3

6.5K 634 21
                                    

Happy Reading!

"Kok bapak jadi nyalahin saya? Kan bapak yang sewa mobil dan tidak isi bensin."ucap Diandra. Pasalnya ia disalahkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.

"Ya mana saya tahu kalau mobil ini akan habis bensin."sahut Anton tak mau kalah.

"Di mana-mana ya, pak. Mobil itu pasti perlu isi bensin kecuali mobil listrik. Makanya jangan pelit. Saya yakin bapak sudah lihat kalau bensinnya mau habis tapi menolak keras untuk mengisinya."balas Diandra lalu keluar dari mobil. Sekarang mereka harus melakukan apa di tengah jalan yang sepi seperti ini.

Anton ikut keluar lalu menatap jalanan. Sedari tadi memang hanya mereka yang berkendara di jalan, mobil lain tidak ada yang lewat.

"Kita jalan saja ke depan, siapa tahu ada yang jual bensin."saran Anton membuat Diandra mendelik.

"Selain pelit, bapak ternyata juga gila. Mana ada orang jual bensin di tempat sepi. Kalaupun ada ya pasti jauh dari sini. Bapak mau jalan sampai pagi."omel Diandra lalu menendang mobil yang bos nya sewa.

Anton melotot lalu segera memeriksa bagian mobil yang ditendang oleh Diandra. Jangan sampai rusak dan dia harus ganti rugi.

"Bapak telpon siapa kek, minta bawa bensin ke sini."ucap Diandra lalu kembali masuk ke dalam mobil karena merasa dingin.

Anton juga masuk ke dalam mobil."Kamu saja yang telpon."

"Kok saya?"kesal Diandra.

"Nanti pulsa saya habis. Sudah cepat, kamu yang telpon. Jangan lama-lama, nanti pak Faruq nya keburu pergi."

"Kan bisa wa."

"Wa kan pakai kouta, sama saja bisa habis."Anton mengatakan itu dengan wajah seriusnya.

"Ya ampun."keluh Diandra lalu mengeluarkan ponselnya kemudian mencari nomer seseorang yang ia yakini bisa membantu.

"Iya. Tolong banget ya, Yud. Beli saja dua puluh liter kalau ada."

Eh?

Diandra langsung melotot saat ponselnya direbut.

"Lima liter saja. Jangan banyak-banyak."tegas Anton lalu mematikan telponnya.

"Bapak gila. Lima liter cukup buat ke mana?"omel Diandra tak habis pikir. Jangan sampai mereka kehabisan bensin lagi cuma gara-gara pak Anton. Tidak mau rugi.

"Cukup kita ke hotel HN lalu kembali ke hotel tempat resepsi. Setelah itu kita bisa numpang mobil yang disewa rombongan pengantin untuk ke bandara,"jelas Anton membuat Diandra melongo. Entah ia harus sedih atau senang mendengarnya."Lagipula mobil ini kita sewa, rugi kalau bensinnya penuh saat dikembalikan."

"Iya sih, tapi__"

"Tidak ada tapi dan gaji kamu bulan ini saya potong delapan puluh lima persen. Anggap saja sebagai kompensasi karena sudah membuat jet privadi saya terbang untuk urusan yang tidak penting."

Diandra langsung menggeleng. Tidak dipotong saja, gajinya tidak cukup untuk membeli tas keluaran terbaru. Ini malah dipotong delapan puluh lima persen, dengan uang sisa, membeli talinya saja tidak cukup.

"Tidak, pak. Saya menolak keras untuk itu. Lagipula bapak tidak akan miskin. Uang bapak itu banyak."ucap Diandra keras sambil menarik jas yang Anton kenakan.

"Banyak juga kalau dibuang-buang akan habis. Apa kamu tidak tahu kalau saya sedang berhemat."Anton langsung membuka dompetnya dan menunjukkan deretan kartu limited edision yang dia punya.

Diandra menelan ludah kasar. Kalau punya satu saja maka selama dua hari ia akan terus berada di mall.

"Ini saya simpan untuk calon istri dan anak di masa depan. Mereka harus hidup enak tanpa kekurangan apapun."Anton kembali menyimpan dompetnya saat melihat setetas air keluar dari mulut Diandra.

"Em__"Diandra langsung membersihkan bibirnya dengan tisu.

"Saya tidak menduga kalau bapak punya pemikiran seperti itu."ucap Diandra lembut lalu tersenyum manis. Pasalnya ia pikir yang menjadi istri pak Anton akan sangat menderita karena punya suami kaya tapi pelit. Tapi ternyata dugaannya salah.

Anton langsung menimpuk wajah sekretarisnya dengan setumpuk tisu hingga Diandra menjerit kesal.

"Bapak apaan sih?"jerit diandra marah membuat Anton mengusap dadanya.

"Saya pikir kamu kesurupan. Tiba-tiba bicara lembut dan senyum."Anton mengatakan itu dengan wajah polos membuat Diandra menghela napas kasar.

"Terserah bapak saja."

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pria yang Diandra telpon datang juga dengan mengendarai sepeda motor.

"Lima liter kan, kak?"

"Iya. Makasih ya, yud. Maaf ngerepotin malam-malam."ucap Diandra lalu menyenggol lengan pak Anton meminta uang.

"Ohh berapa?"tanya Anton sembari mengeluarkan dompetnya.

"Seliternya delapan belas ribu lima ratus, jadi kalau lima liter harganya sembilan puluh dua ribu lima ratus."

Anton mengangguk lalu mengambil uang seratus ribu rupiah dari dalam dompetnya.

"Kembaliannya tujuh ribu lima ratus ya."

Diandra langsung melotot.

"Pak Anton!"tegur Diandra kesal.

"Loh kan benar, ada kembaliannya. Lagipula itu juga dia sudah untung."

"Untung dari mana sih, pak? Yang ada rugi nyari bensin terus nganter ke sini. Yang ada itu harusnya bapak lebihin uangnya."Diandra benar-benar tak habis pikir.

"Loh kan dia yang jual bensin."

"Bukan, pak. Dia ini adiknya teman saya yang tinggal di Bali."Diandra mengatakan itu dengan rasa kesal yang sudah diubun-ubun.

"Tidak papa kok, kak. Aku ada kembaliannya."

Diandra langsung menggeleng lalu mengambil uang seratus ribu dari tangan pak Anton kemudian mengambil uang lima puluh ribu dari dompetnya."Ini, Yud. Makasih ya sudah bantuin kakak."

"Iya, kak. Tapi ini uangnya__"

"Nggak papa. Buat kamu jajan aja."ucap Diandra cepat membuat Yuda mengangguk lalu segera menuju motornya.

"Kalau tahu begitu kan, mending beli bensinnya ditambah."gumam Anton membuat Diandra melotot kesal.

"Pak Anton Darmawan, saya sumpahin bapak punya istri yang boros."teriak Diandra karena kelewat kesal.

"Kamu dong."tunjuk Anton santai.

"Ogah!"

Bersambung

Bos Pelit dan Sekretaris BorosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang