21

2.1K 219 8
                                    

Typo🙏
HAPPY READING...!!!














"Tolong cucu saya Dok" ucap Ve pada dokter yang baru saja dia panggil. Chika masih berontak di ranjangnya dan Cio dengan kuat memegangi tubuh Chika.

"Kenapa ini pak?" Tanya dokter.

"Anak saya tiba-tiba histeris dok." Ucap Cio, dia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada dokter.
Dokter dengan cepat memeriksa Chika namun Chika terus berteriak dan berontak. Veranda yang melihat Cio kewalahan dia segera membantu untuk menenangkan Chika.

"PAH BALIKIN MAMA CHIKA PAH!!! CHIKA MAU MAMAAAAAA!!!" teriak Chika dalam dekapan Cio.

"Suuttsss tenang nak!"

"Pak, sepertinya saya harus suntikan obat penenang pada pasien." Ucap dokter pada Cio.

"Tidak ada cara lain dok?" Tanya Cio, tubuh Chika sudah sering menerima obat penenang. Cio khawatir akan berakibat buruk nantinya pada anak sekecil Chika.

"Ini satu-satunya cara Pak, kalau bapak tidak mengijinkan saya tidak akan memberikan obat tersebut." Cio berpikir sejenak dan melihat ke arah Veranda. Dengan tatapan sendunya Veranda mengangguk pelan. Mungkin dengan cara itu Chika bisa tenang, Veranda juga tidak tega melihat Chika yang seperti itu. Cio menghela nafasnya sesaat, ini dia lakukan untuk kebaikan Chika juga.

"Baiklah dok silahkan." Ucap Cio. Mereka sedikit kesulitan karena Chika yang terus menerus berontak. Cio memeluk Chika dari belakang, tubuh Chika dia dekap sekuat mungkin, agar memudahkan dokter untuk memberikan suntikan di lengannya. Sementara Veranda memegang kaki Chika yang terus menendang-nendang udara.
Tak lama obat itu pun berhasil masuk kedalam aliran darah Chika, yang membuat tubuh Chika terkulai lemas. Namun isakan di bibirnya masih terdengar. Begitu kehilangan kah dia pada sosok seorang ibu, bahkan sekarang sosok yang mirip dengannya kembali pergi dari hidupnya.
Cio segera menidurkan kembali Chika.

"Pak, sepertinya anak bapak harus di bawa ke psikiater agar trauma nya ini bisa di tangani. Bukan masalah fisik yang dia derita, mungkin beberapa hari yang lalu fisiknya melemah. Tapi sekarang sudah membaik dari segi kesehatan demamnya sudah turun, saya tidak bisa mengobati traumanya mungkin bapak bisa bawa ke yang lebih ahli untuk masalah ini." Jelas Dokter.

"Baik Dok, saya juga berpikir seperti itu. Jadi bagaimana anak saya sudah diperbolehkan pulang?" Tanya Cio.

"Sudah pak, dari kondisi kesehatannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan semuanya baik-baik saja."

"Syukurlah kalau begitu dok."

"Besok pasien sudah boleh pulang." Ucap dokter.

"Terimakasih dok." Ucap Cio.

"Kalau begitu saya permisi dulu."

"Sekali lagi terimakasih Dok." Ucap Veranda.

"Sama-sama Bu."
Dokter pun keluar dari ruangan tersebut.
Cio duduk di kursi samping ranjang Chika. Dia menatap sendu Chika yang kini sedang dalam pengaruh obat penenang. Veranda dengan telaten membersihkan wajah Chika yang basah karena terus menangis. Hatinya begitu sakit jika melihat Chika yang kembali seperti itu. Apa yang harus dilakukan dia pun tidak tahu. Jika harus menghubungi Shani apa semua masalahnya akan selesai atau malah semakin bertambah.

"Hiks hiks, mami gak bisa liat dia terus kaya gini Bang." Lirih Veranda. Tangannya tak henti mengusap puncak kepala Chika.

"Terus kita harus gimana mi?" Tanya Cio pada Ve.

"Cio gak tau." Lanjut Cio. Dia pun tidak sanggup jika harus melihat Chika terus menerus dalam kondisi seperti ini.

"Apa yang menjadi keputusan kamu sama Shani gimana?" Tanya Ve.

"Cio gak mau ngerepotin dia mi, oke dia pasti mau aja kalo disuruh ketemu sama Chika. Tapi  gimana sama orang tuanya mi, terutama Pak Keenan. Cio tau dia orang yang seperti apa, dan Cio gak mau hanya karena masalah kita sendiri jadi menimbulkan masalah untuk orang lain juga apalagi Shani."

"Terus gimana? Kalo nanti Chika bangun dan nanyain Shani lagi, apa yang mau kamu bilang sama dia?"Tanya Veranda.

"Nanti Cio pikirin lagi Mi, semoga Chika gak histeris." Ucap Cio.
Ibu dan anak itu terus memandangi gadis kecil yang terbaring dihadapan mereka. Gadis kecil dengan sejuta luka di dalam hatinya yang entah kapan luka itu akan sembuh jika obatnya saja tidak pernah bersamanya.

***

Didalam kamar Shani terus mondar mandir dengan ponsel ditangannya. Sejak tadi dia terus memikirkan kondisi Chika, dan janji yang dia berikan pada Chika yang sudah pasti tidak akan bisa dia tepati untuk sekarang ini. Dia ragu ingin menghubungi Veranda dan menanyakan bagaimana kondisi Chika, tetapi dia juga ingat ucapan Keenan padanya. Disisi lain dia juga tidak tenang jika belum tau keadaan Chika dan memastikan kalau Chika baik-baik saja. Shani memberanikan diri untuk menghubungi Veranda.
Baru saja dia akan menekan tombol panggilan...

"Kak." Ucap Imel di ambang pintu kamar Shani.
Shani mengurungkan niatnya itu.

"Iya mam."

"Ada Anrez." Singkat Imel.

(Kenapa disaat kaya gini dia harus dateng sih? Chika gimana ya, nanti aku coba hubungin Tante Ve lagi.) Batin Shani.

"Kakak gak mau nemuin dia mam." Ucap Shani.

"Sayang..." Imel mendekati Shani yang duduk di ujung kasur.
Shani menggelengkan kepalanya.

"Please mam, kali ini aja. Mama gak suka kan sama semua ini? Kenapa mama seolah ngedukung keputusan papa?" Tanya Shani.
Imel duduk disampingnya.

"Mama mohon, ikuti dulu kemauan papa ya. Mama gak mau sesuatu terjadi sama keluarga kita, apalagi kalo mama liat kamu berantem sama papa." Ucap Imel.

"Sampai kapan mam? Kakak udah muak sama semua ini. Mama kalo mau dukung papa silahkan. Mama juga kalo mau bikin aku tersiksa juga silahkan aku udah cape mam." Ucap Shani suaranya bergetar menahan semua rasa yang ada di dalam hatinya. Marah, kecewa juga khawatir akan Chika semuanya menjadi satu dalam sesaat.

"Gak gitu kak, mama cuman mau terbaik buat kamu."

"Dari sisi mana mam yang terbaik buat aku?" Tanya Shani.

"Untuk saat ini kamu cukup nurut sama perintah papa kamu. Mama juga gak mau kalo kamu ngejalanin hubungan sama orang yang gak kamu cintai kak."

"Seenggaknya mama bantu aku buat keluar dari masalah ini mam." Shani menatap dalam mata Imel. Seolah dia berharap besar pada mamanya itu.

"Apa? Apa yang Kakak harapkan dari mama. Mama gak bisa berbuat banyak kak, satu kata yang keluar dari mulut mama seribu kata mama dengar dari papa kamu. Lalu apa yang harus mama lakukan? Mama mohon, jalani dulu apa yang papa suruh ya." Ucap Imel ia genggam tangan Shani, berusaha menguatkan anak pertamanya itu.















Tipis aja dulu ya...
Maaf kalo alurnya pendek🙏 sependek jambulnya Upin 🤣
Vote nya pwisssss😣
Wovyou all😘
Makasih ❤️

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang