🌻 BAB 16

51 21 3
                                    

🥀
Bukan seberapa besar rumahnya, tapi seberapa bahagia di dalamnya.
~

Ku tatap sendu bangunan sederhana di hadapanku. Dulu, bangunan ini adalah tempat pulang ternyaman untuk kutinggali.  Tempat yang paling kurindukan untuk pulang setelah melakukan semua aktivitasku. Tapi, sekarang rumah ini bukan lagi tempat ternyaman untuk pulang.

Aku rindu rumah ini terisi oleh ayah dan ibu yang saling mencintai dan menyayangiku. Namun, kini hanya aku yang tertinggal karena mereka bukan lagi menjadi tempat tinggal, tapi hanya kenangan yang tertinggal.

Ku langkahkan kakiku pelan menuju pintu rumahku. Ku genggam erat handle pintu dengan tangan yang sedikit bergetar, sembari memainkan nafasku.

Ku lirik setiap sudut dalam rumah yang begitu banyak menyimpan kenangan. Dengan langkah gontai, aku masuk ke dalam kamar yang menjadi tempat favoritku.

Ku rebahkan tubuh lelahku di atas tempat tidur, lalu ku tatap langit-langit kamarku. Tatapan kosong dengan hati yang semakin berat dari detik ke detik. Tidak ada yang bisa ku lakukan, selain menangis dan meratapi hidup dengan kesendirian. Malam ini menjadi malam yang terberat untukku. Memulai hidup baru dengan kesendirian. Tanpa bahu untuk bersandar dan tanpa telinga untuk hanya sekedar mendengarkan keluh kesahku.

🏴‍☠️

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum... Leo. Bukak dong! Akang kasep bawa makanan nih buat eneng yang geulis," teriak Juno dari luar pintu rumahku.

Aku menggeliat dari tidurku. Mataku mengerjap-ngerjap pelan. Menyesuaikan dengan cahaya yang sedikit menerobos lewat jendela kamarku.

Juno kembali mengetuk pintu rumahku. "Leo, mane teh masih hidup kan? Buka atuh Leo, jangan bikin aing teh khawatir!" teriak Juno lebih kencang lagi.

Aku melangkahkan kakiku lemas, keluar dari kamar untuk membukakan pintu.

Ceklek...

Juno terlonjak kaget saat pintu terbuka. "Ya Allah, Leo! Mane teh udah kayak mayat hidup," ucapnya sambil bergidik ngeri melihat wajahku yang pucat dan sembab.

Aku berdecak pelan. "Ngapain? Gue nggak mau ke bengkel dulu hari ini," ucapku sambil melangkah menuju sofa ruang tamu.

Juno menyimpan rantang makanan yang sedari tadi ia pegang ke atas meja di depanku. "Soto ayam dari ibu," ucap Juno.

"Gue nggak laper!" ucapku ketus sambil menyandarkan tubuhku ke sofa.

"Ntar mati kalo nggak makan!" balas Juno.

"Biarin, emang mau mati nyusul ibu sama ayah!"

"Lah, emang mane teh yakin kalo mati pasti masuk surga?!" ucap Juno sambil membuka rantang yang sedari tadi tidak ku sentuh.

Juno mengipas-ngipaskan tangannya di wadah soto,  membuat aromanya semakin menyeruak indra penciumanku.

"Eummm... Wangi euy soto buatan ibu," ucap Juno seraya menghirup aroma asap yang keluar dari soto.

Tok... Tok... Tok...

Atensiku dan Juno teralihkan ketika ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku.

"Eh, ada pak bos kasep. Masuk, masuk pak bos!" ajak Juno.

"Leo, kamu sehat?" tanya Zeno khawatir, sambil mendudukkan bokongnya di sofa sebelahku. Aku hanya membalas dengan dehaman.

"Ini teh si Leo nggak mau makan pak bos. Nih makanannya di anggurin aja, nggak di sentu kayak jablay," ucap Juno dengan nada kesal di buat-buat.

Zeno mengangkat tangannya, menyentuh keningku dengan punggung tangannya. Namun, aku menepisnya.

"Gue baik-baik aja, nggak usah khawatirin gue!" sinisku.

"Tapi badan kamu kelihatan lemes banget gitu, makan dikit aja ya, aku suapin," ucap Zeno sambil meraih soto yang tadi Juno bawa.

Aku masih menutup mulutku, enggan membukanya. Tapi, Zeno terus saja memaksaku yang berakhir aku yang mengalah dan membuka mulutku untuk menerima suapan dari Zeno. Sudut bibir Zeno terangkat, menampakkan senyuman dengan lesung pipi yang menambah ketampanan di parasnya.

Setelah menghabiskan makananku secara ogah-ogahan, aku menuju bilik kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Dua puluh menit berlalu setelah aku membersihkan tubuhku. Kini penampilanku sudah terlihat lebih segar dan tidak seperti mayat hidup lagi.

Juno dan Zeno melirik ke arahku yang melangkah menuju sofa tempat mereka duduk.

"Nah gini kan cakep atuh," ucap Juno. Aku hanya memutar bola mataku dengan malas.

"Mau ke kafe?" tanya Zeno seraya berdiri dari duduknya.

"Iya, tangan udah gatel lama nggak nyentuh piano," jawabku sambil mengikat rambutku membentuk kuncir kuda.

" Ya udah, ayo bareng aja. Aku lagi bawa mobil hari ini," ucap Zeno.

"Hm, ya udah. Lagi males juga motoran," jawabku.

"Jun, lo kalo mau ke bengkel buka aja. Gue lagi males, lagian udah siang juga," ucapku pada Juno yang sudah di ambang pintu.

Juno menggelengkan kepalanya. "Aing teh mau ke rumah ayang, hari ini bengkel close dulu," jawab Juno dengan menampilkan cengiran menggodanya.

"Ya udah, gue pergi dulu," pamitku.

🏴‍☠️

Audi hitam yang kami tumpangi berhenti tepat saat lampu merah. Sebuah lagu dari Olivia Rodrigo berjudul Happier mengalun indah, mengisi kekosongan antara aku dan Zeno yang sibuk dengan lamunanku serta Zeno yang sedang fokus menatap lurus kedepan. Sampai satu pertanyaan yang Zeno lontarkan, berhasil membuyarkan lamunanku.

"Kamu mau ikut ke Lombok?" ajak Zeno tiba-tiba.

"Ha?" beo ku dengan wajah cengo.

"Lusa aku ada meeting di Lombok, sekalian kalo kamu mau ikut," jelasnya.

"Ngapain? Nungguin kamu meeting?" tanyaku malas.

"Ya enggaklah. Aku ajak kamu buat refreshing!" balasnya.

Aku kembali terdiam, memikirkan ajakan Zeno. Memang benar sih di saat kondisiku seperti ini, aku membutuhkan refreshing. Terlalu lelah untuk menjalani hidup yang porak-poranda ini.

"Berapa hari?" tanyaku.

"Aku sih meetingnya cuma dua hari. Kalo kamu mau seminggu di Lombok nggak apa-apa, aku temenin," jawab Zeno sambil mulai menyetir kembali karena lampu sudah berubah warna hijau.

"Berdua doang?"

Zeno menganggukkan kepalanya. "Iya, atau kamu mau ajak Juno?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

"Hm, nggak deh. Anaknya pecicilan, nggak bisa diem. Ntar ilang lagi. Kita juga yang repot." Zeno hanya memulas senyuman di wajahnya.

"Yakin nih cuma berdua?" tanyaku memastikan. Takut sih enggak juga ya, lagian aku bisa bela diri untuk melindungi diriku. Cuma, agak khawatir aja.

Zeno melirikku. "Kenapa? Takut?!" Zeno balik bertanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku.

"Tenang, ntar aku booking kamar hotelnya satu buat aku, satu buat kamu," lanjutnya.

🏴‍☠️
.
.
Follow Instagram & Tiktok @eka.mayri

REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang