teman

1.5K 189 8
                                    






"Bunda, gimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Feerel pada ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.

Wanita itu menggeleng pelan. Mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tapi Feerel tahu bahwa ibunya berbohong.

Feerel tidak pernah suka berhadapan langsung dengan ibunya, bersitatap langsung dengan netra coklat milik ibunya, karena itu hanya akan membangkitkan amarah yang selalu terpendam dalam dirinya.

Setiap kali menatap mata ibunya, setiap kali melihat wajah ibunya, selalu ada luka memar di sana. Tidak hanya di satu tempat saja, tapi di beberapa tempat. Mencoreng wajah cantik lbunya.

Ada alasan kenapa waktu itu Feerel sangat kesal ketika mendengar suara tamparan di halaman belakang sekolah. Yang membuatnya berakhir jadi harus berurusan dengan Marsha dan mantannya.

Alasannya bukan karena ia semata-mata membenci seseorang laki-laki yang bersikap kasar dengan perempuan.

Itu karena setiap kali ia melihat ada seorang perempuan yang menerima luka dari laki-laki, ia selalu teringat wajah ibunya. Wanita yang selalu mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya.

"Kamu sendiri gimana sama sekolahnya? Masih Ollan aja temanmu? Ngga niat nyari perempuan yang bakal dikenalin ke bunda?" Ibunya menarik kursi di seberang Feerel dan duduk di sana.

Senyuman terlukis sempurna di bibirnya yang memar. Meski terlihat begitu tulus, Feerel melihatnya sebagai cara paling aman dan mudah untuk menutupi rasa sakit di hatinya.

Sudut hati Feerel tercubit melihat kondisi ibunya, tapi ia memilih untuk ikut tersenyum.

Wanita itu selalu ada untuknya, menjadi satu-satunya orang yang selalu mendukungnya, melihatnya terluka jelas membuat Feerel ikut merasakan sakitnya, tapi karena ibunya selalu melarang setiap kali ia ingin bertindak, Feerel jadi tidak punya pilihan lain selain diam saja.

"Kan udah sering Feerel bilang kalau Feerel itu ngga mau pacaran, karena Feerel emang masih SMA, masih terlalu muda aja. Masih belum bisa tanggung jawab sama diri sendiri. Mau sekolah dulu biar bener, biar bisa bikin Bunda bangga," ujar Feerel.

Ibunya tertawa. "Kamu itu selalu bikin Bunda bangga sejak kecil. Pinter, ngga pernah bikin masalah, dan selalu nurut sama Bunda. Tapi karena masa-masa kayak gini ngga datang dua kali, bunda juga mau kamu nikmatin masa muda kamu. Sesekali dekat sama perempuan itu kan ngga masalah."

"Nanti nilai Feerel turun kalau udah mulai deket sama perempuan."

"Ya, harus pinter-pinter bagi waktu dong antara urusan sekolah sama urusan pribadi."

Feerel geleng-geleng kepala. "Udah ah, Bun. Kita langsung sarapan aja. Ngga usah ngomongin hal itu. Aku males."

"Dasar kamu!" sindir ibunya.

Feerel menyerahkan piring pada ibunya saat wanita itu mengulurkan tangan. Piring kosong miliknya segera terisi dengan nasi goreng.

Tepat sebelum Feerel memasukkan sendok berisi nasi goreng ke mulutnya, terdengar suara ketukan pintu yang membuatnya mendengus halus.

"Itu pasti Ollan. Coba kamu bukain pintu buat dia." Ibunya menyuruh.

Feerel menggelengkan kepala. Segera menyantap suapan pertamanya dengan santai. Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat.

Feerel hanya diam saja saat kursi di sebelahnya ditarik. Seseorang duduk di sana. Yang sama sekali tidak dipedulikan oleh Feerel.

Alasan kenapa Feerel tidak mau membukakan pintu untuk Ollan, karena Feerel sudah sangat hafal bahwa Ollan akan tetap nyelonong masuk begitu saja tanpa dibukakan pintu sekalipun.

"Halo, Tante." Ollan hanya menyapa ibu Feerel.

"Halo juga, Ollan. Kamu udah sarapan belum?"

Feerel menoleh saat mendengar suara kekehan ringan dari arah sampingnya.

"Sebenarnya sih tadi aku udah makan roti, tapi kalau Tante nawarin aku ngga enak buat nolaknya." Feerel lah yang menyahut dengan sinis.

Baik ibunya maupun Ollan sama-sama langsung menoleh ke arah Feerel mendengar sahutan itu.

Ollan bertanya, "Kok lo bisa tau gue mau nyaut itu?"

"Karena lo emang selalu bilang kaya gitu setiap kali ditawarin sama nyokap gue. Gimana ga hafal gue sama dialognya? Orang tiap pagi gue selalu dengar hal yang sama."

Ollan terbahak, sementara di seberang sana ibu Feerel hanya geleng-geleng kepala.

Wanita itu meminta piring yang sudah tersedia di depan Ollan, yang langsung diserahkan oleh Ollan. Piring itu diisi dengan nasi goreng dan kembali diserahkan lagi kepada Ollan.

"Sebenarnya nih, Tan, aku itu emang sengaja tiap pagi ngga makan banyak. Paling cuma selembar roti doang. Soalnya mamaku emang ngga pernah masak kalau pagi. Kadang malah aku ngga makan apa-apa sama sekali, terus buru-buru pergi ke sini deh supaya bisa sarapan di rumah tante aja."

Feerel kembali mendengus halus. Apalagi saat melihat Ollan mencondongkan tubuhnya ke depan seolah ingin berbisik kepada ibunya, meski jaraknya terlalu jauh untuk disebut berbisik.

"Udah gitu masakan ibu aku itu ngga seenak masakan, Tante. Dia ngga bisa masak." Terlalu jujur. Begitulah Ollan.

Feerel tidak menyahut dan memilih fokus pada sarapannya. Biasa saja saat Ollan bahkan meminta untuk nambah kepada ibunya. Ya, memang namanya tidak tahu malu.

Sudah datang setiap hari, tidak pernah absen, tidak ragu menjelek-jelekkan ibunya sendiri, tidak ragu buat nambah pula. Sepertinya tidak ada lagi orang seperti Ollan di muka bumi ini.

Kalau saja bisa ditukar tambah, mungkin Feerel sudah menukar Ollan dengan sepatu limited edition.

***

Selepas sarapan, Feerel mengeluarkan motornya dari garasi mobil. Membawanya ke halaman untuk memanaskannya.

"Rel, keknya bentar lagi ujan, dah." Ollan berbicara sambil memandangi langit.

Matahari pagi tidak terlihat. Tidak mendung, tapi tidak cerah juga. Jenis cuaca yang sangat enak digunakan untuk bersantai di rumah saja.

Feerel tidak menjawab. Ia membawa kembali motornya ke dalam garasi. Memilih memanaskannya di sana, dan menghampiri Ollan yang menunggu di teras depan.

"Kenapa lo masukin lagi? Kita mau ngesot ke sekolah?" tanya Ollan.

"Kata lo bakal ujan. Kita tunggu dulu di sini. Lagian juga masih pagi. Gaakan telat walaupun kita berangkat setengah jam lagi."

"Tapi kan itu cuma firasat gue. Kalau kita berangkat sekarang, mungkin gaakan kena macet. Lain ceritanya kalau malah ditunda-tunda."

"Ngga pa-pa. Soalnya firasat lo kadang suka bener, kayak kutukan."

"Gaada istilah yang lebih baik apa, Rel? Masa iya kutukan?" Ollan tersenyum miris.

"Engga," kata Feerel. "Soalnya bahkan temenan sama lo juga kayaknya sebuah kutukan."

"Oh, oke." Ollan memilih mengiyakan saja. Tidak ingin menghancurkan paginya. Untung saja nasi goreng buatan ibu Feerel juara, sehingga ia tidak bisa marah pada Feerel.

Keduanya duduk di kursi yang ada di teras depan. Sekitar lima menit setelah mereka duduk, gerimis turun, pelan-pelan berubah menjadi hujan yang cukup deras. Yang sepertinya tidak akan berhenti lima belas menit ke depan.

Feerel memandang Ollan yang sedang memainkan ponsel di sampingnya. Memasang senyum tipis di bibirnya.

"Llan, tadi gue sempet mikir mau tukar tambah lo sama sepatu limited edition, tapi kayaknya gajadi deh. Soalnya setelah dipikir-pikir, lo ternyata cukup berguna juga."

"Dasar temen kampret!" seru Ollan kemudian.




to be continued.


























Marshauwu // Fresha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang