SEVEN BROTHERS 17

610 69 16
                                    

🐻

"Orang gila deh itu kayaknya," ujar Haekal.

Ia menendang kerikil-kerikil kecil di bawah kakinya. Sore ini Haekal, Jeno, Nathan, Aji dan Cahyo baru pulang dari sekolah. Mereka sudah menunggu Reyhan satu jam lamanya, namun mas nya itu malah tidak bisa menjemput dengan alasan ada tugas mendadak yang harus segera di selesaikan. Kebetulan, kelimanya malah kompak tidak membawa kendaraan ke sekolah. Jadilah mereka pulang jalan kaki.

Sebenarnya mereka sudah pulang dari pukul 3 sore. Tapi sampai hari sudah mulai gelap, mereka baru sampai di depan gerbang rumah mereka. Haduh, kemana dulu mereka ini?

"Kan, tiba-tiba banget si Felix begitu," sahut Jeno. Tangannya sibuk membuka pintu gerbang.

Jeno sudah menceritakannya kepada empat manusia titisan setan ini. Kalau ke Mahen dan Reyhan mungkin nanti akan Jeno ceritakan kalau nggak mager buka mulut.

Bunda keluar dari dalam rumah sambil membawa sapu ijuk ditangan kanannya. Tumben banget bunda keluar pake daster sama bawa-bawa sapu gini. Perasaan Haekal jadi ngeri-ngeri sedap ini.

"Bidadari dari mana ini, cantik sekali dengan daster bolongnya," ucap Haekal. Tatapannya ia buat seolah kagum.

"Enak aja, ini daster baru beli ya, mana ada bolong!" sewot Bunda.

"Pantes pake daster," gumam Nathan.

Kelimanya hendak melangkah masuk, tapi Bunda menghadang jalan kelimanya.

"Eits, puter balik puter balik." Jari telunjuk bunda bergerak memutar, menyuruh ke-lima anak bujang nya untuk balik badan.

Ke-lima nya menurut, walaupun disertai dengan ekspresi bingung dan bertanya-tanya, ada apa sebenarnya.

Bunda turun dan mengitari ke-lima anaknya sambil mengetukkan gagang sapu ke telapak tangan. Sekarang, bunda terlihat seperti ibu tiri kejam yang suka Aji tonton bersama Cahyo.

"B-bun." Belum sempat Aji melanjutkan, bunda sudah melotot ke arahnya.

Haekal, Jeno, Nathan, Aji dan Cahyo langsung diam dan tidak berani buka suara. Mereka berbaris, dan bunda yang masih mengelilingi mereka berlima.

"Siap grak!"

Ke-lima nya langsung berdiri tegap mengikuti instruksi dari sang bunda yang sore ini terlihat menyeramkan.

"Pulang sekolah jam berapa?" tanya Bunda masih mengelilingi mereka berlima.

"Siap, jam 3!" jawab mereka kompak.

"Sekarang jam berapa?" tanya bunda kembali.

"Siap, hampir magrib!"

"Kenapa jam segini baru pulang ha?" tanya bunda lagi, sambil tolak pinggang di depan mereka berlima.

Haekal baru saja mau membuka mulut untuk menjawab, tapi sapu bunda tiba-tiba saja sudah ada di depan matanya.

"Cahyo, kenapa?" Pandangan bunda sekarang beralih ke Cahyo.

"Gak tau, aku lagi lowbat, males buka mulut."

Haekal memandang satu persatu saudaranya. Kelihatan kayak belum makan setahun, abisnya lemas banget Haekal lihat-lihat, malahan dia paling ujung lagi.

"Nathan." Sekarang giliran Nathan yang bunda tunjuk.

"Iya," jawab Nathan dengan lesu.

Kan, kalau begini bakal lama pasti. Jadi Haekal menyerobot untuk menjawab.

"Salahin tuh si Mas Rey, bilang mau jemput tapi nggak jemput-jemput. Noh, si Aji hampir diculik orang cuma di iming-iming permen doang. Si Cahyo hampir di seruduk kambing waktu kita lagi jalan pulang, belum lagi si Nathan di rebutin sama bocil-bocil centil. Apalagi Mas Jen bun, dia mah sempat adu jotos dulu sama orang," jelas Haekal panjang lebar.

Seven BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang