🌻 BAB 2

158 36 0
                                    

“Tidak semua orang bisa memaafkan suatu kesalahan. Terkadang, jika sudah memaafkan, tapi lukanya masih terasa”

🏴‍☠️



Lima tahun kemudian.

Denting piano mengalun indah mengiringi lagu Yang Terlupakan dari Iwan Fals, melengkapi suasana hangat seisi ruang Kafe D'Zero yang berada tepat di Pusat Kota Bandung. Setiap tuts piano yang di mainkan mampu membius setiap pengunjung yang berada di kafe ini.

Prokkk... Prokkk... Prokkk...

Gemuruh tepuk tangan dari semua pengunjung kafe yang telah menyaksikan penampilan piano terepik malam hari ini.

Dulu, menjadi seorang pianis terkenal adalah impianku. Tapi, sekarang impian itu sudah ku kubur dalam-dalam, tepatnya setelah kepergian ibu. Tidak ada lagi ambisi yang menggebu-gebu, tidak ada lagi cita-cita, semangatku seaakan ikut terkubur dan melebur membersamai kematian ibu. Memainkan setiap tuts piano seperti yang ku lakukan sekarang, hanyalah sekedar hobiku. Hobi yang mampu menenangkan jiwaku.

Selain ikut kerja di bengkel ayah, aku juga kerja part time sebagai seorang pianis di Kafe D'Zero. Ya, hitung-hitung mengobati rasa bersalah terhadap cita-cita yang terpaksa ku kubur. Semenjak kepergian ibu lima tahun yang lalu, kehidupan kami tampak suram. Kondisi keuangan kami pun semakin menurun. Ayah begitu frustasi atas kepergian ibu, bahkan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi merasakan kasih sayang ayah terhadapku. Tidak ada lagi pelukan hangat yang menenangkanku. Ayah berubah menjadi sosok yang temperamental, sering sekali ia memukuliku sampai membabi buta untuk kesalahan yang kecil. Tidak jarang banyak bercak lebam menghiasi tubuhku. Semua kemarahan dan perlakuan ayah hanya bisa ku terima. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain menahan semua rasa sakitnya. Karena, bagaimana pun ia tetaplah ayahku, sosok cinta pertama yang selalu melindungiku dan mendekapku, tepatnya sebelum kepergian ibu lima tahun lalu.


🏴‍☠️




Seorang laki-laki berbadan tegap dengan senyum yang terangkat pada sudut bibirnya berjalan menghampiriku. "You always amaze me, Leo," ucap Zeno. Zeno Radditta William, Pemilik Kafe D'Zero sekaligus kakak kelasku semasa SMA.

Setidaknya, aku merasa sedikit terbantu karena bisa bertemu lagi dengan Zeno di saat kondisi keuanganku yang sangat memprihatikan.

Bagian pojok kafe menjadi tempat favoritku untuk merehatkan tubuh setelah berkutik di depan piano. Cappucino ice dan red velvet cake yang menjadi menu favoritku sudah bertengger cantik di atas meja. Siapa lagi kalau bukan Zeno yang menyiapkan semua itu. Katanya sih, sebagai apresiasi atas pertunjukan pianoku yang membuat kafe miliknya selalu ramai pengunjung.

"Nih cappucino ice dan red velvet cake favorit lo," ucap Zeno sambil mempersilahkanku untuk menikmatinya.

"Thanks," balasku singkat sambil sedikit mengulas senyum di bibirku.

Sudut bibir Zeno pun terangkat menampilkan senyuman yang mampu membius setiap gadis yang melihatnya. Bagaimana tidak, selain postur tubuh yang bisa di bilang proporsional, hidung mancung dan rahang yang tegas di sertai lesung pipi yang menghiasi wajahnya seaakan menjadi pemikat para gadis yang menatapnya.

Sering kali para karyawan kafe membicarakan kedekatan kami, dan hal itu cukup membuatku risih. Sesekali aku mencoba untuk menjaga jarak dengan Zeno, namun laki-laki itu selalu saja menempeliku. Entahlah, padahal aku kerap kali bersikap cuek kepadanya.

Dulu, waktu SMA, aku cukup dikenal sebagai seorang gadis yang ceria dan tidak pelit menebarkan senyuman. Sangat bertolak belakang dengan sifatku yang sekarang, ditambah penampilanku yang kerap kali terkesan cuek. Dulu, saking sukanya dengan warna-warni hampir semua warna baju pernah ku beli. Tidak perduli dengan motif bajunya, asalkan warna baju itu menarik perhatianku pasti akan ku angkut. Tapi, semua warna itu sekarang sudah berubah, tidak ada lagi warna-warni cerah, hanya ada hitam dan kegelapan.

Setelah lulus SMA, Juno, sahabatku mengajakku ikut lahitan Muay Thai bersamanya agar aku bisa melindungi diri dari perlakuan buruk beberapa preman yang menjadi musuh ayah. Aku tidak tahu kenapa ayah sekarang bisa memiliki musuh. Setahu ku dulu jangankan memiliki musuh, nyamuk yang menempel di kulitnya saja ia biarkan sampai kenyang, saking tidak ingin menyakiti makhluk ciptaan Tuhan.
Aku sedih ketika ayah pulang kerumah dalam kondisi badan sempoyongan dan bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya. Dulu ayahku sama sekali tidak pernah menyentuh dunia kelam, berjudi, mabuk-mabukan, bahkan ada satu hari aku sempat mendengar ayah menjadi pelaku begal. Aku pikir, mungkin ini pelampiasan dari rasa frustasi ayah setelah kehilangan ibu.

Lima tahun lamanya aku terus mencari pelaku tabrak lari ibu. Namun hingga kini, belum ada titik terang mengenai kejadian itu. Hanya saja, aku masih mengingat mobil yang menabrak ibu kala itu.
Dulu, di hari kejadian itu,  ayah sudah sempat melaporkan ke pihak yang berwajib mengenai hal tersebut. Namun, sepertinya ada orang yang sengaja menutupi kasus itu, hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menemukan bukti-bukti yang lain untuk mengungkap pelakunya. Ditempat kejadian pun tidak ada orang lain yang melihat kejadian itu selain aku. Terlebih lagi disana tidak ada CCTV yang terpasang. Hal itulah yang menyulitkanku hingga saat ini.

"Gimana, udah ada perkembangan soal bukti-buktinya?" tanya Zeno sambil menyeruput secangkir Espresso.

Aku mengembuskan napas kasar lalu menggeleng. "Enggak," balasku singkat.

"Udah lima tahun loh, lo nggak coba mengikhlaskan aja? Pelakunya juga mungkin kabur dan nggak tinggal sini," ucap Zeno hati-hati.

Keningku berkerut sambil menatap tajam Zeno. "Mau lima tahun kek, sepuluh tahun atau berapa tahun pun bakal terus gue cari. Kalo hukum nggak bisa gue dapetin, maka nyawa harus di balas dengan nyawa," setelah mengucapkan kata-kata itu, aku langsung meraih kunci motorku dan melangkah meninggalkan Zeno yang masih pada posisinya.

Entah mengapa, rasanya dadaku begitu sesak ketika mendengarkan ucapan orang-orang yang seperti meremehkanku. Padahal aku hanya ingin keadilan untuk ibu, aku ingin mencari pelaku dan menghukumnya, seperti dunia yang sekarang menghukumku.

Dendam memang tidak pernah lepas dalam diriku. Sejak kematian ibu dan perlakuan buruk ayah terhadapku, dendam itu semakin tumbuh. Aku hanya manusia biasa yang jika di sakiti tidak bisa langsung memaafkan. Aku bukan Tuhan. Kebahagiaanku telah di renggut paksa, dan akan ku pastikan orang yang telah merebut kebahagiaanku akan hancur bersamaku.


🏴‍☠️

.
.

Follow Instagram @hai.ekaaaa & Tikok @eka.mayri

REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang