bunga krisan

1.7K 283 25
                                    






Dua hari kemudian.

Marsha berjalan santai di lorong rumah sakit sambil bersenandung pelan. Di tangannya, terdapat sebuket bunga krisan dengan tiga warna yang berbeda. Ungu, putih, dan kuning. Marsha menciumnya, tersenyum mendapati aroma yang begitu harum.

Ini adalah pertama kalinya ia datang menjenguk Feerel sambil membawa bunga. Berharap bahwa hal itu akan memberikan kesan segar di ruangan Feerel dan mungkin akan membuat Feerel cepat sadar.

Ia membawa langkahnya semakin cepat karena tidak sabar untuk menemui Feerel. Tidak sabar untuk menceritakan kisahnya di sekolah hari ini. Tidak masalah walaupun Feerel masih terpejam.

Tepat di depan pintu ruangan di mana Feerel dirawat, Marsha menghentikan langkahnya untuk sejenak. Mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu.

Senyum di bibirnya pudar begitu saja setelah pintu terbuka. Marsha jatuh terduduk tepat di muka pintu. Terdiam untuk beberapa saat. Lalu, tangisannya pecah begitu saja tanpa bisa dicegah.

Di depan sana. Ada ibu Feerel yang sedang duduk di kursi yang biasa ia duduki juga. Jelas bukan itu yang membuat Marsha sangat terkejut sampai menjatuhkan diri di lantai. Melainkan apa yang ada di hadapan ibu Feerel. Di atas ranjang, Feerel sedang duduk.

Ya, kalian tidak salah baca. Cowok itu benar-benar sedang duduk di atas ranjang. Kepalanya bahkan menoleh ketika mendengar suara ambruk di depan pintu.

Tamara langsung berlari ke arah Marsha. Membantu Marsha bangun. Mengambil buket bunga yang dijatuhkan oleh Marsha. Dan yang bisa Marsha lakukan adalah berjalan dengan tubuh bergetar hebat menuju ke ranjang di mana Feerel sedang memperhatikan setiap langkah yang diambil olehnya.

Sesampainya di samping ranjang, Marsha mengulurkan tangannya karena masih tidak percaya. Tapi kemudian tangannya kembali ditarik karena ia merasa tidak boleh menyentuh Feerel. Cowok itu sudah sadar, benar-benar sadar, dan sekarang sedang menatapnya.

"Rel...," panggil Marsha lembut.

Dan ketika Feerel mengulas senyum tipis untuknya, tangis Marsha semakin pecah. Gadis itu meraung dengan pipi yang banjir air mata. Ibu Feerel hanya bisa menepuki bahunya berharap bahwa hal itu akan membuat Marsha lebih tenang, tapi jangankan tenang, ketidak percayaan Marsha malah membuat tangisnya semakin kencang saja.

"Berisik!" tegur Feerel seketus biasanya. Dan sukses membuat Marsha meraung semakin keras.

"Lo udah sadar?" tanya Marsha sesenggukan.

Feerel hanya berdeham.

"Marsha ini dari hari pertama kamu dirawat, ngga pernah absen jenguk kamu. Bahkan pas hari pertama, dia sampai bolos sekolah cuma buat nungguin kamu." Tamara ikut berbicara.

Feerel yang tahu bahwa Marsha tidak akan berhenti menangis, segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Gadis itu ternyata sangat cengeng. Dua kali melihatnya terluka, dua kali juga Marsha nangis dengan begitu hebatnya.

Tapi bukannya datang mendekat untuk menyambut pelukan yang ditawarkan oleh Feerel, Marsha malah menggeleng kuat-kuat. Takut bahwa pelukannya malah membuat Feerel kesakitan.

"Ngga pa-pa," kata Feerel. "Sini!"

Marsha maju masih dengan wajah enggan. Berhambur ke pelukan Feerel dengan sangat hati-hati. Dan cowok itu langsung menepuki kepalanya pelan.

Berhasil menghentikan tangisan Marsha, berhasil menenangkan Marsha dengan cara paling cepat. Meski air matanya belum berhenti mengalir, setidaknya raungan Marsha sudah berhenti.

"Kalau besok-besok lo bolos lagi, gue bakal putusin lo!" ancam Feerel tegas.

Marsha buru-buru menggeleng. Ia langsung melepas pelukan karena tidak ingin pelukannya membuat tubuh Feerel kesakitan. Dan meski sudah menjauhkan diri, tangan Feerel masih sanggup untuk mencapai wajahnya, menghapus pipinya yang basah.

"Gimana keadaan lo? Apanya yang sakit? Biar gue bisa jaga-jaga buat ngga nyentuh bagian yang sakit itu"

Feerel tersenyum lagi. Sungguh sangat tidak menyangka akan dihadapkan lagi pada pemandangan di mana Marsha menangis untuknya. Dan saat dilihat-lihat, ternyata lucu juga melihat Marsha yang memberikan pemandangan seperti itu dengan sukarela.

"Ngga pa-pa, kok. Udah baikan. Cuma masih aga nyeri di beberapa tempat."

Tamara sepertinya sadar bahwa dirinya harus memberikan waktu untuk Feerel dan Marsha. Ia berkata, "Kalau gitu bunda mau ke kantin dulu buat beli minuman." Yang dibalas anggukan kepala oleh Feerel.

Wanita itu langsung pergi dari sana setelah meletakkan buket bunga bawaan Marsha di atas nakas. Meninggalkan Marsha dan Feerel yang hanya saling tatap satu sama lain untuk beberapa saat.

Marsha benar-benar tidak bisa mendefinisikan perasaannya saat ini. Rasanya tidak cukup puas jika hanya dikatakan sebatas kebahagiaan saja. Lebih dari itu.

Tiga hari dibuat menangis dan cemas melihat keadaan Feerel, sungguh seperti keajaiban melihat Feerel yang sudah kembali sadar dan menatapnya. Hari-hari kosong yang sempat dilewatinya kemarin dan sebelumnya kini seolah-olah akan terisi penuh dengan warna-warna paling menakjubkan yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.

"Jadi cewe kok bodoh banget? Padahal selama ini gue udah terang-terangan nolak lo, omongan gue juga kadang pedas banget, dan gue juga emang nyebelin. Tapi lo masih ada di samping gue. Berulang kali nyokap gue muji-muji lo yang ngeyel gamau pulang setiap jenguk gue. Kenapa? Kenapa keliatan sekhawatir itu sama gue?"

Bukannya menjawab, Marsha malah menangis lagi. Sesenggukan lagi di depan Feerel. Dan Feerel harus mengulurkan tangannya lagi untuk mengusap basah di pipi Marsha, meskipun itu harus menyebabkan hampir seluruh tubuhnya terasa linu karena gerakannya.

"Sesayang itu sama gue?" tanya Feerel.

Marsha mengangguk beberapa kali. Feerel tersenyum. Tidak bisa berkata-kata lagi.

Kepalanya sebenarnya masih pening, rasa sakit di tubuhnya pun belum hilang, tapi melihat Marsha di depan matanya seolah hampir menghapus sebagian rasa sakit yang tengah dideritanya.

Dan, ya, sepertinya ia juga sudah jatuh cinta dengan gadis keras kepala itu.

"Jadi kapan lo sadarnya?" tanya Marsha.

"Semalem. Nyokap bilang ngga lama setelah lo pamit pulang. Tadinya sih dia mau nyusulin lo, tapi kalau sampai dia ngelakuin hal itu, dia tau lo malah ngga akan pulang dan hari ini pasti bakal bolos sekolah,"

Marsha cemberut. Ibu Feerel tidak salah, tapi ia juga kesal karena tidak ada di samping Feerel saat Feerel sadar.

"Lain kali jangan kaya gini lagi, ya, Rel. Gue khawatir, Ollan khawatir, apalagi nyokap lo. Bahkan temen-temen sekelas lo juga sama khawatirnya."

Feerel hanya berdeham.

Marsha ingat. Kemarin, saat perwakilan kelas Feerel dan wali kelas Feerel datang untuk menjenguk Feerel, mereka semua menangis melihat keadaan Feerel. Mereka benar-benar menyayangi Feerel sudah seperti layaknya saudara sendiri untuk mereka. Dan Marsha yakin, mereka juga pasti sangat senang ketika mendengar kabar bahwa Feerel sudah sadar.

"Mau peluk lagi boleh, ngga?" tanya Marsha takut-takut.

Sebenarnya Feerel tidak bisa. Tadi saja, ketika ia memeluk Marsha, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Tapi karena Marsha terlihat sangat berharap sekali, ia akhirnya kembali merentangkan tangan. Marsha langsung datang dan memeluknya sama hati-hatinya seperti tadi agar tidak menyentuh selang infus yang masih ada di tangan Feerel.

"Gue sayang banget sama lo," kata Marsha.

Feerel tersenyum. Tidak menjawab, tapi satu tangannya bergerak untuk mengusap kepala Marsha lembut. Begitu pelukan terlepas, Marsha bahkan mencium pipinya lembut. Berkata sekali lagi bahwa gadis itu sangat menyayanginya.



to be continued.
























Marshauwu // Fresha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang