"Lo bukan abang yang gue kenal. Kalau ada yang mau lo bicarakan, pulang sebagai orang yang gue kenal."
Dengan dorongan kasar, Jeno membiarkan Mark sedikit terhuyung, kemudian ia menarik paksa tangan Beomgyu.
Setelah meletakkan uang di meja untuk makanan tadi, Jeno segera membawa Beomgyu pergi.
Emosi Jeno benar-benar meledak sore itu, ia nyaris sekali melepaskan tinju ke wajah Mark jika saja nenek pemilik kedai tidak keluar dengan rentetan omelnya.
Mark menundukkan kepala dan sejenak memejamkan mata. Ia baru kembali ke mobil setelah motor Jeno benar-benar hilang dari penglihatannya.
Beberapa kali Mark memukul stang mobil dan merutuki diri sendiri, "Sadar Mark! Lo ga boleh gegabah! Ini bukan saatnya buat Jeno marah!"
Sejak motor Jeno meninggalkan tempat kudapan tadi, Beomgyu belum bersuara lagi walau hanya sekali. Bahkan ia tidak protes kemana Jeno pergi membawanya.
Setelah hampir satu jam berkendara tanpa tau arah tujuan, di sinilah mereka berdiam menenangkan diri masing-masing.
Itu hanya lahan tak terawat di dekat sungai, yang berada tepat di bawah persimpangan kereta.
Hari sudah menggelap ditelan malam, namun dua bersaudara itu masih sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai abai akan presensi satu sama lain.
Si kakak lah yang lebih dulu mengembalikan akal sehatnya ketika melihat adiknya terlihat kacau.Beomgyu yang masih dengan setelan sekolahnya ditambah hoodie hitam itu sedang duduk pasrah bersandarkan pagar kawat.
Sekarang Jeno mengakui. Bahwa, Beomgyu yang terkadang sulit mengendalikan amarah itu memang sama persis dengan dirinya.Mendadak ia bersyukur karena tidak memukul Mark di hadapan sang adik, tadi. Akan jadi contoh seburuk apalagi dirinya jika itu benar-benar terjadi.
"Sudah tenang?" tanya Jeno ikut duduk jongkok di samping Beomgyu dengan bersandarkan pada pagar yang sama.
Yang ditanya kemudian melepas penyuara telinga yang ia sumpalkan demi mengalihkan pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH
FanfictionRindu? Iya. Kembali? Entah. Perasaan terkait ingatan pahit tentang kehilangan kala itu masih kuat terpatri dan meninggalkan gores luka untuk sang hati. Sambil bersyukur atas keberadaan yang masih dipunya, memimpikan rumah asri yang dulu, hanyalah fa...