"Siap untuk tantangan berikutnya?"
"Sekali saja kita kalah, maka salah satu dari kita tamat."
"Siap gak siap kita harus bisa lewatin ini."
"Ini lebih gila daripada angka-angka di komputer itu!"
"Jangan sampai lengah, semuanya mengawasi kita!"
"Beker...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Rashid.
BRAKK!
BRAAAK!
CTAAAR!
Barang-barang yang berada di atas meja berhamburan. Piring-piring pecah menyisakan onggokan nasi yang berhamburan tidak karuan bercampur dengan pecahan kaca.
"Gak enak. Bikin mual!" Seseorang berseru seraya memuntahkan isi mulutnya di sembarang tempat.
Byuuur!
"Ini air apa sih? Jelek amat. Gue maunya itu sirup. Apa air putih doang, huek!" Air muntahan mengalir keluar dari dalam mulutnya, membasahi lantai semen.
"Miskin amat sih lo. Gitu aja gak punya duit." Ejeknya sambil tertawa meremehkan lalu melempar salah satu kain yang baru saja digunakan untuk membersihkan lantai bekas muntahan tadi.
Rashid menghela nafasnya. Ini sudah ke-10 kali Ibunya melakukan hal ini. Tadi malam, Ayahnya yang berbuat sekenanya dengan merobek-robekkan baju. Sekarang pula, Ibunya membuat kekacauan saat sarapan.
Kedua orang tua Rashid dinyatakan terkena skizofrenia semenjak kejadian yang menimpa mereka dua tahun lalu. Dan Rashid serta adik bungsunya bertanggung jawab untuk merawat keduanya dengan keadaan mereka yang tidaklah memungkinkan.
"Bu, ini duit terakhir kita lho. Tolong jangan dibuang-buang." Pinta Rashid seraya memungut nasi yang berhamburan di lantai.
Ibunya bersedih. "Makanya jangan miskin!" Hinanya. Sebenarnya sering kali Rashid merasa sakit hati mendengar hinaan dari Ayah dan Ibunya. Tapi, mau bagaimana lagi, Rashid tulang punggung keluarga ini, kalau bukan dia yang membantu Ayah dan Ibunya sampai sembuh, siapa lagi.
"Iya, Bu. Nanti Rashid coba cari duit, biar kita nggak miskin."
Ibu Rashid mencoba melempar sesuatu lagi, tapi kini dirinya lebih cepat dan menahannya. "Jangan, Bu. Bisa habis barang kita di rumah kalau ibu melemparnya terus."
Tampaknya perkataan Rashid tidak ditanggapi. Ibunya malah mengambil beberapa sendok dan melemparnya kesana kemari tanpa henti sambil tertawa, hingga sendok terakhir. Ibunya berubah muram. "Sedih amat hidup kamu, miskin, di tempat bau pula."
Rashid memejamkan matanya mencoba meredam amarah. "Ayo, Bu, kita masuk kamar." Rashid berkata pelan sambil mengelus bahu ibunya.
Ibunya menatap Rashid sejenak lalu menyeringai. "Lo ini, bau banget sih. Jauh sana!" Rashid mengepalkan tangan dia masih mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum di hadapan ibunya.
"Ayo, Bu. Makan sudah selesai, sekarang waktu istirahat." Kata Rashid pelan mencoba menenangkan.
Mungkin saat ini ibunya sudah lelah. Ibunya mengangguk dan membiarkan tubuhnya di tuntun Rashid menuju salah satu kamar yang ada di rumah tersebut. Di tidurkan ibunya di atas tikar. Sebelum benar-benar pergi, Rashid menatap ibunya sebentar dan mencium keningnya.