•32 The End.

333 24 10
                                    

Langit fajar mulai menyingsing, mengusir sisa-sisa gelap malam. Di depan gedung megah Bae Corporation, deretan kendaraan darurat berjejer, menambah aura yang menegangkan dan mendesak di sekitar tempat itu. Lampu biru dan merah dari mobil-mobil polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans berputar-putar, memantulkan cahaya di permukaan kaca gedung.

Petugas-petugas dengan seragam berbeda bergerak cepat dan terkoordinasi, mengisi udara pagi dengan suara perintah tegas dan percakapan singkat. Mata mereka memandang tajam, telinga mereka waspada, mendengarkan setiap arahan melalui alat komunikasi.

Asap tipis masih mengepul di sisi samping gedung,tempat bom meledak bersama dengan Seulgi dan Tzuyu, membawa aroma terbakar yang menyengat hidung. Beberapa petugas pemadam kebakaran tampak berkumpul, membicarakan langkah selanjutnya sembari memeriksa peralatan mereka. Di sisi lain, paramedis sibuk merawat korban yang berhasil dievakuasi, menenangkan mereka dan memastikan setiap luka terbalut rapi.

Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang petugas polisi senior tampak tengah mengintrogasi Bae Siwon dan Bae Irene.

Para saksi mata yang terbangun oleh suara ledakan itu berkumpul di belakang garis polisi, menyaksikan drama yang sedang berlangsung dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan cemas. Mereka berbisik-bisik, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding kokoh gedung Bae Corporation.

"Irene..." panggil Siwon setelah mereka berdua selesai di introgasi. Irene menatap lelah sang ayah, hari ini dirinya hanya ingin beristirahat dengan tenang, dirinya sudah tak kuat jika harus memikirkan apa yang baru saja terjadi. 

"Ayah akan bertanggung jawab... Ayah akan menyerahkan diri ayah ke polisi, jadi tolong maafkan ayah" pinta Siwon dengan tatapan yang mengharapkan ampunan dari sang anak sulung.

Irene mengangguk dengan acuh, "memang hanya itu yang ayah bisa lakukan sekarang" ucapnya cuek dan pergi meninggalkan sang ayah yang menyesali segalanya.

"Ayok kita pulang, kita harus mempersiapkan kepulangan Seulgi, kan?" ujar Irene tanpa melirik adik-adiknya sama sekali. Suaranya terdengar tenang, namun ada kekerasan tertentu dalam nada bicaranya yang membuat siapa pun yang mendengarnya tahu bahwa perasaannya sedang terluka.

Irene tidak menangis sama sekali, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa sangat emosional. Perasaan gagal kembali menghantamnya, seperti ombak besar yang tak pernah berhenti menerjang pantai. Lagi dan lagi, ia merasa tak mampu melindungi adik-adiknya, perasaan bersalah dan kecewa menghantui.

"Kak.." panggilan itu membuat Irene menoleh kearah Wendy yang masih menangis. Dengan lembut Irene memeluk sang adik mencoba memberikan ketenangan di antara ketegangan yang terjadi. 

Bagaimanapun mereka memang harus mempersiapkan pemakaman untuk kepulangan Seulgi. Walaupun tubuhnya sudah hancur berkeping-keping, bagi Irene, Seulgi masih tetap utuh menjadi raganya sendiri di sampingnya.

********************************

Satu tahun berlalu....

Di pagi yang mendung dan sejuk ini, Irene tengah sibuk memasak di dapur kediaman keluarga Bae. Aroma masakan yang lezat mulai memenuhi udara, menambah kehangatan di rumah yang besar namun kini terasa lebih kosong.

Irene, dengan apron terikat rapi di pinggangnya, tampak fokus mengaduk panci di atas kompor. Meski hatinya masih menyimpan banyak luka, ia menemukan kenyamanan dalam rutinitas sederhana ini.

Namun, ketenangan pagi itu segera dipecahkan oleh teriakannya yang menggelegar, "Wendy, Rose, Jennie! Bangun sebelum gue siram air panas!!!"

Wendy, dengan rambut yang masih acak-acakan, adalah yang pertama mencapai kamar mandi. "Iya, iya, kami bangun!" serunya setengah tertawa, setengah cemas. Di belakangnya, Rose dan Jennie mengikuti, berusaha mengumpulkan kesadaran mereka yang masih setengah tertidur.

Who's A BadgirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang