Srett!
"A-abang."
Haekal terkejut dan diam mematung begitu tangan Mahen menangkap sebuah bambu runcing yang sepertinya akan menancap di kepala Haekal jika Mahen tak segera menangkapnya.
Reflek yang bagus, Mahen dapat langsung menangkap bambu runcing yang mengarah ke kepala Haekal karena kebetulan posisi mereka berdua berada di paling ujung tidak jauh dari pintu. Mahen menurunkan bambu nya dan menarik kertas putih yang ditempelkan di belakang bambu.
Sekarang, semua tatapan mengarah ke Mahen. Haekal yang tadi hanya diam ikut memperhatikan Mahen dengan serius. Mahen terlihat membuka gulungan kertas itu dengan pelan.
"Ji, gimana kalau bambu runcing ini singgah di jantung lo?" Mahen membaca kertas tersebut.
Sekarang, semua mata mengarah ke Aji yang terlihat ketakutan. Kenapa? Ada apa sama jantungnya Aji? Aji tidak bisa mengutarakan apa yang ia rasakan. Takut? Tentu saja.
"Bang," ucap Aji dengan gemetar.
Jeno langsung bergegas keluar. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Pandangannya berhenti di depan rumahnya. Ia melihat sosok laki-laki yang menaiki sebuah motor sport berwarna merah.
Jeno berusaha mengejar, tapi tentu saja sosok itu langsung melaju kencang begitu Jeno sudah berada didepan rumah.
Tapi satu hal yang tidak sosok itu sadari, Jeno... melihat nomor plat motornya.
Jeno langsung berlari masuk ke dalam rumah. Nafasnya terengah-engah. Jeno menatap Mahen, Nathan, Reyhan dan Haekal bergantian. Bunda sudah membawa Aji ke kamarnya bersama dengan Cahyo.
"Bukan lagi perempuan, tapi laki-laki," ungkap Jeno.
"Fel--" Nathan tak melanjutkan ucapannya begitu Mahen menyela.
"Bukan Felix," sela Mahen.
"Alasannya?" tanya Reyhan.
"Gue yakin bukan Felix, tadi sore gue sama dia ketemu di cafe. Kita berdua udah pernah kenal sebelumnya, gue kenal Felix dan Felix kenal gue."
Yang lain hanya diam dan menyimak. Jeno sudah duduk di samping Nathan.
"Felix bilang, bukan dia yang masukin pisau itu ke dalam tas Jeno. Tapi justru dia cegah orang yang mau masukin pisau itu ke dalam tas Jeno."
"Bisa aja dia bohong?" Reyhan memasang wajah tidak yakin dengan cerita yang sekarang sedang ia simak.
Jeno mengangguk mantap. "Orang jahat kalau ngaku penjara penuh."
Mahen terkekeh. "Dengerin abang dulu bisa?"
Semuanya kompak mengangguk.
"Jadi..."
"Sumpah, itu bukan Fel, justru Fel berusaha cegah orang yang mau masukin benda tajam itu. Tangan Fel malah sampe kena tuh pisau."
Mahen hanya diam.
"Fel datang pagi karena hari itu Fel dapat hukuman dari guru BK buat bersihin toilet siswa. Selesai bersihin toilet, Fel nggak sengaja liat orang yang keliatan mencurigakan gitu. Dia kelihatan nengok ke kanan ke kiri begitu sampe di depan kelas Jeno."
"Terus?"
"Fel curiga, apalagi di tangan dia tuh ada pisau kecil yang ada darahnya gitu, jadi Fel ikutin diam-diam."
"Nah, disitu, ada satu tas warna hitam yang Fel nggak tahu itu punya siapa. Tapi kayaknya itu tas Jeno karena emang Fel sempet liat dia masuk ke dalam kelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Brothers
FanfictionDi Bandung, ada sebuah rumah yang tak pernah sepi tawa. Haekal, panglima tertawa dan manajer kebahagiaan bagi Mahen, Reyhan, Jeno, Nathan, Cahyo, dan Aji - tujuh laki-laki penuh semangat yang bersama-sama membentuk keluarga super unik. Saat ayah mer...