Happy Reading!
"Hari ini Diandra tidak masuk bekerja, aku rasa rencana kita berjalan lancar."ucap Minu semangat.
Tina menggeleng pelan."Tapi kenapa rasanya begitu damai. Ini tidak seperti yang ku pikirkan."
Minu memberikan teh kepada Tina."Wajar saja, Anton dan Diandra kan bukan anak kecil lagi. Hal seperti ini harusnya tidak membuat mereka berdua heboh. Mungkin saja satu atau dua minggu lagi mereka akan datang dan meminta ijin untuk menikah."
Tina mengangguk."Semoga saja seperti yang kamu pikirkan."
"Pasti."sahut Minu yakin.
Sedang di kantor, terlihat Anton yang tengah melamun. Satu rapat sudah selesai tapi untuk mengikuti rapat selanjutnya, Anton merasa tak bisa. Pikirannya melayang ke mana-mana dan mungkin tidak akan fokus.
Inginnya dia pulang dan bicara dengan Diandra tapi sepertinya tidak mungkin. Diandra sudah bilang untuk melupakan kejadian tadi malam, tapi mana bisa Anton melakukan itu.
"Apa Diandra menolak pernikahan karena aku terlalu pelit?"gumam Anton. Itu bisa saja, mengingat Diandra selalu mengeluh dengan sifatnya yang satu itu. Apalagi Diandra adalah tipe yang suka belanja, punya suami pelit tentu bukan hal yang bagus.
Anton mengangguk. Jika memang itu masalahnya maka dia akan dengan senang hati berubah. Lagipula uangnya sudah banyak.
Tak mau membuang waktu lagi, Anton segera berdiri dan bersiap untuk rapat selanjutnya. Semakin cepat selesai maka dia bisa segera pulang dan menemui Diandra.
Tepat jam lima sore, Anton bergegas meninggalkan perusahaannya dan melajukan mobil menuju sebuah toko perhiasan. Dia membeli sebuah cincin yang paling indah dan juga buket bunga mawar merah.
Tiba di tempat yang dia sewa, Anton segera menuju kamar Diandra.
Tok tok
"Siapa?"
Anton segera saja membuka pintu saat mendengar suara Diandra.
"Bagaimana istirahatmu hari ini?"tanya Anton dengan senyum tipis.
Diandra mengangguk."Baik. Bagaimana di kantor? Apa rapatnya berjalan lancar."
"Iya,"Anton segera mendekat dan memberikan bunga mawar yang tadi dia beli."Saya ingin bicara."pinta Anton membuat Diandra mengangguk lalu menyimpan bunganya di atas meja.
Keduanya akhirnya duduk di satu-satunya sofa yang ada di kamar Diandra.
Anton bergerak dan berlutut dihadapan Diandra kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya.
"Kita sudah bekerja bersama selama empat tahun. Banyak hal yang sudah kita lewati bersama, dan diusia ini saya sudah tidak ingin main-main,"ucap Anton lalu membuka kotak cincin yang ada di tangannya."Ayo kita menikah, Diandra!"
Diandra hanya diam lalu mengusap wajahnya."Apa ini karena kejadian tadi malam?"tanya Diandra pelan.
"Tidak, maksudnya iya__tapi niat untuk menikah sudah ada sejak lama."
"Apa bapak mencintai saya?"tanya Diandra membuat Anton diam. Cinta? Dia juga tidak yakin hanya saja jika harus menikah maka harus dengan Diandra. Apa itu bisa disebut dengan cinta?
Diandra terkekeh."Jika tidak cinta lalu kenapa harus menikah. Tentang kejadian tadi malam, bukannya sudah saya bilang untuk melupakannya saja."
Anton menggeleng."Bagaimana bisa dilupakan?"tanya Anton marah.
"Kenapa bapak marah?"tanya Diandra lalu mengusap wajahnya."Bapak mengajak saya menikah padahal tidak cinta. Apa itu masuk akal?"
"Saya cinta. Saya yakin ini cinta."jawab Anton cepat.
"Bapak bohong. Saya bisa lihat bapak ragu."ucap Diandra membuat Anton menggeleng.
"Saya serius, Diandra. Apa yang saya rasakan ini adalah cinta."ucap Anton meyakinkan.
"Anggap saja bapak memang cinta lalu bagaimana dengan saya? Apa perasaan saya tidak penting?"
Anton melotot lalu menyimpan cincin yang tadi dia pegang kemudian beralih menggenggam tangan Diandra."Jika memang tidak ada cinta, maka berusahalah untuk mencintai saya."
Diandra hanya diam membuat Anton semakin frustasi.
"Baiklah. Abaikan saja soal perasaan kita berdua. Lalu bagaimana jika kejadian tadi malam membuatmu hamil. Itu mungkin saja karena saya keluar di dalam."ucap Anton membuat Diandra tersentak.
"Itu__"Diandra langsung memegang perutnya.
Anton menatap Diandra dengan wajah yakin."Saya serius, Diandra. Ayo kita menikah."
"Tidak, pak. Lagipula saya belum tentu hamil."Diandra segera berdiri namun Anton mencegahnya untuk melangkah.
"Bagaimana jika hamil?"tanya Anton membuat Diandra menghela napas.
"Tapi ada kemungkinan bahwa saya tidak hamil."bantah Diandra kesal.
Anton segera berdiri dan memaksa Diandra untuk menatapnya.
"Pertanyaannya bagaimana jika hamil?"ucap Anton penuh penekanan.
Diandra mengusap wajahnya."Kenapa bapak harus memikirkan sesuatu yang belum terjadi."
"Jawab saja, Diandra! Bagaimana jika kamu hamil?"desak Anton membuat Diandra melotot marah.
"Maka akan saya gugurkan."
Deg
Bahkan Diandra yang mengatakan itu merasa kaget. Apalagi Anton yang mendengarnya.
"Akan digugurkan?"tanya Anton tak percaya.
Diandra menggeleng."Bu_bukan begitu. Tapi__"
"Kamu gila!"teriak Anton lalu berbalik dan mengambil bunga yang tadi dia berikan kemudian segera keluar dari sana.
"Pak Anton, saya tidak__
Brakk
__bermaksud begitu."lanjut Diandra lalu menghela napas. Bagaimana mungkin bisa ia gugurkan.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Pelit dan Sekretaris Boros
RomanceHarap bijak memilih bacaan! Mengeluarkan uang untuk hal yang tidak penting adalah haram bagi seorang Anton Darmawan. Tapi bagi Diandra Rose, mengeluarkan uang adalah hal yang menyenangkan. sehari saja ia melewatkan jadwal belanja, rasanya seperti m...