Happy Reading!
Diandra tersenyum sopan lalu kembali duduk saat pak Anton keluar dari ruang kerjanya bersama Vanes. Ini sudah tiga minggu berlalu dan keduanya terlihat semakin intens berhubungan.
"Pak Anton sepertinya serius dengan wanita itu."bisik Dewa membuat Diandra mengangguk.
"Baguslah. Pak Anton memang sudah saatnya menikah."balas Diandra lalu berdiri. Ia akan ke kantin dan makan siang di sana.
"Sebenarnya bang Yusuf memasak banyak hari ini dan dia memintaku membawakan ini untukmu."Dewa mengatakan itu sambil mengeluarkan tupperware berwarna hijau lalu meletakkannya di atas meja Diandra.
Diandra kembali duduk."Kenapa repot-repot. Katakan pada abangmu, bahwa dia tidak harus membuatkan makan siang untukku."namun meski bicara seperti itu, Diandra tetap membuka tupperware dihadapannya. Ia tak bisa bohong jika masakan Yusuf memang pas di lidahnya.
"Jangan salah paham, abangku memang suka memasak. Dia pasti ingin kau mencicipi dan memberinya saran."Dewa tersenyum lalu membuka bekal makan siangnya.
"Tapi aku tidak begitu ahli tentang makanan."ucap Diandra lalu mulai makan.
Keduanya makan dengan tenang lalu saling lirik saat pak Anton kembali sendirian.
"Bapak tidak jadi pergi atau ada yang tertinggal?"tanya Dewa yang buru-buru berdiri.
Anton langsung melonggarkan ikatan dasinya lalu melirik Diandra."Dompetku tertinggal di dalam."ucap Anton kesal lalu segera masuk ke ruangannya.
Dewa kembali duduk."Aneh sekali. Bagaimana bisa pria sepelit pak Anton bisa melupakan dompetnya. Rasanya itu tidak mungkin. "bisik Dewa membuat Diandra tersenyum. Tertinggal apanya, Diandra bahkan bisa melihat cetakan dompet bos nya itu di saku belakang celana. Pria itu jelas berbohong. Tapi kenapa?
Sedang di dalam, Anton langsung menuang air lalu meminumnya dengan cepat. Sial sekali. Padahal dia kembali karena berpikir Diandra akan pergi makan siang. Tapi ternyata wanita itu tidak ke mana-mana. Dan itu artinya, Diandra tahu kalau dia tidak jadi pergi bersama Vanes.
Apa karena itu Diandra tidak cemburu? Apa karena dia terlihat tidak seperti orang yang sedang berkencan.
Anton mengusap wajahnya kasar. Harusnya Diandra cemburu, melabraknya dan berteriak keras meminta dinikahi. Lagipula wanita mana yang bisa ikhlas diperawani tapi tidak dinikahi. Pasti cuma Diandra saja.
Dan bisa-bisanya wanita itu terlihat begitu tenang padahal Anton sudah mengeluarkan ribuan cara agar Diandra mencari cara untuk membujuknya. Andai saja Diandra datang dan mengajaknya bicara lagi, Anton pasti akan langsung luluh.
"Apa Diandra benar-benar tidak mencintaiku?"gumam Anton. Apa bahkan sedikitpun tidak ada. Karena itu bahkan tidak cemburu ketika mantannya datang berkali-kali.
Anton langsung mengacak-acak rambutnya. Apa sekarang dia harus keluar dan berlutut di bawah kaki Diandra? Rasanya harga dirinya tidak begitu penting jika saja Diandra bisa didapatkan dengan membuang semua harga diri yang Anton punya.
"Iya. Sebaiknya aku keluar dan meminta maaf kemudian kembali mengajak Diandra menikah."gumam Anton lalu melangkah menuju pintu namun tiba-tiba saja benda padat itu terbuka sendiri dan terlihatlah sosok Diandra di sana.
Anton segera merapikan penampilannya.
"Ada apa?"tanya Anton datar. Bagus sekali jika Diandra yang datang dan mengajaknya bicara.
Diandra melangkah masuk lalu meletakkan tiga map di atas meja kerja bosnya itu.
"Ada beberapa berkas yang memerlukan tanda tangan bapak,"ucap Diandra lalu berbalik menatap Anton."Apa bapak tidak jadi pergi?"
"Bukan urusanmu."sahut Anton datar lalu sedetik kemudian langsung meringis di dalam hati. Padahal baru beberapa menit yang lalu dia berniat berlutut dan meminta maaf pada Diandra.
Diandra mengangguk."Jika tidak ingin pergi, maka sebaiknya bapak segera menandatangani dokumen yang baru saja saya letakkan tadi."
"Kenapa kau malah memerintah bos."ucap Anton kesal namun kakinya tetap melangkah menuju mejanya lalu duduk dan mengambil pena.
Diandra tersenyum lalu mendekat. "Bapak sudah makan?"
"Belum."sahut Anton cepat lalu mendengus sesudahnya.
Diandra hanya tersenyum tipis. Pak Anton benar-benar jual mahal.
"Bapak ingin saya pesankan makanan?"tanya Diandra lagi.
Anton menggeleng."Tidak. Saya akan pergi setelah ini?"
"Bersama Vanes?"
"Iya."Anton mendongak dan menatap ekspresi Diandra. Sayangnya wajah cantik itu benar-benar terlihat biasa. Tidak ada tanda kecemburuan.
Diandra justru mengangguk lalu tersenyum manis."Kalau begitu selamat bersenang-senang."
Anton menutup dokumen yang tadi dia tandatangani lalu mendorongnya ke arah Diandra. Rasanya marah dan kecewa saat Diandra menolaknya menikah namun ternyata tak ada apa-apanya dibanding Anton sadar bahwa cintanya ternyata benar-benar hanya bertepuk sebelah tangan.
"Diandra_"panggil Anton.
"Iya, pak? Apa bapak perlu sesuatu?"tanya Diandra sopan sambil mengambil dokumen yang sudah ditandatangani.
Anton menggeleng lalu berdiri."Apa ada hal lain yang ingin kau katakan?"tanya Anton penuh harap.
Diandra langsung tersadar."ah maaf. Sepertinya saya mengambil banyak waktu bapak dan mungkin pacar bapak sudah menunggu di bawah. Kalau begitu saya akan keluar."ucap Diandra membuat Anton menggeleng panik.
"Tidak, tunggu__Diandra saya__"Anton langsung menghela napas kesal saat Diandra sudah pergi. Wanita itu pergi tanpa menoleh lagi.
Harusnya saat Diandra datang dan meminta maaf, dia langsung berlari dan memeluk wanita itu.
Sekarang bagaimana?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Pelit dan Sekretaris Boros
RomanceHarap bijak memilih bacaan! Mengeluarkan uang untuk hal yang tidak penting adalah haram bagi seorang Anton Darmawan. Tapi bagi Diandra Rose, mengeluarkan uang adalah hal yang menyenangkan. sehari saja ia melewatkan jadwal belanja, rasanya seperti m...