hiburan kecil

1.6K 239 17
                                    







"Masuk, Bunda!" Feerel berteriak ketika mendengar suara ketukan pintu di kamarnya.

Tamara membuka pintu dan berjalan dengan langkah tenang ke arah Feerel yang sedang belajar di meja belajar yang ada di kamarnya.

Feerel menghentikan kegiatan belajarnya dan duduk memutar agar bisa menatap bundanya yang tengah berjalan ke arahnya. Wajahnya terlihat cemas.

"Maaf baru bisa liat kamu. Tadi pas kamu pulang, bunda lagi masak. Takut bikin salah lagi kaya pagi ini dan ayahmu marah lagi nanti." Tangan itu terulur untuk menyentuh luka di bibir Feerel ketika sampai di depan putranya itu.

Feerel ingin meringis, karena setiap kali luka itu disentuh, rasa sakitnya seolah bertambah parah, tapi Feerel sama sekali tidak mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya. Bahkan hanya sekadar ringisan pelan.

"Ngga pa-pa kok, Bunda. Aku tau Bunda lagi sibuk masak. Makanya langsung naik ke atas."

Takut bahwa Feerel merasa kesakitan, Tamara menjauhkan tangannya. "Terus gimana sama lukanya? Biar bunda obatin sekarang juga, ya?"

"Ngga usah, Bunda. Tadi pas di sekolah, kebetulan udah periksa di UKS sama—" Feerel berhenti. Teringat Marsha secara tiba-tiba.

"Sama Ollan." sambungnya enggan menyebutkan nama Marsha.

"Dikasih obat juga?"

Feerel mengangguk. "Obat minum sama salep juga," jawabnya.

Tamara bernapas lega untuk beberapa detik, sampai wajahnya kembali terlihat cemas.

Orang tua mana pun pasti tidak ada yang ingin melihat anaknya terluka. Terlebih lagi ketika luka yang harus didapatkan oleh anaknya merupakan pemberian ayah kandungnya sendiri.

Tamara merasa sakit ketika melihat hal itu pagi ini. Ia merasa tidak terima karena Feerel harus terkena imbasnya hanya karena membelanya.

Tamara sungguh tidak masalah jika suaminya hanya melukai dirinya. Tidak masalah jika pria itu harus menamparnya setiap malam. Tapi ketika tangan kekar itu sudah melayangkan tamparan pada putra semata wayangnya, maka luka yang ia terima rasanya baru saja diberi garam. Perih sekali. Dan ia tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan.

"Tolong maafkan ayahmu, Rel. Bunda tahu itu udah sangat keterlaluan, tapi bunda mohon ... tolong maafkan dia."

Sebegitu cepatnya bulir bening itu mengalir dari pipi bundanya. Hanya dalam hitungan detik setelah mengingat apa yang terjadi pagi ini.

Feerel hanya bisa menghela napas. Feerel berani bersumpah ia sungguh tidak mempermasalahkan kalau dirinya yang ditampar, kalau dirinya yang mendapatkan pukulan. Feerel tidak akan memiliki dendam karena hal itu.

Tapi yang selama ini membuatnya tidak bisa memaafkan sosok ayahnya adalah karena pria itu selalu melukai ibunya.

Satu-satunya hal yang membuat dirinya sangat membenci ayahnya karena pria itu sangat ringan tangan kepada ibunya dan seolah tidak pernah merasa bersalah.

"Lagian kenapa sih Bunda ngga pisah aja sama Ayah? Dia itu bukan laki-laki yang baik buat Bunda. Kalau Bunda pisah sama Ayah, Feerel yakin Bunda pasti bisa ngedapetin laki-laki yang lebih baik dari Ayah. Bunda pantes bahagia, Bun. Dan bukan Ayah orang yang pantas ngasih kebahagiaan itu buat Bunda."

Tamara mengusap basah di pipinya. Sudah berulang kali Feerel mengatakan hal itu pada dirinya, tapi ia selalu mengatakan alasan lain atau selalu mengalihkan pembicaraan. Untuk kali ini, sepertinya ia harus mengatakan apa yang ada di pikirannya.

"Bunda tau," kata Tamara mengusap pipi Feerel, "tapi kalau Bunda pisah sama Ayah, belum tentu Bunda bisa ngasih kehidupan yang lebih baik untuk kamu. Ayahmu yang merupakan anak pengusaha sedangkan Bunda hanyalah orang dari kaum kalangan menengah."

Marshauwu // Fresha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang