PROLOG

104 8 0
                                    

"Bolehkah sekali ini aku mengeluh? Meskipun aku tahu masih banyak orang yang lebih buruk di bawahku?"

~*~*~*~*~

Seorang gadis dengan pakaian lusuhnya tengah berlari di tengah hujan sambil memeluk sebungkus kresek hitam di tubuhnya. Sesekali dia berhenti di depan toko untuk berteduh dari Hujaman air langit yang jatuh ke bumi.

Tak menghiraukan badannya yang menggigil, bibirnya yang mulai membiru, bahkan kakinya yang lecet karena sendal jepit yang ia gunakan untuk berlari menerobos hujan.

Gadis itu mengulum bibirnya kedalam mulut. Sambil meniup tangannya yang pucat, gadis itu berlari lagi menuju sebuah rumah yang berada di ujung jalan ini.

Dia membuka pintu kayu yang sudah pudar catnya dan mulai ditumbuhi jamur-jamur kayu. Suara deritan pintu terdengar lalu beberapa menit setelahnya suara bantingan barang yang pecah mengisi kekosongan.

"Lama!!" Bentak seorang laki-laki yang tengah menatap gadis itu dengan tatapan marah.

"Maaf, Selliza nggak sengaja" ucap gadis bernama Selliza itu sambil mengusap keningnya yang berdarah karena dilempar gelas oleh pria tadi yang dia sebut ayah.

"Kerja nggak pernah becus, sia-sia aja saya rawat kamu. Nggak anaknya nggak ibunya, semuanya bikin susah!!" Bentak pria itu lagi ada sambil meraih barang yang dibawa oleh gadis tersebut.

Dua botol alkohol ia keluarkan dari kresek, membuka tutupnya lalu meneguknya cepat. Selliza segera menyingkir menuju kamar lalu menguncinya. Ayahnya itu akan mengamuk panjang setelah mabuk dan dirinya sudah tidak kuat lagi menjadi samsak pribadi untuk menahan ayahnya saat ini.

Gadis itu membuka laci, mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk membersihkan luka di keningnya. Dia tak menemukan apapun selain obat nyamuk bakar, obat demam yang kadaluarsa, dan beberapa bungkus kapur barus yang isinya mulai mengecil. Gadis itu mengesah, lalu mengambil gunting dan memotong sebagian lengan bajunya sebagai kompres.

Setelah bersih, tanpa mengganti bajunya yang basah gadis itu merebahkan tubuhnya di karpet tipis tanpa selimut dan bantal. Dia memeluk dirinya sendiri sambil menatap langit-langit. Sampai kapan dia harus hidup seperti ini?

Brak! Brak! Brak!

"Bukaaaaaa!!!" Teriak ayahnya membuat Selliza segera bangkit lalu bersembunyi disamping lemari. Gadis itu menggenggam kunci kamar yang di tempatnya erat-erat karena takut. Sementara diluar sana ayahnya masih terus menggedor pintu dengan keras.

"Ck, Sialan!!!"

"Hidup makin susah, malah nambahin beban, SIALAN!!!" Selliza menutup mulutnya agar isakannya tidak sampai didengar oleh ayahnya diluar.

Suara gedoran masih terdengar beberapa kali sebelum akhirnya diam setelah lima belas menit Selliza menangis. Gadis itu merebahkan tubuhnya lagi diatas karpet.

Tubuhnya menggigil, dirinya kedinginan, kepalanya berdenyut, hatinya tidak tenang karena takut ayahnya kembali mendobrak, dan dirinya kini mulai merasakan suhu tubuhnya tidak normal. Gawat!!! Jika sakit besok, Selliza pasti tidak bisa membelikan ayahnya alkohol lagi.

Kenapa hidupnya seperti ini?

Sejak kecil, Selliza selalu ingin tahu rasanya disayang orang tua. Ibunya minggat dengan karyawan kantor di tempatnya bekerja saat Selliza berumur tujuh tahun. Menginjak usia remaja ayahnya punya hutang judi sehingga terpaksa menjual seluruh harta dirumah.

Kini ayahnya menjadi pecandu minuman keras juga narkoba. Sering kali saat pulang sekolah, Selliza selalu menemukan bungkus daun ganja dan sabu-sabu dibawah kolong laci saat menyapu rumah. Dia tidak bisa melaporkan ayahnya kepolisi karena dia hanya punya ayahnya.

Gadis 18 tahun sepertinya belum memungkinkan untuk bekerja kecuali kalau menjadi penjaja makanan atau pelayan restoran, jadi dia masih butuh ayahnya meskipun sering disiksa.

Entah jam berapa Selliza tidur semalam, gadis itu bangun kesiangan. Dia segera bersiap dengan seragam sekolahnya yang merupakan bekas kakak kelas yang merupakan tetangganya.

Seragam putihnya sudah menguning, tak sebersih milik teman-temannya. Rok hitamnya juga memudar dan sepatu hitam yang mulai rusak. Kepalanya berdenyut, tubuhnya lemas, dan kakinya bergetar bahkan hanya digunakan untuk berdiri.

'Itu bukannya anaknya si Eros?'

'Kasian banget anaknya, tiap hari disuruh beli alkohol terus sama bapaknya'

'Lagian jadi orang tua masa nggak bisa ngerawat anak sendiri? Terus ngapain punya anak?'

' Ibunya kemana?'

'Udah lama minggat sama selingkuhan kantornya'

'Kasian banget'

Selliza hanya bisa meremat tas ranselnya setiap kali kata-kata itu terdengar. Semua orang mengasihaninya tapi tak ada satupun dari mereka yang mau membantunya.

Para tetangganya hanya kadang datang untuk membagi makanan sisa saat ayahnya tidak dirumah, atau memberikan baju-baju anak mereka yang sudah tak muat, beberapa juga berbaik hati memberinya buku tulis bekas. Semua itu mereka lakukan hanya saat Ayahnya, Eros, tidak ada dirumah.

Ayahnya yang sering mabuk dan mengamuk, sudah dicap buruk oleh masyarakat. Beberapa dari mereka bahakan berencana untuk memanggil Kepala Desa agar mau mengusirnya dari sana. Hanya saja memikiran kondisi Selliza saat ini, beberapa kali mereka menunda untuk melakukannya meskipun dengan berat hati.

Sampai kapan dia harus hidup dengan sedekah dari orang-orang?

Sampai kapan dia harus hidup dengan dikasihani oleh orang-orang?

Kapan ayahnya akan datang sambil menyambutnya dengan pelukan dan senyuman? Kapan ibunya kembali sambil mengatakan kalau dia menyesal dan menyayangi Selliza seperti anak-anak lainnya? Kapan keluarganya akan menyayangi dan melindunginya?

Selliza selalu berharap kalau dia hidup ditengah-tengah keluarga yang mencintainya meskipun mereka bukan konglomerat, bukan juga orang berada, tapi mereka menyayangi Selliza tanpa memandang bulu dan nilai. Selliza selalu ingin hidup seperti itu.

Langkah Selliza makin memberat. Efek hujan semalam ditambah tidur dalam keadaan dingin membuat tubuhnya tidak kuat lagi melakukan perjalanan menuju sekolah. Selliza mencari toko terdekat atau tempat apapun yang bisa dijadikan untuk beristirahat.

Gadis itu lalu tidur dengan posisi duduk didepan sebuah toko yang sepertinya sudah lama tutup. Sayup-sayup Selliza berharap saat seperti ini ayahnya akan datang lalu memeluknya dan menggendongnya pulang. Atau tiba-tiba ibunya datang sambil berteriak minta tolong.

Itu semua hanya akan menjadi angan-angan, kan?

I'm Become a Daughter of Possesive FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang