9

5.2K 611 63
                                    

Happy Reading!

"Anton Darmawan!"teriak Minu kesal. Pasalnya saat ia membuka lemari pendingin, seluruh isinya malah musnah tak tersisa.

"Tuan Anton juga membawa tupperware nyonya yang ada di lemari."beritahu asisten rumah tangga.

"Apa?"kaget Minu lalu memeriksa lemari tempat ia menyimpan koleksi tupperware miliknya.

Minu langsung melotot saat tupperware merah mudanya menghilang. Ini sudah kelewatan. Dasar anak kurang ajar.

"Tadi Anton datang sendiri, bi?"tanya Minu.

"Tidak, nyonya. Tuan Anton datang bersama sekretarisnya."

Minu diam. Tumben sekali Diandra mau terlibat dengan putranya yang pelit itu.

"Bibi juga dengar kalau tuan Anton bilang, semua bahan makanan yang diambil akan cukup untuk mereka makan selama beberapa hari."

"Mereka?"Kenapa terdengar seperti keduanya tinggal bersama.

"Tuan Anton juga mengambil beberapa barang yang ada di gudang persediaan, nyonya."

Minu langsung memijat kepalanya. Ini sudah sangat keterlaluan. Lagipula putranya itu kaya tapi sifat pelitnya benar-benar diluar batas, bahkan semakin hari semakin meningkat. Ini semua karena beberapa tahun lalu Anton pernah menjalin hubungan dengan wanita yang ternyata hanya ingin uangnya saja dan efeknya malah mengubah pria itu jadi pelit.

"Ya ampun."keluh Minu lalu melangkah mencari suaminya.

Minu segera duduk di samping sang suami yang sedang membaca buku."Mama benar-benar khawatir sama Anton, pah."ucap Minu memulai pembicaraan.

Hamdi segera melepas kaca mata bacanya lalu menatap sang istri."Ada apa lagi, mah?"

Minu menghela napas."Anton itu sudah tiga puluh dua tahun, pah. Tapi sampai sekarang masih belum bertemu jodohnya. Mama kan sudah kepingin gendong cucu."

"Bagaimana mau ketemu jodoh kalau setiap jemput malah diminta uang bensin. Kalau makan disuruh bayar masing-masing."Hamdi menggeleng lalu mengambil ponselnya.

"Satu-satunya yang bisa bertahan sama sifat pelit Anton itu ya cuma Diandra, pah. Menurut papa bagaimana kalau kita jodohkan mereka?"tanya Minu meminta pendapat suaminya. Sebenarnya sudah lama ia pikirkan hanya saja akhir-akhir ini terasa semakin yakin. Apalagi para sepupu Anton yang bahkan lebih muda sudah pada menikah, hanya putranya yang belum. Padahal Anton lebih tampan, kaya dan sukses dari keluarga lain tapi urusan jodoh kok lama sekali.

"Kalau mereka mau kan pasti sudah menikah, mah. Tapi nyatanya empat tahun cuma berlalu begitu-begitu saja."

Minu berdecak. Ia harus bisa memikirkan cara agar Diandra dan Anton menikah. Lagipula pria pelit seperti Anton, cocoknya cuma sama Diandra. Anak itu cantik, manis, ceria dan yang paling penting suka membuang uang. Jika keduanya menikah, Diandra pasti akan menemukan cara agar Anton tidak pelit lagi.

Hamdi langsung menunjukkan layar ponselnya kepada sang istri."Mama tahu kalau Anton jual rumah?"

"Hah? Jual rumah?"kaget Minu lalu membaca rentetan pesan di ponsel suaminya.

"Tuh kan, pah. Anton ini sudah gila. Punya segitu banyak uang kok bisa malah jual rumah cuma gegera mau menghemat uang pengeluaran."

Minu sampai mengelus dada melihat kelakuan putranya."Lalu sekarang Anton tinggal di mana, pah?"

"Dia menyewa kamar di samping kamar Diandra."

Hah?

"Tunggu? Jadi mereka tinggal di tempat yang sama?"kaget Minu.

Hamdi mengangguk."Beda kamar, mah. "

"Ck! Tetap saja namanya satu tempat."ucap Minu lalu diam berpikir.

"Kalau benar mau punya cucu ya suruh aja Anton bikin duluan."saran Hamdi.

"Dih, papa kali yang mau."protes Minu namun sedetik kemudian matanya langsung membesar.

"Pak Bagas juga pernah cerita ke papa soal Diandra. Katanya sudah usia dua puluh tujuh tahun tapi kerjanya belanja terus, disuruh kencan buta tidak mau."ditambah perkataan suaminya ini membuat Minu semakin yakin.

"Jadi maksud papa kita pepetin aja itu anak berdua?"tanya Minu.

Hamdi mengangguk."Itu juga kalau mama mau cepat punya cucu. Kalau tidak ya tunggu saja sepuluh tahun lagi."

Minu mendelik. Lama sekali sepuluh tahun lagi.

"Ya sudah lah, mama akan hubungi Tina dan membahas tentang anak-anak. Lagipula keluarga Diandra juga sepertinya ngebet mau punya menantu."

Hamdi mengangguk semangat. Lagipula diusianya sekarang memang sudah seharusnya bermain dengan cucu sendiri.

Sedang di tempat lain, terlihat Anton sedang menerima dua paket milik Diandra.

"Istrinya belanja terus ya, pak?"

"Bukan istri saya."delik Anton membuat kurir langsung meminta maaf. Lagipula dia mengatakan itu karena hampir setiap hari mengantar paket ke alamat yang sama. Sedang Anton sebenarnya kesal bukan karena Diandra sering belanja tapi kenapa tukang paket mengantar barang di malam hari. Apa sudah sering begini?

Anton langsung menutup pintu lalu meletakkan dua paket Diandra di atas kasur. Dia saat ini memang ada di kamar Diandra untuk makan malam.

"Semuanya sudah siap, pak. Yuk makan!"ajak Diandra setelah mencuci tangan di kamar mandi.

Anton mengangguk lalu duduk dan mengambil piring. Keduanya makan dalam diam.

"Bapak yang cuci piringnya."ucap Diandra membuat Anton mendelik.

"Kok saya?"

"Ya gantian dong, pak. Kan tadi saya yang masak."

"Tapi bahan masakan hari ini dari rumah mama saya."

"Nyuri kali, pak."ralat Diandra lalu melangkah menuju tempat tidurnya kemudian mengambil gunting untuk membuka paket.

Sedang Anton langsung berbaring di atas tempat tidur Diandra.

"Beli apa lagi kamu?"tanya Anton penasaran.

"Lipstik."sahut Diandra singkat membuat Anton melirik ke arah meja rias Diandra. Di sana terlihat ada ratusan lisptik berjejer.

"Saya belum punya yang warna ini."ucap Diandra membuat Anton menatap warna lipstik dengan seksama.

"Itu kan pink. Kamu sudah punya."

Diandra menggeleng."Belum punya, pak. Warna pink Cherry saya belum
Punya."kekeh Diandra membuat Anton mendengus lalu berbalik memeluk guling.

"Balik ke kamar bapak sana!"usir Diandra namun Anton malah tidak bergeming.

"Pak Anton Darmawan!"teriak Diandra sambil mencoba lipstik barunya.

"Berisik."tegur Anton.

Diandra langsung melotot.

"Jangan tidur di sini, pak. Bapak kan punya kamar."ucap Diandra lalu beranjak untuk membangunkan bos nya itu.

Anton hanya menahan senyum dan tetap berbaring.

"Pak Anton ihh"rengek Diandra kesal lalu berusaha menarik lengan pak Anton, namun_

"Arghh__"

Cupp

Diandra langsung melotot kemudian segera bangun. Ia langsung mengusap bibirnya yang tidak sengaja mencium pak Anton.

Begitupun Anton yang juga merasa kaget. Bahkan aroma cherry masih menempel di bibirnya.

"Maaf, pak. Saya tidak sengaja. Lagipula ini gara-gara bapak."

"Diandra,"panggil Anton pelan lalu berdiri."Ini memang aneh, tapi saya ingin mencium kamu lagi."

Diandra melotot."Hah? Ap__"

Cupp

Bersambung

Bos Pelit dan Sekretaris BorosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang