Haloo
Vote dan komen, jangan lupa.
Selamat membaca.
***
"Hari ini Eliza mulai sekolah di sekolah kamu, Van. Tolong anterin dia, ya," suruh Rumi dengan lembut menatap anak tirinya.
Sekarang Edvan beserta keluarga barunya tengah berada di meja makan. Sebenarnya Edvan tidak mau makan di sini, apalagi sampai menginap. Namun apa boleh buat, Eliza, adikt tirinya memaksanya untuk menginap di sini. Bahkan katanya kalau Edvan tidak mau menginap, Eliza akan mogok makan selama satu minggu.
Terpaksa Edvan harus menginap walaupun tak minat. Dari pada anak orang mati, nanti dia juga yang repot. Repot menguruskan gentayangan Eliza yang terus menghantuinya.
"Iya." jawab Edvan ketus. Matanya tak melirik sedikitpun ke arah Rumi, ia sibuk menyuapkan nasi ke dalam mulut.
"Kak Edvan, nanti tolongin Eliza nyari ruang guru, ya, biar bisa nanya kelas dimana, " seru Eliza dengan senang. Ia tidak sabar bersekolah di SMA Tandiska. Satu sekolah dengan Edvan. Itu adalah impiannya sejak dulu.
Edvan hanya berdeham pelan saja. Setelahnya ia menenggak air sampai tandas tak tersisa.
"Kalo bisa, kamu anterin ke kelasnya Eliza juga, ya, Van. Biar dia gak salah kelas nanti," pinta Rumi dengan lembut. Ia tersenyum manis saat Edvan menatapnya, ya walaupun Edvan melemparkan tatapan yang tajam.
Rumi paham, kenapa Edvan seperti itu. Edvan belum bisa menerima takdir bahwa Papanya menikah lagi. Sebisa mungkin hari-hari kemarin Edvan mencoba untuk membatalkan pernikahan dirinya.
"Iya," balas Edvan tidak minat.
"Yang sopan bicara sama mami kamu, Edvan!" tegur Farel penuh tekanan. Ia tidak suka anak itu berbicara seperti itu dengan istrinya.
"Dia bukan Mami Edvan." Setelah mengatakan itu, Edvan langsung pergi dari meja makan tanpa menoleh ke belakang. Ia pergi menuju teras depan. Niatnya Edvan ingin segera pergi ke sekolah, namun tertahankan akibat Eliza yang pergi dengannya.
"Sialan, tuh anak! Gak tau diri! " geram Farel. Tangannya terkepal dengan kuat. Bahkan sendok yang di genggamnya nyaris patah saking kuatnya kepalan tangan itu. Urat-urat di tangannya bahkan menonjol.
"Udah, Mas. Edvan belum terbiasa dia, makanya gitu. Nanti pelan-pelan pasti dia nerima kok, kamu tenang aja," Rumi menenangkan Farel dengan lembut. Dia terus memberikan usapan lembut di lengan Farel, mencoba meredakan emosi suaminya.
"Kalo gitu Eliza pergi ke sekolah dulu ya. Takut Kak Edvan nunggu lama nanti, "
"Iya, Nak."
Eliza bangkit dari duduknya. Dia menenteng tasnya di pundak, lalu beranjak menuju kursi Rumi. Eliza mencium pipi kanan dan kiri Rumi secara bergantian.
"Papa gak di cium, nih?" tanya Farel menggoda. Eliza menghampiri Farel, kemudian mencium pipi keduanya. Membuat Farel gemas, dan mengacak rambut Eliza sehingga berantakan.
"Ih, papa! Rambut Eliza rusak nih! " rajuk Eliza dengan tangan yang bersidekap dada. Bibirnya mengerucut, menandakan bahwa ia kesal sekarang. Sudah capek di sisir, di stylish serapi mungkin, tapi papanya malah merusaknya. Kan jadinya kesel!
"Iya-iya, Papa minta maaf. Ini Papa rapiin lagi rambutnya, " Farel segera merapikan rambut putrinya. Memiliki seorang putri sangat membuatnya bahagia teramat dalam. Itu adalah keinginannya dulu sejak menikah dengan Shela, yang baru bisa di wujudkan sekarang.
"Ga usah cemberut lagi dong," Farel menyentil hidung Eliza. Menggoda putrinya adalah kesenangan bagi Farel yang sudah di impikannya sedari dulu. Dan sekarang ia bisa melakukan itu semenjak menikah dengan Rumi, istri barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERAPHIC
Dla nastolatkówEdvances Leygander dan Krayna Auderelia adalah dua orang yang tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan, bertemu untuk menciptakan suatu jalan menuju kebahagiaan. Tentu itu tak mudah. Mereka harus menerima sebuah kenyataan dan rintangan sehin...