11. Bercandanya Semesta

2K 281 47
                                    

Dewasa adalah ketika kau biarkan lukamu tetap menganga, sementara nggak ada pilihan lain kecuali melanjutkan hidup.

꥟ ꥟ ꥟


Semesta masih seneng bercanda sama ketetapan-Nya buat gue. Di saat gue pikir hidup gue mulai cerah, sesuatu yang memilukan justru memporak-porandakannya sekali lagi.

Abdan meninggal.

Lebih dari kaget atau terguncang, gue hampir mati rasa. Kehilangan ini bukan yang pertama buat gue, bukan juga sesuatu yang bahkan sepersekian detik pernah gue bayangkan. Rasanya seperti dihukum Semesta, entah karena kesalahanku yang mana.

Abdan meninggal di Indo, lima hari setelah kedatangannya untuk mengurus usaha bersama teman-temannya. Kita bahkan bisa ketemu setiap hari, dan kondisinya selalu baik-baik saja.

Abdan, dia sehat. Bahkan dia yang selalu ngajarin gue pentingnya pola makan teratur, olahraga dan tidur cukup. Kepergiannya terlalu tiba-tiba, tanpa sakit sebelumnya. Mungkin benar, orang baik selalu dimudahkan dalam akhir hayatnya.

Saat aku kehilangan mama, aku bisa nangis sepuasnya, teriak, berontak dan membiarkan seluruh dunia tau betapa terlukanya aku saat itu. Beda saat kehilangan Abdan, aku hanya bisa menangisinya dalam diam, tanpa berurai air mata, tanpa seorang pun yang menenangkan, padahal kondisiku sama hancurnya berkeping-keping.

Jangankan ikut mengantar jenazahnya ke Belanda, mengucap kalimat perpisahan di depan peti jenazahnya pun enggak aku lakukan. Menurutku, itu adalah satu-satunya cara untuk menghormati dan menjaga nama baik Abdan sampai akhir hayatnya.

Paham kan maksudnya?

Nggak ada yang tahu hubungan kita berdua, nggak ada yang tahu betapa seringnya dia mengucap 'sayang Naki', nggak ada yang tahu gimana dia mengajarkanku arti menerima. Dia menuruti kemauanku sampai akhir.

Abdan yang selalu lembut ke bocah emosian ini, Abdan yang selalu menurutinya tanpa banyak tanya, Abdan yang selalu bersabar dengan keegoisanku. Abdan terlalu baik untukku sampai Semesta tak merelakan kita bersama terlalu lama.

Maafkan Nakimu ini ya, Abdan.

Luka kepergian mama bahkan masih mengaga. Kehilangan Abdan juga pukulan terhebat, dan harus kutanggung sendirian. Gue ada di titik sudah nggak peduli caranya hidup, untuk siapa gue bertahan, dan entah dengan siapa gue bangkit.

Nggak ada pilihan lain selain melanjutkan hidup, dengan luka yang sengaja kubiarkan tetap menganga. Nggak ada niat cari obatnya, apalagi mencari kesembuhan. Pura-pura baik-baik aja adalah keahlianku sekarang.

Akan aku ladeni sampai mana Semesta mau bercanda denganku.

꥟ ꥟ ꥟

Nyatanya gue masih hidup sampai titik ini.

Gue dapet undangan launching produk dari salah satu clothing brand ternama. Gue kenal baik owner-nya, makanya gue bela-belain dateng. Janjian bertiga sama temen, tapi tadi datengnya misah.

Acaranya tuh di Sky Walk bar. Konsep tempatnya semacam resto bar di rooftop hotel bintang lima, jadi emang asik buat nongkrong dengan view lampu ibu kota dari atas gedung. Beberapa kali gue pernah ke sini sebelumnya, diajak Kak Nan ─temen ngelayap gue semasa dulu emang cuma dia seorang.

Memang dasarnya gue nggak terlalu suka hiruk-pikuk dan berisik. Jadi, gue milih anteng di table paling jauh dari panggung. Sengaja dateng lebih awal, niat setor muka doang, entar melipir pulang kalau udah show midnight.

Gue mah konsisten, anteng ya anteng, beda sama dua temen gue yang ngider entah nyecer mangsa mana. Udah hampir jam 12 malem, niatnya gue mau cabut, sebelum disamperin sama dua orang bule cowok. Pure bule, bukan blasteran. Kelihatan dari perawakannya. Entah tamu undangan atau pengunjung bar.

HOME ︱BL︱EndWhere stories live. Discover now