- Sembilan Belas -

24 0 0
                                    

- Selamat Membaca -

|| Katakan padanya bahwa aku milikmu dan bukan orang lain. Sejatinya, aku hanyalah gadis biasa yang mudah percaya ungkapan orang lain.

Aretha Zayba Almira 

—————

Malam ini Aretha sudah di rumah sendirian. Dia sudah selesai melaksanakan ibadah salat isya dan menunggu suaminya pulang. Janji yang diucapkan katanya sudah di depan Mall tadi nyatanya hanyalah angin lalu. Sekarang bahkan Aretha tidak tahu di mana Emran. Pikirannya mulai berkelana memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan. Namun, yang tidak ingin dia lakukan nyatanya terjadi. 

Apalagi saat melihat ponselnya berbunyi dan dia mendapatkan sesuatu foto dari nomor asing ke nomornya. Pikir Aretha dari mana orang tersebut tahu nomornya. Dia tidak punya kenalan lain, nomor dia hanya Rafia, Emran, Ibun Inay, Khanza dan Abi. Tidak ada yang lain terkecuali nomornya memang ada di grup yang mana Aretha masuk ke grup kampus lebih tepatnya.

089×××××

[Send a picture.]

Aretha memencet nomor tersebut dan terpampanglah sebuah foto yang seharusnya tidak Aretha lihat. Foto tersebut memang tidak jelas dan hanya terlihat bagian punggung laki-laki itu memeluk seseorang yang jelas-jelas Aretha ingat sekali wajah dari perempuan di foto ini. 

Allah. Kenapa rasanya sakit sekali? Dada aku rasanya sesak sekali.” 

Setetes air mata membasahi pipinya. Dia seka, tapi tampaknya bulir bening itu memaksa mendesak ingin tumpah. Semakin lama pikirannya semakin tidak bisa berpikir jernih. Aretha berpikir kalau Emran selama ini membodohinya dengan berkata bahwa dirinya suaminya. 

Apakah itu hanya untuk  menenangkan Aretha saja karena selama ini Aretha menyukai Emran? 

Aretha sesegukan. Aretha tidak tahan. Pada akhirnya dia naik memakai tangga untuk menuju ke lantai atas, kamarnya bersama Emran. Padahal seharusnya Aretha ini naik ke lantai atas menggunakan lift. Namun, rasa sakitnya mengalahkan segalanya. Intinya tidak peduli selelah apa dirinya naik tangga, yang terpenting hatinya bisa aman dan langsung ke kamar.

“Kak Emran jahat. Kak Emran bisa-bisanya bohong sama aku! Padahal kalau dia tidak suka sama aku. Nggak usah begini juga kali,” ucapnya sembari mengacak-ngacak meja rias dan menendang sesuatu yang menghalangi jalannya, “Kak Emran! Ckk … ya Allah, kenapa aku bodoh sekali. Bisa-bisanya percaya sama mulut manis dia. Janji mau jemput, nyatanya sekarang malah berduan begitu di hotel. Sialan. Allah, astagfirullah.” 

Aaargh!” 

Prang …

Guci dan semua vas bunga yang ada di sana pecah begitu saja. Aretha banting, Aretha menginjak pecahannya tersebut tidak peduli kakinya sesakit apa menginjak pecahan dari guci maupun vas bunga. Intinya sekarang, Aretha sayang dan cinta mati sama Emran. Aretha sangat tidak mau sekali kalau harus melihat miliknya bersama wanita lain. 

Polos-polos begini, Aretha tahu tentang dunia perselingkuhan. Ah, entahlah pokoknya sekarang Aretha kesal, kecewa dan membencinya. 

Habibati!” 

Terdengar suara berat khas milik si pelaku yang membuat kemarahan Aretha membludak seperti ini. Sejak dulu baru kali ini Aretha seperti ini. Dia—-yang berada di depan pintu heran melihat keadaan kamar utama yang berada di lantai dua ini yang menjadi tempat tidur mereka berantakan—-bahkan tak hanya itu ada darah yang keluar dari balik kaki putih nan lentih milik istri kesayangannya.

Apa yang terjadi kepadanya? 

Mengapa sampai dia melakukan seperti ini? Dan tunggu sebentar … bola mata lentik milik Aretha sudah bengkak efek menangis terlalu lama. Gegas dia menyimpan tas dan laptop serta berkas di mejanya. 

Emran. Ya, dialah yang datang itu dan langsung memeluk istri kecilnya. Rasanya sakit sekali melihat miliknya hancur begini. Pelukan Emran semakin erat tatkala si kecil itu memberontak bahkan memaki-maki seorang seperti Emran. Yang harusnya Emran jaga baik-baik. Emran mengusap jejak air mata di pipi istrinya. Amarah dalam dirinya semakin membludak rasanya. 

“Jangan peluk aku, Pembohong!” umpatnya. Aretha lagi-lagi berusaha menjauhkan dirinya dari tubuh suaminya, tapi sialnya tenaga dirinya tidak sebanding dengan Emran—-suaminya, jadinya dia pasrah, tangisannya semakin pecah saja, “dasar pembohong! Bilangnya kamu cinta sama aku, aku istrinya, aku milikmu. Tapi hahahaha … bodohnya aku percaya aja. Kamu senengkan bisa pelukan sama wanita itu, hah?!” 

Emran tampaknya tidak menjawab. Seperti membiarkan Aretha mengungkapkan kekesalannya. Emran berpikir Aretha seperti ini karena dirinya lupa menjemput Aretha sampai dia pulang sendiri.

“Laki-laki semuanya sama. Brengsek! Munafik! Seenaknya memainkan perasaan orang lain. Kalau begini aku nyesel kenapa nggak dari dulu aja aku lepas hijab agar aku bisa—-”

Emran membungkam mulut Aretha dengan bibirnya. “Jangan lagi berkata demikian, Habibati! Seorang wanita muslimah, baiknya menutup apa yang menjadi perhiasannya ini! Bukan malah berniat ingin mempertontonkan. Allah jelas-jelas sudah menjelaskan dalam Al-Quran. Paham, kan?” 

“Terus?” 

“Ap—-” 

“Kenapa kamu selingkuh dan menyakiti perasaanku? Bukankah seorang suami yang baik itu—-”

Mereka berdua jadi saling memotong satu sama lain. Mereka berdua sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau menghentikkan protesannya, sehingga dipikir lagi kalau begini ceritanya bagaimana bisa menyelesaikan masalah?

Emran fokus dengan dia menjelaskan kalau dia tidak ada selingkuh, tapi Aretha juga tidak mau kalah. Dia seakan merasa dipermainkan. 

“Apa?” 

“Habibati. Dengarkan aku sekali lagi, ya, Sayangku! Aku tidak ada selingkuh, aku gagal jemput kamu tadi aku harus ke kantor. Aku memang sudah di bawah di mana kamu sore tadi ada. Cuma … aku dapat telepon dari kantor. Aku ke sana karena perusahaan sedang tidak baik-baik saja. Manager keuangan membawa kabur uang perusahaan terus aku bereskan syukurnya semua selamat dan dia sudah di kantor poli—-”

Aretha melepaskan dekapannya. Berjalan ke arah ranjang dan mengambil ponsel yang tadi dia lempar ke sana. Menunjukkan bukti dari pesan yang didapatnya. Tadi Aretha memang sempat ingin membanting ponselnya ke lantai, cuma sayang sekali ponsel itu didapat dari hasil jerih payahnya dibanting ke lantai, rasanya dada Aretha bertambah nyeri rasanya.

Karena kadang ketika seseorang memperoleh sesuatu dari hasil keringatnya sendiri, saat emosi melanda dan akan merusak barang tersebut pastinya berpikir ribuan kali. Kita mendapatkannya susah payah dan kita merusaknya begitu saja? Oh, tidak! 

“Kamu percaya?” 

Aretha mengangguk, tapi sedetik kemudian Emran mendekat merangkul pinggang istri kecilnya possesive. Emran meminta Aretha mengendusnya untuk membuktikan apabila di tubuhnya ada bau parfum perempuan lain dan Emran tidak lupa kalau dirinya juga berkata jika Aretha dibodohi oleh seseorang—-si pemilik nomor ponsel tersebut—-kalaupun iya. 

Postur tubuh Emran lebih ke ramping dan tinggi. Sementara, di dalam foto tersebut yang merangkul seseorang dengan mesra agak berisi pun pakaiannya berbeda. 

“Tidak ada bau parfum atau apa pun, kan?” tanya Emran diikuti gelengan oleh Aretha. “Makanya, cari tahu dulu informasi yang didapat sebelum meng-klaim kalau berita itu benar. Aku janji besok aku akan telusuri.”

Shit. Sial sekali. Ikram dan Dinar mau bermain-main denganku?’ batin Emran.

- Bersambung -

Meraih Cinta Senior Dingin [Marriege Life ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang