***
Bara mengumpulkan keluarganya setelah makan malam, beruntung papa nya tak lembur hari ini.
"Tumben ngajakin kumpul kenapa bang?" Tanya Ansel yang sebenarnya tak sabar untuk rebahan di kamarnya.
"Ada hal penting yang pengen abang bicarain, tapi bisa ngga kamu ambil gelang yang ada ukiran namamu itu." Sahut Bara membuat Ansel bergegas ke kamarnya untuk mengambil gelang yang lama tak di gunakannya.
"Emangnya kenapa sih bang?, bikin penasaran aja." Tanya Gilbert, kakak keduanya Ansel.
"Pa.." Bara menjeda pertanyaannya pada Alex si kepala keluarga, ketika Ansel menuruni tangga dan berjalan menuju ruang keluarga tempat mereka berkumpul.
"Nih bang, buat apaan?" Tanya Ansel sembari menyodorkan gelang yang di bawanya pada Bara.
Bara menerimanya, mengusap dengan lembut ukiran nama Ansel di gelang itu, tak terasa matanya berkaca-kaca menatap gelang yang sama persis seperti milik mantan pegawainya.
"Kenapa Bara?" Tanya Alex sembari menepuk pundak putra sulungnya.
"David masih hidup pa." Ujar Bara sembari menatap papanya dengan setitik air mata yang mengalir di pipinya.
***
David pulang dari cafe setelah berpamitan dengan pegawai cafe lainnya dan setelah menerima gaji hasil kerjanya selama sebulan, dengan perasaan takut David menjalankan motornya menuju rumah, ia telah menyiapkan mental untuk kembali berperang dengan Gabriel.
Pintu utama rumah David terbuka, ada gelas dengan kopi yang masih mengepul di meja teras dan motor milik Gabriel yang terparkir rapi di halaman, sudah jelas jika Gabriel di rumah membuat jantung David rasanya ingin pindah ke ginjal, ia bernafas manual untuk menghilangkan rasa gugup.
"Dahlah bodo amat njing mati ya mati lah." Ujar David sembari turun dari motornya dan berjalan memasuki rumah.
"Kok udah pulang? bukannya jam kerjanya sampai jam lima?" Tanya seseorang di belakang David membuatnya mematung di tempat, dengan gerakan kaku David menoleh kebelakang.
"A-anu itu apa?" David dengan kegagapannya kehilangan seluruh kata-kata yang pernah ia ucapkan, tenggorokannya tercekat bahkan susah untuk sekedar menelan ludah.
"Capek kan abis kerja? Duduk dulu sana, biar bunda buatin minum." Ujar Nesaa sembari menepuk pundak David yang masih mematung di tempatnya.
David tak tahan lagi, ia berlari memeluk erat bundanya dari belakang dengan air matanya yang telah mengalir di pipinya.
"Bundaa maafin David, bunda jangan marah, bukan bunda kalo ngga peluk-peluk David, David salah maafin." Ujar David dengan sesenggukan menahan tangisnya.
"Bunda ngga marah, bunda cuma kecewa karena _"
"Ngga boleh! Bunda ngga boleh kecewa, maaf David salah maaf." David langsung memotong ucapan bundanya membuat Gabriel yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamarnya merasa gemas, ia berjalan mendekati David dan menarik telinga David dengan kejam.
"Orang tua ngomong tuh dengerin dulu."
David mengusap telinganya yang memerah karena tarikan abangnya tanpa sepatah kata, sakit memang tapi ia tak berani protes mengingat abangnya sedang marah.
David kini terlihat seperti tikus kecil yang di kepung dua kucing kelaparan, sedangkan Aiden seperti kunang-kunang malam yang terbang menabrak tembok karena baru saja ia menabrak tembok dengan tubuhnya yang hanya terbalut handuk, bahkan rambutnya masih terdapat banyak busa shampo.