SEVEN BROTHERS 24

365 43 0
                                    

Tak lama kemudian, terdengar seperti suara seretan yang beradu dengan lantai kayu yang kotor ini. Haekal maupun Jeno menoleh ke sebelah kanan mereka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat keadaan Aji maupun Cahyo.

Bagaimana tidak, keadaan kedua adiknya tidak bisa dibilang baik-baik saja. Aji maupun Cahyo benar-benar terlihat kacau. Baju seragam keduanya yang sudah terlihat sangat kotor dan lusuh, belum lagi rambut mereka yang lepek karena berkeringat. Dan ada beberapa luka lebam di kaki, tangan dan wajah Aji. Sedangkan Cahyo, anak itu hanya terluka di bagian wajah saja.

"Aji."

"Cahyo."

Haekal memandang keduanya bergantian. Ia beralih menatap orang bertopeng yang dengan teganya menyeret Aji dan Cahyo. Orang itu berdiri di samping Irene, dan membiarkan Aji dan Cahyo yang tergeletak lemas.

"Ade gue," ucap Jeno dengan suara lirih.

Mata Jeno memerah, ia memandang Irene dengan tatapan permusuhan, ia memberontak dengan kuat sampai terlepas dari pegangan kedua orang berbadan besar yang sedari tadi terus menahannya.

Ia menghampiri Irene, mencekik dan menarik rambutnya sampai kepala Irene mendongak. Dua orang yang berada di samping Irene mencoba untuk melepas cengkraman Jeno, tapi karena cengkraman yang cukup kuat, tangan Jeno tak bisa dilepaskan begitu saja.

"LO APAIN ADEK GUE IRENE!"

"Jeno! Lepas!" jerit Irene. Kedua tangannya berusaha untuk melepas tangan Jeno dari lehernya.

Kedua orang berbadan besar tadi menarik Jeno dengan kuat sampai terlepas, dan kembali menahannya dengan kuat. Jeno semakin memberontak, wajahnya memerah, rahangnya mengeras, dan urat lehernya yang terlihat menonjol.

"Dasar gila!" pekik Irene.

Ia mengusap lehernya yang tadi dicekik oleh Jeno.

"Pengecut, MANUSIA PENGECUT!" Jeno semakin tak terkendali.

Aji dan Cahyo masih terlihat memejamkan matanya. Keduanya masih tergeletak begitu saja, terlihat masih ada kehidupan untuk mereka berdua karena dada mereka yang terlihat naik turun tak beraturan.

"Kasih tahu gue, apa tujuan lo ngelakuin ini semua?"

Semua tatapan beralih ke Haekal. Anak itu sedari tadi hanya diam.

Irene tertawa remeh, ingin sekali Jeno merobek mulut wanita itu sampai tak berbentuk. Benar-benar wanita licik.

Ingatan Irene berputar pada beberapa waktu sebelumnya.

Irene yang saat itu baru pulang dari kantor pada waktu dini hari, memasuki kamar tidurnya setelah mencuci muka dan berganti pakaian. Hari itu, suaminya tidak ada di kamar seperti biasanya. Dan Irene tak sengaja menemukan satu lembar surat di atas bantal tidur miliknya.

Irene membuka surat tersebut, ia mulai membaca nya dengan perlahan. Irene tahu ini adalah tulisan tangan suaminya.

Irene,

Maafkan saya, saya menyayangi kamu, dan saya menyayangi Azizah, walaupun Azizah bukan anak kandung saya. Tapi saya menyayangi Azizah seperti anak kandung saya sendiri.

Saya tahu, kamu begitu amat mencintai saya. Kita bertemu di sebuah kebetulan yang tidak terduga. Saya yang saat itu sedang bekerja, dan tidak sengaja bertemu dengan kamu, hingga  sekarang kita menjadi dua orang yang saling mencintai.

Tapi...

Akhir-akhir ini saya sering kali merindukan dan dihantui rasa bersalah kepada istri dan ketujuh anak kandung saya yang berada jauh dari saya. Hampir tiga tahun saya tidak menemui dan mengabari mereka.

Seven BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang