18

6K 772 57
                                    

Happy Reading!

"Pak Anton baik-baik saja. Hanya demam, setelah minum obat pasti akan sembuh."

Minu mengangguk lalu mengantar dokter kembali.

"Untuk biayanya akan saya transfer, dokter."ucap Minu ramah lalu segera berbalik saat dokter sudah pergi.

Minu langsung kembali ke kamar putranya lalu mendengus kesal."Mama rasa kamu sudah gila, Ton. Masa lihat Diandra jalan sama pria lain saja kamu demam. Bagaimana nanti kalau melihat Diandra bersanding dengan pria lain di pelaminan."

Anton hanya melirik sekilas lalu merapatkan selimut pada tubuhnya. Mamanya tidak mengerti. Itu bukan sekedar jalan biasa. Tapi pria itu sudah menyentuh bibir Diandra. Dan bisa saja juga sudah menciumnya.

"huffhh"membayangkan hal itu membuat tubuh Anton semakin gemetar.

Minu akhirnya menggeleng pelan lalu melangkah keluar kemudian menghubungi Diandra.

"Iya. Sakit parah, Di. Tante juga bingung. Antonnya tidur tapi nyebut nama kamu terus."

"...."

"Sudah telpon dokter dan diberi obat, hanya saja Antonnya belum makan jadi susah minumnya."

"...."

"Kalau bisa kamu sekarang ke sini ya, tante tunggu."

"...."

Minu tersenyum saat Diandra bilang akan segera datang.

"Baiklah. Kamu hati-hati di jalan."ucap Minu lalu menutup telponnya.

Memang harus ia yang turun tangan untuk menyatukan keduanya.

Tiga puluh menit kemudian, Diandra datang dengan setelan kerja. Ia datang terburu-buru karena cemas. Apalagi selama ini pak Anton jarang sekali sakit tapi hari ini katanya malah begitu parah.

Minu segera menyambut kedatangan Diandra sambil membawa nampan berisi bubur dan obat.

"Pak Anton nya di kamar kan, tan?"tanya Diandra dan meletakkan tas nya di sofa ruang tamu.

Minu mengangguk.

"Tante sebenarnya mau pergi karena ada acara. Kamu bisa kan bantu jaga Anton sebentar?"

Diandra diam lalu mengangguk.

Minu langsung tersenyum."Baguslah. Ini makanan untuk Anton, kamu bantu dia makan ya lalu minum obat."

Diandra kembali mengangguk lalu mengambil alih nampan dari tangan ibu dari bosnya itu.

"Ya sudah, Diandra langsung ke kamar pak Anton ya."

"Iya. Iya. Pergilah. Jika perlu sesuatu beritahu saja bibi di dapur."ucap Minu semangat membuat Diandra mengangguk.

Ceklek

"Kalau mau bahas Diandra lagi, mama sebaiknya jangan ke sini."ucap Anton tanpa melihat siapa yang membuka pintu.

Diandra hanya diam lalu melangkah masuk kemudian meletakkan nampan berisi makanan di atas meja.

"Kalau bapak mau, saya bisa bantu telpon Vanes dan minta ia ke sini."

Deg

Anton segera berbalik.

"Diandra?"

Diandra tersenyum."Nomer Vanes ada di ponsel bapak kan? Biar saya bantu hubungi."

"Tidak,"cegah Anton lalu segera memegang tangan Diandra. "Saya tidak ada hubungan apapun dengan Vanes."

"Lalu?"tanya Diandra.

Anton diam sesaat lalu berkata pelan."Saya hanya ingin kamu tahu."

"Perkataan bapak sama sekali tidak singkron dengan keadaan di lapangan. Untuk apa pergi bersama hampir setiap hari jika tidak ada hubungan apapun?"

Anton dengan cepat menggeleng."Saya hanya ingin membuat kamu cemburu."

Diandra tersenyum tipis."Alih-alih cemburu. Saya justru merasa bapak dan Vanes sangat cocok."

"Tidak. Tidak. Jangan bicara seperti itu."tolak Anton kesal.

"Lalu harus bagaimana? Bapak pelit pada semua orang tapi tidak pada wanita bernama Vanes itu."

"Itu____"

"Itu baru cinta namanya, pak Anton. Kita akan kehilangan jati diri hanya pada saat bersama dengan orang yang dicintai. Sama seperti pak Anton yang hanya tidak pelit terhadap Vanes."

"Kata siapa? Aku pelit pada semua orang."bantah Anton.

"Apartemen mewah, mobil, tas, pakaian dan bahkan perhiasan. Apa itu yang namanya pelit?"

"Itu dulu__"cicit Anton pelan. Saat dia berpikir bahwa Vanes adalah wanita yang akan menjadi istrinya. Vanes benar-benar dunianya saat itu jadi apapun yang wanita itu inginkan akan dia kabulkan. Namun semuanya berubah saat secara tidak sengaja dia mendengar percakapan Vanes dengan seorang pria bahwa Anton Darmawan hanyalah sumber uang yang harus dimanfaatkan.

Saat itu dia benar-benar hancur dan mulai berpikir bahwa semua orang yang ada di dekatnya hanya butuh uangnya saja. Tidak ada ketulusan ataupun cinta.

"Tapi beberapa hari ini bagaimana?"tanya Diandra membuat Anton menggeleng.

"Aku hanya mengantarnya sampai depan lalu kembali lagi. Tidak ada uang yang keluar, saya berani bersumpah."

"Benarkah?"tanya Diandra memastikan.

Anton mengangguk."Saya cintanya sama kamu, tapi___"

"Tapi apa?"

"Kamu nya enggak."

Diandra hanya menghela napas lalu mengambil mangkuk bubur.

"Bapak harus makan, setelah itu baru minum obat."ucap Diandra lalu mengarahkan sesendok bubur ke depan mulut Anton.

Anton membuka mulut dan menerima sesuap bubur. Namun tiba-tiba saja perutnya terasa mual.

"Huekk.."

"Pak Anton!"panggil Diandra lalu segera meletakkan bubur yang ada di tangannya kemudian bergegas menyusul ke kamar mandi.

Setelah sepuluh menit, akhirnya Anton keluar dari kamar mandi dibantu oleh Diandra.

"Diandra."panggil Anton.

"Iya, pak?"

"Meski tidak bersama. Apa hubungan kita bisa kembali seperti semula?"

Diandra tersenyum lalu mengangguk.

"Bisa. Bahkan jika bapak ingin kita bersama juga bisa."

Deg

Bersambung

Bos Pelit dan Sekretaris BorosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang