14 | Regret

46 8 2
                                    

Suara dentingan alat makan menyelimuti seisi dapur. Biasanya, suasana sarapan cukup sepi, tetapi kehadiran Haruto berhasil mengembalikan suasana ramai seperti semula.

Meskipun sudah menyiapkan banyak makanan, Jennie sama sekali belum menyentuh makanannya. Ia hanya sibuk menaruh makanan itu di piring suami dan putra semata wayangnya.

"Ma, ga makan?" tanya Hanbin.

"Ngga begitu laper, nanti aku makan."

Haruto mengangguk, "Iya nih, masa piringku aja daritadi ditambahin makanan. Mama buka mulutnya coba~" Haruto menyodorkan sesuap roti, Ibunya pun menurutinya. Suara tawa juga mengiringi keluarga kecil itu.

"Harusnya Ruto jangan dikasih makanan banyak-banyak, kan mau olahraga."

Jennie berdecak, "Tapi harus keisi perutnya. Daripada pingsan di jalan?"

Selepas menyelesaikan sarapannya, pemuda itu segera berpamitan untuk berlari-lari kecil di sekitar komplek. Mengingat sekitar perumahannya sangat asri dan sejuk, cocok untuk dijadikan tempat berolahraga sehari-hari.

Haruto memutar musik melalui earphone untuk menemani kegiatannya. Sesekali ia melirik jam tangannya untuk melihat jarak yang sudah ia tempuh. Dari posisinya saat ini, samar-samar ia seperti melihat seseorang yang familiar. Lantas Haruto menurunkan kecepatan berlarinya.

"Wony!"

Gadis yang tidak jauh berada di depannya terhenti dan menengok ke belakang. Ia membulatkan matanya setelah mengetahui bahwa Haruto berada di belakangnya. Bahkan, sampai Haruto menghampirinya, Wonyoung masih tidak berbicara.

"Kenapa sih? Kayak liat setan aja!" Wonyoung pun menunjuknya tanpa sepatah katapun.

"Tiba-tiba?" ujar gadis berambut kuncir kuda.

"Apa? Kan rumah gue di sini." Haruto tertawa.

"Sejak kapan pulang?"

"Semalem. Justru gue yang tanya kapan lo pulang."

Wonyoung mengernyitkan dahi. Dari semula mereka tengah berlari, kini keduanya berjalan menyusuri taman kompleknya.

"Kok tau gue pergi?"

"Kamarnya sepi, mati semua lampunya."

"Kok ngga telepon kalo pulang?"

Haruto menaikkan alisnya, "Bisa jadi lo lagi sibuk atau ada meeting. Kan gue ngga tau."

Wonyoung mengatupkan mulutnya. Kenapa pula ia menanyakan hal itu?

"Gue nginep di Kak Somi. Tadi pagi banget pulang. Nanti sore ada syuting."

"Lagi free ya? Tumben masih sempet olahraga di sini dulu?"

Sahabat wanitanya mengangguk. "Masih banyak banget jadwal, tapi sebulan ini gue minta buat kasih jarak istirahat 1-2 hari. Lumayan biar ngga setres."

Haruto tersenyum bangga dan menepuk puncak kepalanya. "Ih keren, udah bisa atur diri sendiri."

"Biar bisa jadi motivasi lo. Pasti lo juga latihan terus kan? Pulang juga kalo disuruh." Wonyoung sedikit ketus.

"Dih? Enak aja, gue inisiatif sekarang. Tiap hari pekan pulang." Haruto tidak mau kalah.

"Kok ngga main? Sombong." Wonyoung mengalihkan wajahnya dan menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Main sama ayah-bunda?"

"Sama anaknya juga lah!"

"Anaknya jarang di rumah, males." Pemuda berambut hitam itu masih saja menjahilinya.

"Gue lebih sering di rumah daripada lo! Udah minggir!" Wonyoung sedikit mendorongnya dan berlari kembali. Akan tetapi Haruto tidak lagi mengikutinya. Atensinya beralih pada benda yang tidak sengaja terjatuh.

Tangan Haruto terulur untuk mengambilnya, tapi ia tertegun. Itu kalung yang mirip dengan miliknya. Bukannya mengembalikan ke pemilik asal, Haruto membuka liontin itu. Bingkai berbentuk hati juga berisikan gambar dua orang anak berseragam sekolah.

Tapi, dihiasi juga dengan gambar dirinya di sisi kanan.

Raut wajahnya berubah, ia seperti tengah menyusun puzzle di dalam pikirannya. Sampai panggilan Wonyoung membuatnya tersadar kembali.

"Kenapa To!?"

Haruto menggeleng dan menyimpan kalung itu dengan cepat.

****

"Kira-kira berapa lama pengumuman? Harusnya ngga selama itu kan?" tanya Wonyoung.

Haruto mengangguk, "Sebentar lagi. Gue tinggal siapin diri aja."

"Haruto kan selalu siap, iya kan?" Wonyoung menunduk dan tersenyum lebar kepadanya. Ia tersenyum tipis dan kembali melihat pemandangan jalan menuju rumahnya.

"Nanti kalo udah waktunya kompetisi kabarin ya. Gue ngga mau nonton via telepon kayak dulu," keluh Wonyoung.

Haruto mengangguk, "Asal lo ngga keluar negeri pasti bisa hadir."

Wonyoung terdiam saat menyadari ekspresi sahabatnya yang termenung sepanjang jalan. Apakah ia masih terganggu dengan pikiran kompetisinya itu?

"Ruto, kalo mereka pilih lo, harusnya lo bisa lebih percaya ke diri lo sendiri." Tangan kanannya memegang pundak Haruto.

"Lagipula kan--" Wonyoung menghentikan ucapannya.

"Kita bakal jalanin ini bareng-bareng kan?"

"Kalo lo menang, kita semua pasti bangga sama lo."

"Tapi kalau, kalah, gue masih di sini."

Tidak terasa, mereka sudah berada di depan pagar rumah Haruto. Pemuda itu menatap gadis di depannya. Ingin ia mengatakan sesuatu, tapi niatnya kembali diurungkan.

Wonyoung pun tersenyum lebar untuk memecahkan suasana canggung. Ia menepuk pundak Haruto. "Semoga berhasil ya.."

"Terima kasih," balasnya.

Haruto masih menyelipkan tangan kanan di saku celananya. Ia ikut tersenyum sebagai bentuk ucapan perpisahan mereka. Namun, lengannya kembali ditarik pelan oleh Wonyoung, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.

Tumit Wonyoung terangkat dan gadis itu meninggalkan sebuah kecupan singkat di pipinya.

Sontak Haruto menatapnya. Tubuhnya membeku karena tindakan mendadak itu.

"Semangat--"

"Watanabe Haruto.."

Keduanya masih terbuai dengan sorot mata yang saling terpancar. Tidak ada hal yang Haruto katakan kepadanya.

Hanya saja, kenapa?



































©Loove II | Seon_Kim

LOOVE II : Promise Me | Wonruto ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang