SEVEN BROTHERS 11

1K 91 27
                                    

Malam semakin larut, sekarang sudah hampir tengah malam. Suasana di rumah sakit sudah sepi, hanya ada beberapa perawat yang mondar-mandir di koridor.

Beberapa jam lalu, Mahen baru saja ditelepon oleh dokter yang menangani Aji.

Mahen terduduk lemas di samping Haekal.

"Kata dokter, jantung Aji makin rusak, Aji harus segera dioperasi," lirih Mahen, kepalanya menunduk.

Bunda kembali menangis, yang lain hanya diam saja tidak berani buka suara. Memang, Aji sudah mengidap penyakit gagal jantung dari kelas 1 SMP, karena dari keluarga bunda ada yang mempunyai riwayat penyakit gagal jantung. Sebenarnya mereka sudah berusaha untuk cari pendonor jantung untuk Aji, tetapi tak kunjung ditemukan, karena memang sesulit itu. Jadi, mereka memilih menyembunyikan hal ini dari Aji demi kesehatan Aji kedepannya.

Bahkan Cahyo juga tak diberitahu karena memang kedekatan keduanya.

"Aji sakit apa?" Tanya Cahyo, matanya memerah menahan tangis.

Semuanya terdiam, isakan tangis bunda semakin terdengar.

"Jawab!" bentak Cahyo.

"Gagal jantung, jantung Aji rusak. Tapi makin lo perparah sakitnya dengan izinin dia main bola." Jeno menatap Cahyo sengit, matanya juga memerah menahan marah.

Ya, gagal jantung dapat menyebabkan sesak nafas. Kondisi ini terjadi karena jantung yang melemah tidak dapat memompa darah dengan efisien, menyebabkan penumpukan cairan di paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan bernafas atau sesak nafas, terutama saat beraktivitas atau berbaring.

Cahyo semakin terisak, dia memukul kepalanya cukup keras. Tangis bunda semakin pecah, bunda mencoba menahan Cahyo untuk tak memukuli kepalanya lagi.

"Bodoh, aku bodoh. Aji sakit karena aku, aku gak bisa jagain Aji. Aku gak becus jadi abangnya Aji." Cahyo semakin memukuli kepalanya.

"Cahyo, udah sayang," tangis bunda, bunda memeluk Cahyo dengan erat.

"Aji bun," lirih Cahyo, terisak di pelukan bunda.

Reyhan menarik Jeno menjauh dari ruangan Aji. Setelah menjauh, Reyhan meninju Jeno sampai Jeno tersungkur. Reyhan gak habis pikir sama anak ini, dia selalu aja nyalahin Cahyo, padahal jelas-jelas abangnya Aji bukan cuma Cahyo aja.

"Bangun lo."

Jeno tak merespon, dia memegang sudut bibirnya yang mengeluarkan darah karena tinjuan tak terduga dari Reyhan.

Reyhan menarik kerah baju Jeno sampai Jeno berdiri di hadapannya. Jeno memang lebih tinggi dan lebih besar dari Reyhan, tapi kalau sudah begini, Reyhan benar-benar menyeramkan dari biasanya.

"Lo egois Jeno! Lo selalu salahin Cahyo karena dia gak bisa jagain Aji. Abangnya Aji bukan cuma Cahyo aja, lo juga, kita semua abangnya Aji!" Napas Reyhan memburu.

"Tapi Cahyo yang selalu sama Aji!" Bentak Jeno.

"Itu karena kita semua sibuk sama kegiatan masing-masing sampe gak ada waktu buat Aji. Cahyo yang selalu ada buat Aji, dia yang selalu ngeluangin waktunya buat main sama Aji." 

Jeno terdiam, sepertinya dia mengerti dengan ucapan Reyhan barusan.

"Cahyo selalu bilang ke gue, kalau dia juga pengen main sama temen-temennya, tapi dia gak bisa ngebiarin Aji main sendiri, karena Aji gak biasa bersosialisasi. Teman main Aji cuma Cahyo Jen!" Reyhan melepas kerah baju Jeno dengan kasar.

"Kita juga lagi berusaha buat cari pendonor jantung buat Aji."

"Dan bukan waktunya buat lo nyalahin Cahyo, kalau Cahyo nantinya ngerasa bersalah gimana? Lo mau dia stres karena dia selalu mikir kalau Aji itu sakit karena dia?"

Seven BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang