bersama Aretha. Biarlah nanti Aretha memintanya sendiri ketika sudah siap.

Dengan adanya masalah ini dan rahasia yang dua tahun lalu ditutup rapat-rapat akhirnya ketahuan juga. Cepat atau lambat sesuatu yang lain akan terjadi, pastinya. Maka dari itu, Emran memutuskan mengirimkan pesan kepada abinya untuk menyiapkan pesta resepsi pernikahan untuk mereka berdua.

Bukan apa. Hanya dia ingin dunia tahu bahwa Emran sudah mempunyai Humairah-nya. Istri.

***

Mentari baru saja menampakkan cahayanya, seseorang mengerjap-ngerjapkan bola matanya karena merasakan ada pantulan sinar yang masuk melewati celah jendela. Dia merasakan tubuhnya serasa remuk, bahkan rasa perih bekas cambukan kemarin pun masih terasa tapi sudah jauh lebih.

Netranya mengarah pada sebuah sofa panjang berwarna putih. Dia? Bukankah itu si tampan yang merupakan suaminya?

Iya, dia masih mengingat bagaimana detail kejadian setelah penjelasan panjang tentang segala pertanyaan yang dia utarakan pada suaminya. Perlahan ia turun dari atas ranjang beralih mengambil hijabnya tapi tidak dengan cadarnya menuju ke dekat sofa. 

“Kakak! Kenapa tidur di sini, sih? Bukankah Retha itu humairahnya Kakak? Istri kecilnya Kakak? Sebagai pasangan suami-istri harusnya Kakak tidur bareng Retha. Kasihan,” ucap Aretha memelankan suaranya, berusaha tidak bicara terlalu keras karena takut membangunkan suaminya. “Masih belum nyangka loh Retha, Kak. Kok bisa gitu seseorang yang Retha dulu idolakan bahkan sampai sekarang itu suami Retha ternyata.”

Retha—-si kecil kesayangan Emran itu duduk di lantai—-kepalanya sengaja bersandar pada lengan kekar suaminya. “Kak! Capek, ya? Tapi terima kasih, karena … kalau bukan Kakak yang nolong Aretha waktu itu. Mungkin, nasib Retha nggak akan sebaik sekarang ini. Kakak.”

Bukannya bangun dan merapikan tempat tidur begitu juga membersihkan diri Aretha malah ikut tertidur di dekat Emran. Entah bagaimana bisa begitu? Sepertinya Aretha memang masih mengantuk. Beruntungnya sedang kedatangan tamu bulanannya jadi tidak perlu melaksanakan salat subuh.

Cukup lama. Emran terbangun merasakan sesuatu menyentuh bagian tangannya yang ada di permukaan perutnya. Setelahnya, setelah dia berusaha membuka matanya lebar-lebar dan mengangkat wajahnya ternyata Aretha lah pelakunya.

“Cantiknya aku kenapa di sini, sih?” tanyanya.

Padahal suara Emran masih pelan khas orang bangun tidur. Akan tetapi, membuat si cantik kesayangan Emran membuka matanya. Dia mengucek-ngucek matanya. Sementara, Emran melihatnya sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman.

“Kakak! Udah bangun?” tanya Aretha sembari masih mengucek-ngucek matanya.

Emran masih anteng dengan posisinya, tapi tidak dengan tangannya yang saat ini sedang mengusap lembut pipi gembulnya dan menjauhkan tangan si istri kecil kesayangannya ini agar tidak sampai mengucek matanya yang membuat dia bakalan merasakan perih. Emran tidak mau itu.

Ralat, ya. Sekarang ini panggilan atau sebutan Emran kepada Aretha bukanlah gadis kesayangan, tapi istri kecil kesayangan Emran. Hem, lumayan juga.

“Udah dari tadi, Humairah,” kata Emran, tutur katanya sangat lembut sekali membuat siapa pun yang berada di posisi Aretha saat ini pasti bakalan meleleh.

Aretha mengerecutkan bibirnya. “Berarti pas Retha samperin Kakak ke sini, Kakak udah bangun?” 

Dengan polosnya Emran mengangguk, tersenyum manis membuat Aretha menutup wajahnya malu-malu. Padahal kenyataannya memang sudah bangun, sih, cuma Emran masih ingin berada di posisi seperti itu lagian hari ini juga tidak ada jadwal kuliah pun dengan kepengurusannya di BEM. Apalagi urusan bisnisnya.

Khusus untuk saat ini Emran akan menemani si kecil kesayangannya. Tidak akan melakukan apa pun selain menemani Aretha dan membuat dia nyaman berada di dekatnya. Hem, secara tidak langsung sih, Emran ingin Areha terbiasa dan menerima kehadiran dirinya bukan lagi sebagai kating atau senior atau apa pun itu lah.

But, Emran ingin diakui sebagai suami oleh Aretha. Karena itulah faktanya.


- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang