Kalau ditanya apa yang Haekal mau sekarang, mungkin dia bakal jawab buat bisa ketemu sama ayahnya lagi, pulang ke rumah yang masih ada ayah di dalamnya. Dimana saat itu bunda lebih sering menghabiskan waktu dirumah, dan Haekal lebih sering makan masakan bunda setiap harinya.
Tapi, entah sejak kapan semuanya berubah. Ayah nya pergi dengan alasan bekerja dan tidak pernah pulang hingga saat ini. Membuat bunda dan abangnya sekarang jadi jarang berada dirumah.
"Kal." Jeno menepuk pundak Haekal dan duduk di hadapan adiknya itu.
Siang hari yang terik, dengan masih memakai seragam putih abu-abu, Haekal, Jeno, Nathan dan Felix memilih bolos pelajaran. Pergi dari sekolah dan malah mampir ke warung pinggir jalan. Haekal melamun sambil menghisap rokok yang tampaknya sudah hampir habis terbakar.
"Ngagetin aja." Haekal menginjak puntung rokoknya dengan kaki yang dibalut sepatu.
"Mikirin apa si?" tanya Jeno. Tangannya sibuk menyalakan korek untuk membakar rokok yang sudah diapit di kedua bibirnya.
"Kepo banget nanya-nanya."
Felix baru saja kembali setelah tadi pergi membeli rokok. Ia duduk di sebelah Nathan. "Rokok Na."
Nathan menggeleng. "Nggak."
"Jangan coba-coba lo nawarin si Nathan rokok, gue cekek lo," ancam Haekal.
Felix tampak acuh, dan hanya mengangkat kedua bahunya. Ia mulai membakar rokoknya, menghisap dan menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
"Jadi gimana? Rencana kita selanjutnya apa?" tanya Nathan.
Jeno menghembuskan asap rokoknya, lalu menggeleng. "Buntu, nggak ada petunjuk."
"Ini pelakunya yang pinter, apa kitanya yang goblok? Sampe gak ada celah gini." Haekal mengunyah satu gorengan bakwan.
Felix menghembuskan asap rokoknya. "Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Bawa santai aja, yang penting pada jaga satu sama lain aja. Lagian, sejauh ini masih baik-baik aja kan?" Felix memperhatikan Nathan, Jeno dan Haekal bergantian.
Haekal mengangguk. Lalu tak lama kemudian menatap Felix dengan bingung. Ia merasa ada yang janggal dengan manusia satu ini. Haekal menatap Felix dengan serius.
"Fel," panggil Haekal. Matanya menatap Felix dengan tajam.
Felix yang diperhatikan seperti itu merasa gugup. Tapi ia menyembunyikan rasa gugupnya, mencoba terlihat biasa saja.
"Apaan."
"Lo kok jadi main sama kita anying, temen lo pada kemana emang, hah?"
Astaga.
🐻
Malam harinya, di balkon kamar Haekal dan Reyhan, mereka duduk melingkar di kursi masing-masing, mulai berdiskusi tentang masalah yang akhir-akhir ini sedang mereka selidiki. Kebetulan, kemarin malam Mahen tak pulang, jadi lah malam ini baru mereka diskusikan bersama.
"Rekaman CCTV-nya ilang? Kok bisa?" tanya Mahen.
"Kan, aku aja bingung. Bahkan di laptop Felix tuh rekaman tiba-tiba aja eror," jawab Jeno.
Reyhan berpikir sebentar. "Di sabotase?"
Nathan mengangguk. "Bisa jadi."
"Nggak ada petunjuk lagi kalau gini?" tanya Mahen. Ia tampak putus asa.
"Ada," jawab Jeno dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Brothers
FanfictionDi Bandung, ada sebuah rumah yang tak pernah sepi tawa. Haekal, panglima tertawa dan manajer kebahagiaan bagi Mahen, Reyhan, Jeno, Nathan, Cahyo, dan Aji - tujuh laki-laki penuh semangat yang bersama-sama membentuk keluarga super unik. Saat ayah mer...